.:" I love you, not only for what you are, But for what I am when I am with you ":.

Sabtu, 24 Desember 2011

AKAN KUGENDONG ENGKAU SAMPAI AJAL TIBA


Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku, sambil memegang tangannya aku berkata; “Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Istriku lalu duduk disamping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Dari raut wajah dan matanya kutahu dia sedang memendam luka batin yang membara.


Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku. Akan tetapi aku harus membiarkan istriku mengetahui apa yang sedang kupikirkan. Aku ingin sebuah perceraian diantara kami. Aku lalu memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang. Nampaknya dia tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik dan bertanya kepadaku dengan tenang, tapi mengapa?


Aku menolak menjawabnya. Ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Dia membuang choptiks di tangannya dan mulai berteriak kepadaku, “engkau bukan seorang laki-laki sejati.” Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin mengetahui alasan dibalik keinginanku untuk bercerai. Tetapi aku dapat memberinya sebuah jawaban yang memuaskan; “Dia telah menyebabkan kasih sayangku hilang terhadap Jane (wanita simpananku). Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya kasihan kepadanya.”


Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai bahwa dia dapat memiliki rumah kami, mobil dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah, merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku kini telah menjadi orang asing di rumah kami, khususnya di hatiku. Aku meminta maaf untuknya, untuk waktunya yang telah terbuang selama 10 tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energy yang diberikan kepadaku tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane bahwa aku sungguh mencintainya. Akhirnya dia menangis dengan suara keras di hadapanku yang mana Aku sendiri berharap melihat terjadi padanya. Bagiku tangisannya tidak mempunyai makna apa-apa. Keinginanku untuk bercerai di hati dan pikiranku telah bulat dan aku harus melakukannya saat itu.


Hari berikutnya, ketika saya kembali ke rumah sedikit larut kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur karena rasa ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu dengan Jane, wanita idamanku saat itu. Ketika terbangun kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.
Pagi harinya dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku; Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum percerain untuk saling memperlakukan sebagai suami-istri dalam arti sebenarnya. Dia memintaku dalam sebulan itu kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami-istri. Alasannya sangat sederhana; “Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami.”


Aku menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Akan tetapi dia juga meminta beberapa syarat tambahan sebagai berikut; Dalam rentang waktu sebulan itu, aku harus mengingat kembali bagaimana pada permulaan pernikahan kami, aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai di muka pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah untuk memenuhi permintaannya kepadaku demi meluluskan perceraian kami.
Aku menceritakan kepada Jane (wanita simpananku) tentang syarat-syarat yang ditawarkan oleh istriku. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh dan tak bermakna. Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan, demikian kata Jane.


Kami tak lagi berhubungan badan layaknya suami-istri selama waktu-waktu itu. Sehingga sewaktu aku menggendongnya keluar menuju pintu rumah kami pada hari pertama, kami tidak merasakan apa-apa. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan dibelakang kami, sambil berkata, wow…papa sedang menggendong mama. Kata-kata putra kami sungguh membuat luka di hatiku.
Dari tempat tidur sampai di pintu depan aku menggendong dan membawanya sambil tangannya memeluk eratku. Dia menutup mata sambil berkata pelan; “Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.


Pada hari kedua, kami berdua melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan pakaianya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan saksama untuk waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda lagi seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil di raut wajahnya, rambutnya mulai beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu. Untuk beberapa menit aku mencoba merenung tentang apa yang telah kuperbuat kepadanya selama perkawinan kami.


Pada hari yang ke empat, ketika aku menggendongnya, aku merasa sebuah perasaan kedekatan/keintiman yang mulai kembali merebak di relung hatiku yang paling dalam. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tidak mau mengatakan perasaan seperti ini kepada Jane (wanita yang akan kunikahi setelah perceraian kami). Aku pikir ini akan lebih baik karena aku hanya ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa menikah dengan wanita yang sekarang aku cintai, si Jane.


Aku memperhatikan ketika suatu pagi dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, semua pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang. Aku kemudian menyadari bahwa dia semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa aku dapat dengan mudah menggendongnya pada hari-hari itu.


Tiba-tiba kenyataan itu sangat menusuk dalam di hati dan perasaanku…Dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul pada saat it dan berkata, “Papa, sekarang waktunya untuk menggendong dan membawa mama.” Baginya, menggendong dan membawa ibunya keluar menjadi sesuatu yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku ke arah yang berlawanan karena takut situasi istri dan putraku akan mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai pada saat-saat akhir memenuhi syarat-syaratnya. Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis satu dengan yang lain. Aku pun memeluk erat tubuhnya; dan ini seperti moment hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu.


Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya dengan kedua lenganku aku merasa sangat berat untuk menggerakkan walaupun cuma selangkah ke depan. Putra kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluk eratnya sambil berkata, aku tidak pernah memperhatikan selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan keintiman/keakraban satu dengan yang lain. Aku mengendarai sendiri kendaraan ke kantorku….melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Aku sangat takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku berkata kepadanya, Maaf, Jane, Aku tidak ingin menceraikan istriku.


