.:" I love you, not only for what you are, But for what I am when I am with you ":.

Selasa, 18 Januari 2011

KUPU-KUPU BERSAYAP MAWAR

SEORANG lelaki bertubuh liat, sedang bersedih di kedainya yang lengang, duduk di kursi paling pojok. Matanya memandang sayu pada semburat matahari senja yang bersilangan dari arah barat. Di hadapannya, segelas kopi hangat mengepulkan uap sedap, berbaur dengan asap rokok yang nyaris memuntung di sela-sela jemarinya. Sesekali, ia menghisap dalam-dalam asap rokoknya, lalu menghempaskan nafasnya seperti ingin membebaskan beban dari dadanya.

“Masih terkenang juga padanya, Bang?” Soada Ria, gadis cantik pelayan kedai menghampirinya. Ia melirik sekilas-lewat pada gadis itu, lalu kembali menatap matahari. Ia mendesah.

“Tahukah kau seberapa sakit rasa kehilangan?” katanya kepada gadis itu, tanpa menoleh. Ia melakukan hisapan terakhir pada rokoknya, dan melemparkan puntung rokoknya ke halaman, lalu menyalakan lagi batang yang baru.

Soada Ria, gadis bertubuh kecil dan berambut panjang itu, menepuk pundaknya dengan sangat lembut, seperti tahu bahwa obat menyembuhkan kesedihan adalah kasih sayang. “Kehilangan,” katanya bergetar, “Adalah milik semua orang. Hidupku berwarna justru karena kehilangan demi kehilangan.”

Lelaki itu menatapnya, “Kupu-kupuku pernah berkata begitu,” katanya, “Kau membuatku makin sedih.”

Soada Ria, gadis bermata telaga itu tak tahan memandang mata sedih lelaki itu. “Maafkan aku, Bang,” katanya, berlalu meninggalkan lelaki itu. Dan ia tidak tahu, Soada Ria menangis di bilik kedai.

Lelaki itu kembali larut, hanyut diseret ingatan, terkenang pada saat pertama kali bertemu dan menangkap kupu-kupunya. Persis pada saat senja seperti sekarang. Waktu itu, ia sedang asyik menghitung lembaran uang kertas yang menebal di kantongnya, uang yang diperolehnya dari judi togel. Ya, empat angka yang ditebaknya tembus sebanyak sepuluh lembar. Ia lalu mengajak teman-temannya sesama kuli berpesta, mabuk, bersenang-senang, berjalan-jalan di seluruh bandar sambil berteriak, “Hidup lelaki kuli! Hidup judi! Sejarah kuli tetap pedih, hanya layak jadi pemimpi, penjudi.”

Seusai pesta yang mirip unjuk rasa itu, ia melunasi utang-utang yang menumpuk di banyak kedai, tapi uang yang tersisa masih tetap cukup banyak. Sisa uang itulah yang dihitung-hitungnya pada senja itu, ketika ia merenung hendak dikemanakan uang itu. Dan ketika ia berpikir apakah ia akan bersenang-senang dengan seorang pelacur, seekor kupu-kupu muncul menghampirinya.

“Dapat rejeki ni yeee, bagi dong,” kata kupu-kupu. Ia tersentak. Ia menyerbu sekeliling dengan matanya kalau-kalau seseorang sedang berada di dekatnya. Tapi, tidak ada sesiapa pun selain kupu-kupu itu. Ia berpikir, ini pasti halusinasi. Bagaimana mungkin kupu-kupu bisa bicara? Ia lalu sadar bahwa sudah dua hari dua malam ia tidak tidur karena asyik bersenang-senang. Maka yakinlah ia bahwa kupu-kupu yang bicara itu hanya halusinasi.

Tapi ia terkejut ketika didengarnya lagi sebuah suara, “Sombong sekali Anda, Tuan?”

Ia menoleh ke arah kupu-kupu, dan ia melihat seorang gadis cantik, tersenyum, berdiri di hadapannya.

Busyet, otakku tak beres, pikirnya.

“Yah, aku memang kupu-kupu. Lihat, sayapku sangat indah,” kata perempuan itu mengepak-ngepakkan sayapnya, seperti tahu pikiran lelaki itu. Ia melihat perempuan itu berubah jadi peri, dan sayapnya mengembang seperti mawar raksasa. Aroma mawar meruap dari kibasannya.