Jane memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan, dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya. Apakah badanmu panas? Dia berkata. Aku mengelak dan mengeluarkan tangannya dari dahiku. Maaf, Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memakna secara detail setiap moment kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari bahwa sejak aku menggendong dan membawanya setiap pagi, dan terutama kembali mengingat kenangan hari pernikahan kami aku memutuskan untuk tetap akan menggendongnya sampai hari kematian kami tak terpisahkan satu dari yang lain. Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras dan mulai meraung-raung dalam kesedihan bercampur kemarahan terhadapku. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah tokoh bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis; “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”
Petang hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah senyum indah di wajahku, aku berlari kecil menaiki tangga rumahku, hanya untuk bertemu dengan istiriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami, tapi apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama selama 10 tahun pernikahan kami. Istriku telah berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa sepengetahuanku karena kesibukanku untuk menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat akibat kanker ganas itu, dan ia ingin menyelamatkanku dari apapun pandangan negatif yang mungkin lahir dari putra kami sebagai reaksi atas kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, terutama rencana gila dan bodohku untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun mempertahankan pernikahan kami dan demi putra kami…

sekurang-kurangnnya, di mata putra kami – aku adalah seorang ayah yang penuh kasih dan sayang….demikianlah makna dibalik perjuangan istriku.


DUNIA SEINDAH WANITA SOLEHAH

Sore itu, aku menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu.
.

“Anty sudah menikah ?”.
“Belum mbak ”, jawabku .
Kemudian akhwat itu bertanya lagi
“ kenapa ?”
hanya bisa ku jawab dengan senyuman. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” Aku mencoba bertanya .
“Nunggu suami” jawabnya.
.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya,
.
“Mbak kerja dimana?”, Entahlah keyakinan apa yang meyakiniku bahwa Mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi ”, jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“ kenapa?” tanyaku lagi .
Dia hanya tersenyum dan menjawab,
“karena inilah satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas .
.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran . Lagi- lagi dia hanya trsenyum.
“Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat” .
.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing. Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata,
.
“Abi, Umi pusing nih, ambil sendiri lah! ”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23. 30 saya terbangun dan cepat – cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya . Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci.
.
Astagfirullah, kenapa Abi mengerjakan semua ini? Bukankah Abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap Abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya Abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya , Masya Allah, Abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya .”
.
Subhanallah, aku melihat Mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.
.
“Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600 -700 rb /bulan. 10x lipat lebih rendah dari gaji saya. Dan malam itu saya benar- benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki , saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata,
.
“Umi, ,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho ”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata- kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya ”, lanjutnya.
.
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah -mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini . Saya sedih, karena orang tua, dan saudara - saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
.
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
.
“Kak , kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak -anak kita Kak . Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan . Nah kakak malah pengen berhenti kerja . Suami kakak pun penghasilannya kurang . Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai- santai aja dirumah. Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak , Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal , sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat .
.
“Anty tau , saya hanya bisa nangis saat itu..
Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia”
.
“Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata -kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. “
.
“Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan , ternyata begitu rendah dihadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak -hak suami saya .Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. “
.
“Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya , karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya , tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal.”
.
” Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakan pekerjaan suami anty pada orang lain . Bukan masalah pekerjaannya ukhty , tapi masalah halalnya, berkahnya , dan kita memohon pada Allah , semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram” . Ucapnya terakhir , sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptonya, bergegas ingin meninggalkanku.”
.
Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm , meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkanku. Wajah itu tenang sekali , wajah seorang istri yang begitu ridho .
.
***
.
Ya Alloh … .
Berkahi kami dalam menapaki jalan perjuangan menujuMU. Semoga Aku bisa selalu menjadi sebaik-baik istri untuk suamiku, yang menjadi bekal untuk meraih jannah Mu… Amin
.
Untuk suamiku, Apapun pekerjaanmu, selama itu diridhoi Allah SWT aku bangga. Aku SANGAT BANGGA SUAMIKU!


Selasa, 20 Desember 2011

BIARKAN AKU YANG MENGUNDURKAN DIRI




Kisah ini kembali ku urai bersama kenangan-kenangan yang pernah terlukiskan dalam memori jiwa… Saat semuanya terasa menyesakkan dada, ketika semuanya tak bisa lagi terlukiskan lewat kata-kata.
Aku hanya bisa terpaku meratapi… Secebis rasa yang mesti ku akhiri. Penuh luka dan bersimbah air mata, namun tetap harus dijalani. Meski aku tak pernah meminta ini untuk terjadi.

Percikan iman membuatku begitu yakin atas keputusan ini.. mungkin ini memang jalan terbaik untuk kita. Untuk perjalanan yang telah kita lalui berdua, tanpa adanya Ridho Ilahi.


Kau hadir mengisi kehidupanku. Kau ketuk pintu hatiku, yang membuatku enggan berpaling dan menjauh darimu. Kau hadirkan bunga-bunga asmara antara kita. Hingga sampai saat dimana ku tersadar, entah jalan apa yang sedang kulalui ini. Tanpa petunjuk mana yang benar dan mana yang salah.. karena semua masih nampak abu-abu, belum jelas ujung dari semua ini.

Ku katakan aku telah siap! Mengarungi hidup bersamamu. Pun ku yakin kau siap dengan semua yang terjadi pada kita. Apalagi yang membuatku tak yakin, bahwa kau adalah yang terbaik bagiku? Sementara semuanya begitu indah di jalani bersama, meski masih ilegal.
Kau selalu memberikan harapan serta angan yang entah berujung pada akhir yang bahagia atau sebaliknya, berakhir pada duka nestapa karena telah tersia-sia waktu yang kita lewati bersama.

Ayolah.. apalagi yang membuat kau bungkam. Kau tak pernah sedikitpun mengucap untuk segera menikahiku.. Padahal sikapmu begitu yakin bahwa akulah yang terbaik untukmu. Tapi mengapa sampai saat ini, kau belum juga mendatangi orang tuaku, sementara jauh sebelumnya kau telah mengetuk pintu rumah hatiku, meminta izin masuk namun hanya berani sampai beranda rumah hatiku. Kenapa keberanianmu belum ada?
Tutur katamu manis.. Tapi tak semanis janji-janji yang kau janjikan padaku! Tak terasa, detik demi detik kita jalani bersama, tanpa ada kepastian yang jelas, apa maumu sebenarnya?
Sampai pada kesimpulan.. Belum ada keberanian untuk melangkah. Dengan berbagai alasan yang menjadi pertimbangan, seolah berat sekali ketika kau akan menikahiku padahal terasa enteng jika kita lewati semua ini dalam ketidakhalalan.

Astaghfirullah!
Ku putuskan, setelah aku tersadar dan terbangun dalam impianku selama ini.. Hanya ada dua pilihan yang meski ini berat namun harus segera ku ambil langkah, sebab menunggu keputusan darimu tak membuatku bersabar dan akan semakin menjerumuskanku dalam genangan-genangan dosa tak berujung. Ya..!! Benar. Entah mungkin akan berakhir atau akan di akhiri, itulah yang sedang ku mintakan petunjuk pada-Nya.
Maafkan...
Karena aku belum bisa memberi seperti apa yang telah engkau beri padaku. Bukan soal cinta, bukan soal rasa. Sebab bagiku kedua hal itu telah menjadi momok dalam pikiranku. Aku tak boleh mudah terpancing dengan dua hal tersebut karena justru itu akan membuatku semakin jatuh dan terpuruk seperti dahulu.
Jangan pernah kau katakan cinta padaku, sebelum kau berani menghadap kedua orang tuaku. Ahh, sudah lelah dengan kata 'Berani'. Memang tidak seharusnya aku mengatakan hal itu kepadamu... Siapalah aku ini sehingga bisa membuatmu berani untuk menikahiku?

Sekarang bahkan rasa itu kian menipis. Mungkin karena sudah bosan aku memiliki rasa terhadapmu. Kau katakan aku tidak bersabar? Bisa saja. Aku memang tidak sesabar dirimu, yang entah dengan alasan apa kau mampu bersabar menantiku. Padahal jauh lama sudah, pintu hatiku telah terbuka untukmu.
Maaf. Aku ingin tetap menjaga hatiku, sedikitpun tak ingin terkotori oleh sebuah rasa ini. Ya, ternyata lagi-lagi aku berhadapan dengan yang namanya sebuah perasaan. Entah bagaimana aku mampu menghadapinya. Entah cara apa lagi yang akan ku lakukan. Semua ku pasrahkan...

Segala yang hadir bagai setitis air mata seulas senyuman. Dan, kemudian jiwa jadi terpisahkan dari jiwa yang lebih besar, bergerak di dunia zat melintas bagai segumpal mega diatas pergunungan. Suka dan duka, bagai sebuah perjalanan... Dan bermuara pada kebahagiaan. Menuju pada keindahan dan kecintaan Tuhan saja...
Atas nama cinta dan demi menjaga keutuhan cinta kita kelak, bila takdir bersama..... Allah kan persatukan...
Biarkan aku yang mengundurkan diri.

Dari kehidupanmu, kini..


Selasa, 13 Desember 2011

WANITA SHOLEHAH, SIAPA YANG MEMETIKMU...?!




“Suatu saat di pagi yang cerah. Angin bertiup tenang. Sinar mentari lembut menerangi alam.Tapi sayang, itu semua tidak dapat meredam kegundahan hati sebuah apel yang berada tinggi nun di pucuk. Sejak seminggu lalu Apel itu sibuk berfikir, kenapa aku tidak dipetik orang? Padahal… kulitku licin mulus. Warnaku merah bersinar. Siapa yang melihat pasti meluap-luap seleranya. Pasti mereka terbayang betapa manisnya rasaku. Tapi... kenapa aku tidak dipetik orang?

Apel tersebut memandang ke bawah. Heran, kenapa manusia lebih memilih kawan-kawannya yang berada di bawah sana. Bukankah mereka tidak mendapat udara yang bersih dan cahaya mentari seperti aku yang berada di puncak ini? Bukankah kawan-kawanku itu banyak yang telah rusak karena seranggga?

Apel tersebut bingung memikirkan kenapa rekan-rekannya yang telah banyak tersentuh dan penuh debu menjadi pilihan, bukan dirinya yang belum tercemar dan dijamah orang. Apa kekurangan diriku?