“Lihat, aku juga bisa terbang,” kata perempuan itu lagi sambil terbang berkitar-kitar di sekitar taman. Lalu, lelaki itu melihat mahluk di hadapannya berubah-ubah wujud mulai dari kupu-kupu, peri, perempuan cantik, lalu kembali lagi jadi kupu-kupu, peri, perempuan cantik dan seterusnya. Ia terpesona. Ia bergetar.

“Kau sangat indah. Sudikah kau menemaniku malam ini?” katanya kepada kupu-kupu.

“Bukan hanya malam ini, aku bersedia menemanimu kapan pun,” kata peri.

“Tapi aku hanya kuli.”

“Juga penjudi.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Dari mana lelaki kuli bisa mendapat uang sebanyak itu jika tidak dari berjudi?”

Mereka berdua tertawa. Orang-orang memandang tak senang. Bahkan, seorang lelaki tua malah berkata, “Tak tahu adat. Tahukah kalian, tawa kalian terdengar ke seluruh kota .”

Mereka tertawa lagi. “Tak tahu adat?” kata mereka berpandangan, “Tahu adatkah dia yang sudah tua bangka tapi masih keluyuran di tempat seperti ini?”

Mereka lalu bergegas dari tempat itu, berjalan menyusuri senja, bergandengan tangan di jalan yang dihimpit gedung-gedung tua, kelelawar-kelelawar berlintasan di udara yang pengap oleh asin laut, dan di bibir mereka terkulum senyum bahagia.

Dari sebuah persimpangan, mereka memasuki gang sempit becek, bocah-bocah pengemis melantunkan syair sambil memukul kaleng-kaleng bekas, lelaki-lelaki tak berduit duduk di teras mengenakan sarung yang meruapkan apak nasib, perempuan-perempuan tua menimbun kedamaian dalam khayalan.

“Petang ini usang benar,” kata lelaki itu.

Perempuan itu terkejut. “Kata-katamu seperti puisi,” katanya.

“Aku memang suka puisi.”

“Jika begitu,” kata perempuan itu setelah mereka tiba di sebuah rumah petak yang dindingnya ditumbuhi lumut, “Kita akan berpesta puisi malam ini.”

Lelaki itu takjub. Di kamar perempuan itu terdapat sebuah rak yang di dalamnya tersusun rapi banyak buku. “Wah, kau mengingatkan aku pada masa-masa sekolah dulu,” katanya sambil mengambil sebuah buku dari rak: Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Lalu diperhatikannya buku-buku yang lain, dan ia sangat akrab dengan beberapa nama: Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sitor Situmorang…

“Sudahlah,” kata perempuan itu mengganggu keasyikannya, “Lupakan buku-buku itu. Itu adalah sisa kenakalanku pada masa kanak-kanak. Semua buku itu kucuri dari perpustakaan sekolah. Sekarang, mari kita berpesta, berpesta puisi.” Perempuan itu melepas pakaiannya, lalu berubah wujud jadi kupu-kupu. “Ayo, naiklah ke punggungku, kita akan terbang.”

Lelaki itu naik ke punggung kupu-kupu, memeluk tubuhnya erat agar tidak terjatuh. Mereka terbang. “Apa yang kau rasakan dari deru angin ini,” tanya perempuan itu ketika mereka mengarungi angkasa.

“Gairah hidup, surga yang kuangan-angankan ketika aku masih remaja dan jatuh cinta pada putri seorang penyair.”

“Apa yang kau rasakan ketika merasakan kepakan sayapku?”

“Aroma rumput basah.”

Tiba-tiba kuku-kupu itu menukik, “Kita sedang melintas di atas hamparan padang rumput yang luas. Kita singgah dulu,” katanya.

Mereka bergulingan di padang, pendaratan yang dilakukan kupu-kupu tidak sempurna, “Kau sih, memeluk sayapku terlalu kuat,” katanya menyalahkan lelaki itu. Dengan tubuh yang berhimpitan, mereka berdekapan, saling menggali sesuatu di dalam tubuh masing-masing. Aroma mawar dari sayap kupu-kupu itu membuat birahi lelaki itu menggelegak.

“Ayo sayang, gumamkanlah puisi untuk getar ini,” kupu-kupu merintih.