Perasaan rendah diri mulai merasuk. Makin lama makin kuat, diselangi rasa kecewa dan bimbang. Murungnya tidak terbendung lagi. Lalu, pada pagi yang damai dan indah itu, apel tersebut memutuskan menggugurkan dirinya ke tanah. Ketika sudah berada dibawah, hatinya gembira bukan kepalang. Sedetik lagi aku akan dipilih manusia. Warna merahku yang berkilau dan kulitku yang licin mulus ini pasti mencairkan liur mereka.

Sang apel menanti manusia beruntung itu. Sayang sekali, sampai malam tiba, tiada seorang pun datang mengambilnya. Rasa gembira pun bertukar menjadi risau dan sedih.

Siang berganti malam, hari berganti minggu. Kasihan..akhirnya apel tersebut busuk di tanah menjadi makanan ulat dan serangga. Membusuk dan terinjak-injak manusia.”

Wanita itu ibarat apel. Buah yang tidak berkualitas amat mudah dipetik, dijamah dan diambil orang. Tapi apel yang berkualitas, tidak terjangkau dan sulit dijamah orang. Susah dipetik, susah digapai. Mahkota seorang gadis adalah Keimanan dan ketakwaannya. Apabila hilang iman dan takwanya, hancurlah pesonanya. Wanita sanggup jatuhkan martabat tingginya supaya dijamah orang lain.

Wahai wanita shalehah yang tinggi martabatnya… yang terpelihara kehormatan dan izzahnya...

Bersabarlah! Disaat tak ada yang memetik karena ketinggianmu. Janganlah obral jiwamu hingga kau rela dipetik dan dijamah oleh siapapun. layaknya seperti apel yang mudah dipetik di pinggir jalan. Tungulah, Allah pasti mengirimkan orang yang bersedia memetikmu di ketinggian. Ketinggian yang hanya bisa dipanjat dengan energi keimanan dan ketakwaaan seseorang.

Ya Allah… Kutahu, betapa banyak “perhiasan dunia terindah ini” mulai gundah. Gelisah menantikan seseorang. Sepertiga abad penantian kadang tak cukup mendatangkan satria-satria pemetik apel yang dinantikan. Wahai zat yang menguasai seluruh makhluk, jangan biarkan wanita-wanita mulia ini lelah di ketinggian, hingga ia menjatuhkan diri tersungkur dari kemuliaan. Teguhkan hati mereka. Selamatkan mereka.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya mereka sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepada mereka… Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada wanita-wanita shalehah jodoh dan keturunan sebagai penyenang hati.

Wallahu a’lamu bishshawab.



Arsip : Muslimah Sholehah Pendamba Surga

Rabu, 23 November 2011

MAKNA CINTA YANG SESUNGGUHNYA




Pernahkah kamu merasakan saat kamu mencintai seseorang, meski kamu tahu kalau dia sudah tak sendiri lagi, dan meskipun kamu tahu bahwa cintamu tak mungkin terbalaskan, tetapi kamu tetap tulus mencintainya


Pernahkah kamu merasakan, bahwa kamu sanggup melakukan apa saja demi seseorang yang kamu cintai,
meski kamu tahu bahwa dia takkan pernah peduli apa yang kamu lakukan. Atau mungkin dia peduli dan mengerti tentang apa yang kamu lakukan tetapi dia tetap memilih pergi dan tak memperhatikanmu

Pernahkah kamu merasakan hebatnya sebuah cinta,
kamu tersenyum namun hatimu terluka,
kamu menangis namun hatimu bahagia,
kamu bersedih ketika bersamanya, dan
kamu tertawa ketika berpisah dengannya
Perlu kamu ketahui, aku pernah merasakannya, aku pernah tersenyum walaupun hati ini luka, karena kuyakin Tuhan tak menjadikan dirinya untukku,
Dan aku juga pernah menangis ketika bahagia, karena kutakut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja

Aku pernah bersedih ketika bersamanya, karena kutakut aku akan kehilangan dia suatu saat nanti, dan
Aku juga pernah tertawa saat berpisah dengannya, karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki, dan
Tuhan pasti telah mempersiapkan cinta yang lain untukku, aku tetap bisa mencintainya,
meski dia tak dapat kurengkuh dalam pelukanku, karena memang cinta ada dalam jiwa, dan bukan ada dalam raga

Semua orang pasti pernah merasakan indahnya sebuah cinta, baik dari orang tua, sahabat. kekasih dan
akhirnya pasangan hidupnya. Buat temanku yg sedang jatuh cinta, saya ucapkan selamat yah..
Karena cinta itu sangat indah. Semoga kalian selalu berbahagia

Walaupun banyak orang yang bilang bahwa cinta itu tak harus memiliki, itu BOHONG
Karena mencintai tanpa memiliki itu rasanya sakit. Setiap saat kamu harus menahan perih atas perasaanmu itu, apalagi saat kau bersamanya.
Ada lagi yang bilang, Lebih Enak Dicintai Daripada Mencintai, itu SALAH BESAR
Karena Ketika dicintai kita hanya merasa bangga, tetapi kita mampu mencintai baru lah kita menyadari arti cinta yang sesungguhnya

Buat sahabatku yg sedang terluka karena cinta. Ada pesan untuk kalian
“Hidup itu bagaikan roda yang terus berputar, ketika masih berada di bawah dan hidupmu terasa begitu sulit, tetapi keadaan itu tidaklah untuk selamanya, bersabarlah dan berdoalah karena cinta yang lain akan datang dan menghampirimu dan menganugerahimu cinta yang lebih baik dari cinta sebelumnya”

Buat sahabatku yang tidak percaya akan CINTA, “Bukalah hatimu, jangan menutup mata akan keindahan yang ada di dunia ini
maka cinta akan membuat hidupmu menjadi bahagia

Buat sahabatku yang mendambakan cinta, Bersabarlah karena cinta yang indah tidak terjadi dalam sekejap. Saya yakin Tuhan sedang mempersiapkan segala yang terbaik untukmu.