“Kukayuh jiwa menyusuri luka nasibmu. Kucecap segala derita yang melekat di tubuhmu. Di gubuk ini, kita adalah orang terbuang yang tak pernah percaya pada takdir, meski cinta selalu mengajari kita memahami maknanya,” gumam lelaki itu.

Lalu, ada yang terasa tuntas. Ada yang terasa terbebaskan. Lelaki itu menangis.

“Kenapa?”

“Aku terkenang petang rembang di kampungku. Pada waktu kanak-kanak, aku sering menikmati senja sambil bermain dengan deburan ombak. Tubuhmu mengembalikan semua ingatan. Tubuhmu menyentakkan sadarku bahwa ada petang yang hilang dari ingatanku. Terimakasih, sayang. Aku mencintaimu.”

Kupu-kupu itu mengembangkan sayapnya. “Ayo, tidurlah dalam pelukanku. Sayapku akan menghangatkan hatimu.”

Maka tidurlah sepasang kupu-kupu di padang beraroma rumput. Lelaki itu tidak tahu bahwa ia sudah menjelma jadi kupu-kupu jantan.

Tak berapa lama kemudian, sepasang kupu-kupu itu menikah. Mereka membangun kedai tempat para lelaki kuli minum kopi, main domino, juga berjudi. Mungkin, karena aroma sayap kupu-kupu betina itu selalu meruapkan mawar, lelaki-lelaki kuli berdatangan ke kedai itu. Kedai itu menjadi primadona. Dan, karena sepasang kupu-kupu itu mulai kewalahan melayani para lelaki kuli yang datang untuk minum kopi, berjudi, dan menyantap mie rebus atau goreng, mereka kemudian mempekerjakan seekor kupu-kupu indah yang lain di kedai mereka. Dan kedai itu makin ramai saja. Sepasang kupu-kupu pemiliknya makin jaya. Tapi, luka itu tiba-tiba datang. Kupu-kupu betina pergi menghadap sang khalik. Dan virus herpeslah yang merenggut nyawanya.

Tetapi, kupu-kupu jantan tidak tahu apa yang terjadi antara istrinya dengan gadis pelayan kedai. “Soa,” kata kupu-kupu betina itu kepada pelayan kedainya, “Aku melihat sinar cerah di matamu setiap kali kau memandang suamiku.”

Gadis bermata telaga itu terkejut, merasa seperti kepergok sedang bersetubuh dengan lelaki. “Tidak, itu tidak benar,” katanya. Dan majikannya menangis. “Jangan bohong. Aku tahu kau mencintai suamiku. Dan aku bersuyur untuk itu. Lelaki sebaik itu tak pantas disia-siakan. Ayolah Soa, rawatlah cintamu untuknya, sebab kelak kaulah yang akan merawatnya. Aku merasa ajalku sudah dekat. Lihatlah, aku sekarang sakit-sakitan, tubuhku selalu lemas, perutku sering mulas dan melilit, susah bernafas, sakit pinggang. Aku pasti akan mati. Kelaminku juga sudah rusak. Kau tahu, sudah setahun ia tak bersetubuh denganku. Aku tidak mau dia pergi lagi mencari kupu-kupu lain. Kaulah saat ini yang harus bisa jadi kupu-kupu baginya.”

Mereka berdua menangis. Majikan karena lukanya. Pelayan karena tak tahu harus bersyukur atau tidak. Sebab ia memang sudah sejak lama mencintai tuannya.

***

Suatu hari, berbincang-bincanglah Soada Ria dengan majikan perempuannya, “Aku kehilangan seluruh keluargaku. Dulu, ayah dan ibuku punya tanah yang luas. Tapi sejak perampok itu datang dan membangun perusahaaan raksasa di kampung kami, segalanya kemudian habis. Ayahku bukan orang bodoh yang dengan mudah mau menyerahkan tanah kami berikut kayu-kayunya kepada perampok itu. Tapi sikap ayah itu membawa maut. Ia kemudian tewas ketika berhadapan secara frontal dengan orang-orang perusahaan. Mereka memberi ganti rugi atas tanah-tanah kami, tapi ibuku menolak. Ibu membakar uang itu di hadapan mereka. Tak lama kemudian, ibuku sakit, dan meninggal. Aku dan adikku terlontang-lantung sejak itu. Dalam usia yang masih sangat belia, kami merantau ke kota. Aku di bandar ini, adikku di bandar lain. Sungguh, tak pernah terpikirkan olehku untuk memasrahkan diri jadi pelacur, tapi demi kelangsungan hidup dan pendidikan adik-adikku, aku terpaksa melakukannya. Sekarang aku bersyukur adik-adikku sudah bisa menghidupi diri dengan bekal ilmu yang mereka dapat. Tapi aku selalu sedih, sejak mereka tahu bahwa pekerjaanku adalah melacur, mereka tak sudi lagi menerimaku sebagai kakak, sebagai orang yang berjuang mati-matian membiayai mereka. Terimakasih telah menyelamatkanku dari pekerjaan nista itu, dan mempekerjakan aku di kedai ini.”