Arsip : Mutiara Hati

Selasa, 15 November 2011

KETIKA TELAH TIBA SAAT MENIKAH


MENIKAH adalah keputusan yang besar dalam hidup kita. Ini adalah pilihan yang tidak main-main. Memilih seorang pasangan yang dengannya kita akan membangun sebuah keluarga, menurunkan keturunan dan hidup bersama dalam segenap suasana bukanlah persoalan yang hanya untuk satu dua tahun saja, melainkan untuk sepanjang tahun. Untuk jangka waktu yang selama-lamanya. Bahkan bukan hanya di dunia, tapi juga untuk hidup di akhirat. Demikianlah, kita perlu mempertimbangkan dengan seksama dan matang perihal ini.

Sejatinya, keputusan apapun dalam hidup kita merupakan peristiwa besar. Dari keputusan itu, kelak rangkaian peristiwa akan terus bergulir. Ada peribahasa lawas, langkah keseribu dimulai dengan langkah pertama. Kita perlu hati-hati dan cermat ketika memutuskan, apapun. Orang Cina kuno punya pepatah, rusak seinci rugi seribu batu. Maka, pengambilan keputusan merupakan pertemuan dengan sebuah revolusi.

Ketika kita benar-benar telah memilih pasangan, maka saat itu juga kita telah memutuskan untuk hidup bersama dengan seorang yang asing, meninggalkan orang tua dan keluarga kita yang selama ini telah membersamai dengan segenap kehangatannya. Pilihan untuk hidup bersama pasangan ini sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita benar-benar merasa yakin bahwa kebahagiaan bersama ibu bapak dapat juga kita raih dengan hidup bersama pasangan. Pilihan untuk hidup bersama ini sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita yakin bahwa pasangan akan menjadi pembela dan pelindung sebagaimana saudara laki-laki dan saudara perempuan melindungi kita. Semua ini butuh keyakinan kuat dari hati.

Karenanya, saya bisa memahami kenapa perjanjian pernikahan disebut oleh Al-Quran sebagai mitsaqan ghalizha, perjanjian yang amat kuat. Ini adalah perjanjian yang sakral. Sebuah perjanjian agung antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan saksi Allah Tuhan seru sekalian alam.

Semoga Allah tabaraka wa ta’ala senantiasa meluruskan dan menetapkan niat kita bahwa menikah merupakan bagian perjuangan untuk meniti jalan sunnah Nabi-Nya dan ibadah kepada-Nya. Tentu saja, kita ingin mengawali perjuangan ini dengan segenggam keyakinan bahwa pilihan kita untuk menikah dengan pasangan merupakan pilihan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.

Ketika seorang lelaki hendak memilih pasangannya, ada empat perkara yang dapat ia jumpai pada seorang perempuan: kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agama. Agama ini datang untuk mengajarkan bahwa kemuliaan tertinggi adalah pada agama.

Ada sebuah kabar, kebanyakan lelaki lebih suka pada perempuan dengan paras yang begitu ayu. Itu sah-sah saja. Tetapi kita mesti sadar bahwa keayuan paras saja bukanlah sebab yang kelak akan mendatangkan barakah dalam pernikahan. Demikian halnya dengan keturunan dan kekayaan. Ada yang lebih sempurna dari itu semua, yakni akhlak mulia dalam diri perempuan. Ada agama dalam hidupnya.

Dalam banyak riwayat, Nabi senantiasa meminta para sahabat untuk melihat dulu Muslimah yang hendak dipinangnya. Tujuannya, agar para sahabat itu menemukan “sesuatu” yang membuatnya tertarik dan bisa melanggengkan pernikahannya. Dalam pemahaman inilah kita perlu meletakkan keayuan paras, keturunan dan kekayaan. Sungguh, Nabi kita yang agung telah berwasiat bahwa fitnah terbesar bagi lelaki adalah kaum wanita. Semoga kita tidak jatuh pada perempuan macam begitu.

Maka, paras ayu, keningratan, dan anak orang kaya bukan menjadi sebab utama. Seandainya kita tidak menemukan akhlak mulia dalam dirinya, sebaiknya pilihan tidak dijatuhkan.

Ada kiasan menarik dari Al-Quran tentang pasangan Suami-Istri. Masing-masing merupakan pakaian bagi yang lain. Sebagaimana layaknya pakaian, ada banyak macam pakaian yang sudah genap syarat-syaratnya buat menutup aurat sesuai tuntunan agama, tetapi untuk menjatuhkan pilihan pada sebuah pakaian, kita perlu menimbang dengan rasa dan hati kita.
Sebaliknya, ada banyak juga pakaian yang menarik hati, tapi kalau dengan memakainya aurat menjadi tak tertutupi, apalah guna punya pakaian yang menarik hati.

Demikian pulalah memilih pasangan. Kalau hanya menimbang wajah yang ayu, pernikahan hanya akan menerbitkan kehinaan. Sebagaimana kecantikan yang akan cepat sirna, pernikahan yang demikian akan cepat layu. Tapi, kalau hanya memilih yang baik beragama saja, takut juga bila mata dan hati menjadi kurang terjaga. Demikianlah saya memahami anjuran Nabi untuk melihat dulu muslimah yang hendak dipinang. Bukankah sudah termaktub dalam Kitab suci, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum [30] : 21)

Kalau saya tak salah ingat, Bunda Khadijah ra juga merupakan perempuan suci yang menawan yang banyak dilirik para pembesar Quraisy. Bunda Aisyah ra merupakan gadis muda yang jelita. Bunda Zainab binti Jahsy ra juga memiliki wajah yang rupawan. Demikian juga Bunda Maria al Qibthiyah ra yang berkulit putih bersih yang kecantikannya sempat membuat Aisyah ra cemburu. Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hikmah dibalik paras wajah para Ummul Mukminin kita.

Maka, tentu saja, pakaian yang baik adalah yang memenuhi aturan agama dan sesuai dengan selera hati. Sesuai anjuran Nabi, memiliki agama yang bagus dan ada “sesuatu” yang insya Allah akan melanggengkan pernikahan. Saya rasa, pasangan yang demikian sudah cukup sempurna bagi kita. Semoga “sesuatu” itu membawa keberkahan yang berujung sampainya istri shalihah kepada kita. Kata Nabi, inilah sebaik-baik perhiasan dunia dan harta yang paling berharga.

Tatkala kita sudah yakin, semoga keyakinan yang kita genggam seturut dengan jalan Nabi dan mendapat taburan ridha Allah Yang Mahasuci.
Maka, tak ada lagi yang menghalangi kita untuk bersegera meminangnya dengan segenap puja-puji bagi Allah Yang Mahatinggi.

Pada saat kita menimbang untuk memilihnya, kita sadar ini bukanlah untuk hidup diri kita semata, melainkan juga untuk kedua ibu bapak, keluarga dan anak-anak kita kelak.
Kata Nabi, Istri shalihah adalah perhiasan paling indah. Saban hari, Istri shalihah akan menjadi puisi yang senantiasa menghiasi. Puisi itu tak terumuskan oleh bahasa dan tak terucapkan oleh kata apa saja. Yang jelas, puisi itu begitu indah. Serasa dibuai diayun-ayun. Dan bagi anak-anak kelak, Istri yang demikian akan menjadi madrasah utama bagi mereka. 

Kelembutannya akan menjernihkan hati anak-anak. Dan bukankah jika segumpal darah (hati) itu baik maka baiklah seluruh dirinya?

Saya sepenuhnya sadar bahwa mencari Istri yang shalihah itu seperti berburu mutiara di dasar laut. Nun di sana, di dalam cangkang itu istri shalihah senang berada dan menjaga diri. Dan untuk menemukannya, kita harus menyelam di kedalaman, tapi kita akan tahu seberharga apa dia ketika kita sudah mendapatkannya.

***

Sebuah pernikahan didahului oleh pilihan bebas yang penuh kesadaran dan tanggung jawab. Masa awal-awal pernikahan merupakan masa dimulainya perjuangan untuk memupuk rasa simpati dan menyuburkannya menjadi cinta.

Al-Quran menyebut cinta antara Suami-Istri dengan kata afdha. Maknanya, seperti keterbukaan angkasa raya. Dalam cinta yang demikian, tak ada lagi sikap yang penuh pura-pura. Suatu kali, mungkin kita akan mendatangi istri dengan setumpuk masalah dan kita tak sedikitpun ragu untuk mengeluhkan beban dan bahkan mungkin menangis di pangkuannya. Meski, ketika kita di luar rumah, kita tetap tegar dengan air muka yang selalu ceria. Suatu ketika, Nabi agung Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Bunda Khadijah radhiallahu 'anha dalam keadaan gelisah dan ragu seusai mendapat wahyu pertama. Dengan kelembutannya, Bunda Khadijah ra menenangkan dan menguatkan hati Nabi.

Saya tercengang dengan kalimat Umar ibn Khattab ra. Katanya, seorang laki-laki akan menjadi anak-anak ketika ia hanya berdua bersama Istrinya.

Sebaliknya, Nabi juga memiliki sikap yang sangat hangat kepada setiap Istrinya. Saat itu Nabi bersama beberapa sahabat. Seorang utusan datang membawa nampan makanan. Ketika mengetahui nampan itu berasal dari Ummu Salamah ra, Aisyah ra langsung menampakkan kecemburuannya yang luar biasa. Nampan itu ia lempar sehingga pecah. Nabi tersenyum dan beliau hanya bilang sekedarnya saja pada para sahabatnya, “Ibu kalian sedang cemburu”. Ada teladan luar biasa dalam setiap jengkal hidup Nabi.

Suatu ketika, ada sahabat yang mengadu pada Umar ra perihal Istrinya yang marah-marah kepadanya. Sahabat itu mendapatkan jawaban Umar ra yang tak disangka. “Istriku juga marah kepadaku, tapi aku diam saja. Ia yang mengurus rumahku, mencuci pakaianku, memasak makanan untukku dan merawat anak-anakku. Ia berhak untuk marah kepadaku kalau aku juga tak menurut kepadanya.” Ada teladan yang tak biasa dalam setiap jengkal hidup para sahabat.

Setiap pasangan tentu selalu mendambakan lahirnya cinta sejati. Demikian juga kita, saya yakin pasti juga merindukannya. Bagi saya, teladan cinta sejati adalah cinta yang dimiliki dan disuguhkan oleh Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam pada Bunda Khadijah radhiallahu 'anha. Bukan putri Cinderella dan pangerannya. Bukan pula Romeo dan Juliet. Atau kisah-kisah asmara dalam buku dan sandiwara-sandiwara picisan.

Tentu saja, cinta pasangan Nabi dan Ibu kaum mukminin itu terlalu sempurna buat kita. Barangkali jaraknya sejauh bumi dan langit. Tapi, setidaknya kita punya cermin utama bagaimana kelak kita harus mengambil sikap, melahirkan cinta itu dan kemudian merawatnya dengan hangat. Jika Allah menghendaki Nabi sebagai uswah hasanah manusia, maka teladan itu pasti bisa diraih. Sesulit dan sesusah apapun pasti bisa digapai. Dari sini perjuangan untuk melanggengkan pernikahan dimulai. Dari sini perjuangan untuk tetap setia pada mitsaqan ghalizha menjadi nyata. Dari sini, semoga doa Nabi untuk mempelai bisa terwujud, ada ketenangan, cinta kasih dan rahmah. Ada sakinah, ada mawaddah, dan ada rahmah.

Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, memantaskan kita untuk dikejutkan dengan hadiah dari langit, pasangan yang shalih dan shalihah. Amin.

Pogung Lor – Yogyakarta, 21 Ramadhan 1431 H / 31 Agustus 2010

Arsip : EraMuslim


UMMI, DUITNYA CUKUP GA....?!


Pertanyaan itu muncul dengan spontan, “Temanku bilang, Mamanya harus kerja siang dan malam karena duit Papanya tak cukup buat beli makanan dan keperluan yang banyak. Kalau Ummi, duitnya cukup gak?” ada-ada saja Si Lucu yang satu itu, jawabanku juga sambil bercanda, “Alhamdulillah cukup, memangnya Abang mau nambahin duit belanja Ummi?”
Sambungnya, “Iya, nanti kalau sudah besar, aku kerja lap-top-an kayak Abi. Trus kan nanti ada duit buat nambahin duit Ummi, hehehe”, “Gak usah, duit Ummi cukup, Ummi gak mau tuh minta duitnya Abang…” kataku. Sulungku kaget, “Lhooo, kenapa Mi? kan enak kalau banyak tabungan di bank? Tabungan Ummi udah banyak yah…bilang dong sama Abang?” Kalau diladeni, pertanyaan ini akan panjang kayak gerbong kereta api.
“Ummi cuma minta supaya anak Ummi jadi anak sholeh, disayang Allah. Gak perlu ngasih Ummi duit, Ummi nanti dikasih Allah hadiah yang lebih besaaar…” kukedipkan mata seraya kembali ke dapur, sebab kemarin sulungku itu memang mengembalikan uang jajannya buat tambahan duit belanjaku! (Jadi uang itu dipakai buat membayar jajan rotinya sendiri) Ia amat peduli, katanya temannya bilang, “Kamu beruntung, gak diasuh oleh Nanny (pengasuh anak), karena Mama kamu kan kerjanya di rumah saja. Tapi kalau mama kamu kekurangan duit kayak Mamaku, bisa juga sih kamu juga dititipkan pada pengasuh kalau usai jam sekolah…” masya Allah anak-anak zaman sekarang tambah cepat saja menularkan pemikiran. Pernah Saya memberinya uang beberapa zloty Poland sekedar untuk membeli air putih kalau bekal air minumnya habis. Ternyata uang itu tak dibawanya. “Kalau gak penting, gak usah bawa duit Mi… kemarin duitku jatuh 1 zloty karena mainnya lompat-lompat, hilang deh…” ujarnya.
“Jadi, Abang simpan di laci Abang yah?” ujarku. “Iya, Abang kumpulin aja, nanti buat beliin Ummi bunga. Di sekolah kan udah bawa makanan dan minuman dari rumah. Kalau air putih habis, kan ada di dapur Bu Guru. Ada gelas air putih dan buat teh Abang di kelas…” katanya. Hehehe, benar juga, memang di sekolahnya, tidak perlu jajan.
Duit bagi sebagian besar manusia, bagaikan pemegang kekuasaan tertinggi (di-Tuhan-kan). Semua urusan lancar, prosedur yang berbelit bisa mulus dan licin, kesulitan dan ganjalan bisa berjalan mudah karena perkara duit yang biasa disebut ‘kemenyan tambahan’. Duit bisa dikejar-kejar, dijadikan impian. Kalaulah nurani kita masih sesuci anak-anak seperti Bang Azzam, mungkin masih selalu berkata, “Lhoo, duit ini buat apa?” (dengan muka polosnya), jika ada yang ujug-ujug ngasih duit.
Malam itu, usai Isya’ di masjid Krakow, Suamiku pulang pukul Sembilan. Di bus, tak banyak orang. Ada beberapa Nenek dan Kakek, mahasiswa, serta keluarga kecil yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anaknya berumur sekitar 7 tahun.
Suasana malam dingin, sebeku wajah Si Ayah yang tampak agak mabuk usai meneguk bir/alkohol. Wajah Sang Ibu tampak kesal dan geram, dan amat miris manakala melihat muka Si Anak, tatapannya sendu, sayu, dan terlihat lelah.
Ternyata Si Ayah dan Si Ibu itu sedang berdebat, pertengkaran terjadi, lidah beradu dalam bahasa Polish. Mereka meributkan urusan finansial, meskipun keduanya bekerja keras, namun kebiasaan buruk meneguk alkohol adalah gangguan besar, berdampak amat buruk dalam rumah tangga mereka.
Kedua Suami-Istri itu makin sibuk beradu argument, para penumpang bus bersikap ‘pura-pura tak melihat dan tak mendengar’. Sedangkan sopir bus sesekali melihat ke arah kamera pengawas CCTV. Bus arah Park Wodny menuju appartemen kami tersebut ternyata membawa pelajaran tersendiri buat suamiku tatkala berada disana. Tiba-tiba ia mendengar suara, “Plaaaaak!!!”, Si Suami menampar Istrinya. Penumpang lain menahan nafas, ada yang menggeleng-gelengkan kepala, ada pula yang bersikap acuh tak acuh.
Kemudian sekian detik dari tamparan pertama, bunyi pula, “Plaaaaak!”, tak kalah kencang sekaligus membuat suasana mencekam, Si Istri menampar Suaminya pula. Sang Anak menangis. Tambah kencang tangisnya ketika Si Ayah menjambak rambut Ibunya, Suamiku segera turun manakala bus tiba di halte depan appartemen kami, entahlah kelanjutannya… Siapa yang tak terharu melihat adegan nyata di hadapan seperti itu? Lagi-lagi anak yang menjadi korban… Astaghfirrulloh, “Jangan marah-marah di jalan lhooo, sayang… yang kayak tadi itu semoga tak pernah terjadi pada kita, aduh, parah amat, perang mulut, setamparan di muka umum pula. Cuaca dingin, sudah malam, Anaknya segede Abang kita, kasian kalau sakit, sakit lahir bathin… Bisa saja Si Anak jadi benci dengan Ayahnya, ia melihat Si Ayah mukul Sang Ibu dan mencaci maki Ibunya…” Suamiku menceritakan hal itu setiba di rumah.
Saya pun tersenyum, secuil peristiwa itu ternyata tertanam dalam hati Suamiku, semoga Allah ta’ala melindungi kami dari kejahatan bersikap dan buruknya tabiat sedemikian, aamiin.
Ribut sana-sini ngurusin duit sudah jadi fenomena di seluruh dunia. Padahal alat pembayaran bernama duit itu merupakan buatan manusia. Namun lucunya, manusia pemegang tahta bisa merasa mampu bermegah-megahan dengan mengipas-ngipaskan Si Duit tanda bangga. Manakala ada sesuatu kepentingan yang diperebutkan, kaitannya masih melulu soal Si Duit. Bahkan kondisi masyarakat yang konsumtif, ribut soal duit makin meluas, hingga bisa melupakan fenomena penting peringatan-Nya akan beragam ujian yang bisa datang tiba-tiba. Duit memang bisa jadi penyakit.
Sungguh beruntung orang beriman, yang kondisi keimanannya tak terganggu akibat imbas harga saham atau nilai tukar duit-duitan, yang senantiasa bersyukur, ikhlas menerima ketetapan-Nya atas apa-apa yang telah diusahakan. Duhai Teman, tak ada sejumlah duit yang nilainya pantas untuk menghargai seutas jalan perjuangan.
Saya teringat sister Fatma, ia dihadapkan pada pilihan: Dunia atau Akhirat. Ketika beberapa waktu lalu ia masuk Islam, ia langsung menutup aurat. Kemudian perusahaan tempatnya bekerja menyodorkan pilihan: lepaskan Hijab jika tetap bekerja di situ ataukah mengundurkan diri alias resign, seolah pilihan itu adalah: Duit atau Allah? Dan Allahu Akbar! Tentu saja ia memilih Allah ta’ala, tak seorang pun yang bisa menjamin hari esok bagi orang lain, Hanya Allah ta’ala pemilik segala kekuatan nan maha dahsyat. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengumumkan, 'Sesungguhnya jiika kamu bersyukur atas karuniaKu, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu berlaku ingkar (atas nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat'.” (QS. Ibrahiim [14] : 7)

Semoga Allah menjaga hati kita dalam ketaatan dan dalam kesabaran, aamiin. Wallahu’alam bisshowab.

(bidadari_Azzam, Salam ukhuwah @Krakow, jelang Subuh, 15 Dzulhijjah 1432 H)
Penulis adalah koordinator muslimah-Islamic Centre Krakow, Poland.

Arsip : EraMuslim