Mendengar penuturan itu, kupu-kupu betina trenyuh, airmata menetes di pipinya. Ia merasa bertemu dengan teman senasib. Ia juga tidak tahu bagaimana kilang-kilang, pompa angguk dan pipa-pipa itu tiba-tiba menjulur seperti ular, memanjang dan melilit kampung, hingga akhirnya mereka menyingkir. Ia sedih mengenang kematian ayahnya yang misterius karena selalu bertentangan dengan kepala desa yang ingin menjual tanah mereka kepada kapitalis-kapitalis jahat. Ia tidak tahan mengingat perjuangan ibunya setelah itu, hingga akhirnya meninggal didera penyakit. Semua ingatan itu hadir seperti setan-setan seram dalam mimpi buruk. Lalu, semuanya memang begitu gampang lepas, terbang tanpa bekas, seolah-olah segala sesuatu telah berlangsung dengan sempurna. Demi pembangunan. Demi kemaslahatan orang banyak. Dan, jika di sudut-sudut hutan dan kampung ratapan-ratapan sebenarnya masih terus menggema, anggaplah itu suara-suara binatang. Dan jika orang-orang tempatan terusir dan harus menjadi pelacur, kuli dan pengemis di tanah sendiri, anggaplah itu sejarah sukses dari sebuah bangsa yang biadab. Sebab segalanya telah berlangsung dengan sempurna, igauan dan keluhan tiada guna.

Dan kupu-kupu yang terusir dari habitatnya itu terus saja meneteskan airmata. “Soa, akan bergerak ke mana sejarah ini? Nyatanya kita perempuanlah yang selalu jadi korban. Kita sering punya kemampuan, punya potensi, tapi selalu menjadi bulan-bulanan jaman. Kau lihat, di mana-mana di seluruh dunia perempuan yang paling menderita, mereka dieksploitasi, direndahkan martabatnya, dilecehkan kemanusiaannya. Untuk itu, jika nanti aku mati, jangan kembali lagi ke jalan itu, rawatlah kedai kita ini, cintai suamiku sepenuh hatimu.”

Itulah kalimat terakhir yang meluncur dari mulut kupu-kupu, ketika ia terbang untuk tak kembali. Dan Soada Ria, gadis pelayan kedai yang cantik itu terus saja mengenang majikannya, juga pesannya untuk merawat lelaki itu. Ya, aku harus merawatnya, pikirnya. Ia keluar dari bilik kedai, berjalan dengan langkah lambat, menghampiri lelaki yang sedang bersedih di kursi di pojok kedai.

“Abang harus melupakannya,” katanya menepuk pundak lelaki itu, “Lihatlah, sejak kakak pergi sebulan lalu, Abang terus-terus saja begini. Orang-orang takut melihat Abang. Lihat, kedai kita selalu sepi karena tingkah Abang.”

Lelaki itu menatapnya, “Ini kali kedua kau berkata persis seperti kupu-kupuku. Dulu ia berkata seperti itu karena aku suka mabuk. Soa, ke sinilah,” katanya merengkuh gadis itu dalam dekapannya, “Kau seperti istriku. Mulai saat ini, rawatlah kedai kita. Ini satu-satunya milik dan alat kita mempertahankan hidup dari kepedihan.”

Tiba-tiba lelaki dan gadis pelayan itu berubah jadi sepasang kupu-kupu. Dari punggung mereka terkembang sayap berbentuk mawar raksasa. Mereka terbang mengarungi angkasa dan hinggap di sebuah taman penuh mawar. Mereka bersidekap, mendesahkan luka, memaknai hidup yang masih terus akan berlangsung.

***

Kamarpilu, Pekanbaru, 2005

Tidak ada komentar: