.:" I love you, not only for what you are, But for what I am when I am with you ":.

Senin, 28 Maret 2011

CERITA TENTANG DIA

Angin membawanya kepadaku.

Disuatu senja yang kering, di saat ku duduk termangu tanpa ada gairah, Mencoba melepas pedih hatiku.. Dan tiba-tiba tampak di hadapanku selembar kertas tergeletak. Penasaran, kupungut dan kulihat ada tulisan. Sebuah cerita tentang seorang dia.


Cerita itu dimulai dengan kalimat ini :

If love was an ocean, but you were afraid of water.

Would you stand in the sandand look at it, waiting to feel the mist of the waves.

Or would you take the chance, dive right in and not think about it ?


Hidup adalah pilihan. Aku bisa memilih untuk tidak mengenal dia, aku bisa memilih untuk menjauh dari dia, aku bisa memilih untuk hanya mengenal dia sebagai dia. Tapi.... aku lebih suka untuk memilih dekat dan "berjalan" dengan seorang dia.


Hidup itu akan terasa indah ketika kita membebaskan diri kita untuk merasakan banyak hal. Beberapa bulan yang lalu aku tidak akan berpikir seperti ini. Beberapa bulan yang lalu aku akan berkata pada diriku sendiri, "don't open yourself to others, coz you might get hurt."


Namun hari ini aku bersyukur karena pilihanku, aku mengalami banyak hal dengan seorang dia. Dia yang datang dengan segala kesederhanaannya, tanpa tuntutan. Dengan segala pengertiannya yang tanpa dibuat-buat, dan dengan segala kasih sayang yang tulus tanpa menharapkan balasan. Melewati hari-hariku dengannya sungguh sangat, sangat, dan sangat menyenangkan. Bercerita tentang banyak hal mulai dari lagu-lagu waktu kita smp, cerita tentang cinta pertama kita, kebiasaan norak kita, bahkan mendengarkan lagu-lagu 'kampung' pilihannya-pun bisa mmebuat aku tertawa. Terlalu banyak hal menyenangkan yang ada untuk diceritakan.


Mengenal dia, membuat aku sadar bahwa dalam hidup kadangkala kita tak bisa memilih untuk selamanya 'membekukan' hati kita. Banyak hal yang indah akan terjadi ketika kita menerima orang lain yang datang dalam kehidupan kita. Mungkin kita akan terluka, mungkin kita akan berpisah dengan orang yang kita cintai. Tapi yang pasti, kita akan benar-benar merasakan 'hidup' yang sesungguhnya.


Ketika aku kembali mengingat diriku beberapa bulan yang lalu, aku sadar... begitu banyak hal yang sudah aku lewati, begitu banyak tawa, begitu banyak warna.. begitu hidup. Dan sekarang, aku tidak menyesal dengan apa yang tejadi 6 bulan terakhir ini karena sekarang aku menjadi aku yang berbeda. aku yang lebih lengkap.


Waktu yang kulewati dengan seorang dia memang hanya 6 bulan, tapi itu lebih dari cukup. Lebih dari yang aku pikirkan, lebih dari yang apa yang bisa aku harapkan terjadi. Ketika dia sekarang telah pergi, aku hanya bisa bilang, "terimakasih karena sudah membuat hidupku penuh warna".

Aku akan berdoa untuk kebahagiaannya, berdoa yang terbaik untuknya, dan berdoa semoga dia akan selalu menjadi seorang dia yang kukenal.

Tidak ada yang lebih membahagiakan dalam hidup selain melihat orang yang kita sayangi berbahagia.


Aku akan memandang ke belakang dengan senyum,

Aku akan menatap ke depan dengan kekuatan baru.

Melanjutkan hidupku, menemukan cintaku, dan impianku...


Aku menatap kertas itu, pandanganku mulai buram oleh air mata yang siap meleleh dari pelupuknya. Memang benar...

Ada hal - hal yang tak ingin kita lepaskan, orang-orang yang tidak ingin kita tinggalkan. Tapi.... melepaskan bukan berarti akhir dari dunia, melainkan awal dari suatu kehidupan baru.

Aku mulai berdiri, beranjak dari tempatku duduk... Kutinggalkan kertas itu bersama dengan laraku. Aku siap melanjutkan langkahku, mencari gerangan pasangan hatiku.

Jumat, 18 Maret 2011

CHAT WIT GOD...............

TUHAN : Kamu memanggilKu ?

aku : Memanggilmu? Tidak.. Ini siapa ya?

TUHAN : Ini TUHAN. Aku mendengar doamu. Jadi Aku ingin berbincang-bincang denganmu.

aku : Ya, saya memang sering berdoa, hanya agar saya merasa lebih baik. Tapi sekarang saya sedang sibuk, sangat sibuk.

TUHAN : Sedang sibuk apa? Semut juga sibuk.

aku : Nggak tau ya. Yang pasti saya tidak punya waktu luang sedikitpun. Hidup jadi seperti diburu-buru. Setiap waktu telah menjadi waktu sibuk.

TUHAN : Benar sekali. Aktivitas memberimu kesibukan.

TUHAN : Tapi produktivitas memberimu hasil.

TUHAN : Aktivitas memakan waktu, produktivitas membebaskan waktu.

aku : Saya mengerti itu.

aku : Tapi saya tetap tidak dapat menghindarinya. Sebenarnya, saya tidak mengharapkan Tuhan mengajakku chatting seperti ini.

TUHAN : Aku ingin memecahkan masalahmu dengan waktu, dengan memberimu beberapa petunjuk.

TUHAN : Di era internet ini, Aku ingin menggunakan medium yang lebih nyaman untukmu daripada mimpi, misalnya.

aku : OKE, sekarang beritahu saya, mengapa hidup jadi begitu rumit?

TUHAN : Berhentilah menganalisa hidup.

TUHAN : Jalani saja.

TUHAN : Analisalah yang membuatnya jadi rumit.

aku : Kalau begitu mengapa kami manusia tidak pernah merasa senang?

TUHAN : Hari ini adalah hari esok yang kamu khawatirkan kemarin.

TUHAN : Kamu merasa khawatir karena kamu menganalisa.

TUHAN : Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu. Karena itulah kamu tidak pernah merasa senang.

aku : Tapi bagaimana mungkin kita tidak khawatir jika ada begitu banyak ketidakpastian.

TUHAN : Ketidakpastian itu tidak bisa dihindari. Tapi kekhawatiran adalah sebuah pilihan.


aku : Tapi, begitu banyak rasa sakit karena ketidakpastian.

TUHAN : Rasa sakit tidak bisa dihindari, tetapi penderitaan adalah sebuah pilihan.

aku : Jika penderitaan itu pilihan, mengapa orang baik selalu menderita?

TUHAN : Intan tidak dapat diasah tanpa gesekan.

TUHAN : Emas tidak dapat dimurnikan tanpa api.

TUHAN : Orang baik melewati rintangan, tanpa menderita.

TUHAN : Dengan pengalaman itu, hidup mereka menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.

aku : Maksudnya pengalaman pahit itu berguna?

TUHAN : Ya. Dari segala sisi, pengalaman adalah guru yang keras.

TUHAN : Guru pengalaman memberi ujian dulu, baru pemahamannya.

aku : Tetapi, mengapa kami harus melalui semua ujian itu?

aku : Mengapa kami tidak dapat hidup bebas dari masalah?

TUHAN : Masalah adalah rintangan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan mental.

TUHAN : Kekuatan dari dalam diri bisa keluar melalui perjuangan dan rintangan, bukan dari berleha-leha.

aku : Sejujurnya, di tengah segala persoalan ini, kami tidak tahu kemana harus melangkah…

TUHAN : Jika kamu melihat ke luar, maka kamu tidak akan tahu kemana kamu melangkah.

TUHAN : Lihatlah ke dalam.

TUHAN : Melihat ke luar, kamu bermimpi.

TUHAN : Melihat ke dalam, kamu terjaga.

TUHAN :Mata memberimu penglihatan.

TUHAN :Hati memberimu arah.

aku : Kadang-kadang ketidakberhasilan membuatku menderita. Apa yang dapat saya lakukan?

TUHAN : Keberhasilan adalah ukuran yang dibuat oleh orang lain.

TUHAN : Kepuasan adalah ukuran yang dibuat olehmu sendiri.

TUHAN : Mengetahui tujuan perjalanan akan terasa lebih memuaskan daripada mengetahui bahwa kau sedang berjalan.

TUHAN :Bekerjalah dengan kompas, biarkan orang lain berkejaran dengan waktu.

aku : Di dalam saat-saat sulit, bagaimana saya bisa tetap termotivasi?

TUHAN : Selalulah melihat sudah berapa jauh saya berjalan, daripada masih berapa jauh saya harus berjalan.

TUHAN : Selalu hitung yang harus kau syukuri, jangan hitung apa yang tidak kau peroleh.

aku : Apa yang menarik dari manusia?

TUHAN : Jika menderita, mereka bertanya “Mengapa harus aku?”.

TUHAN : Jika mereka bahagia, tidak ada yang pernah bertanya “Mengapa harus aku?”

aku : Kadangkala saya bertanya, siapa saya, mengapa saya di sini?

TUHAN : Jangan mencari siapa kamu, tapi tentukanlah ingin menjadi apa kamu.

TUHAN : Berhentilah mencari mengapa saya di sini.

TUHAN : Ciptakan tujuan itu.

TUHAN : Hidup bukanlah proses pencarian, tapi sebuah proses penciptaan.

aku : Bagaimana saya bisa mendapatkan yang terbaik dalam hidup ini?

TUHAN : Hadapilah masa lalumu tanpa penyesalan.

TUHAN : Peganglah saat ini dengan keyakinan.

TUHAN : Siapkan masa depan tanpa rasa takut.

aku : Pertanyaan terakhir, Tuhan.

aku : Seringkali saya merasa doa-doaku tidak dijawab.

TUHAN : Tidak ada doa yang tidak dijawab.

TUHAN : Seringkali jawabannya adalah TIDAK.

aku :Terima kasih Tuhan atas chatting yang indah ini.
Tuhan : OK


Arsip : Saling Sapa

SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA

Anakku…

Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.

Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.

Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.

Anakku…

Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?

Anakku..

Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,

Anakku…

Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…

Anakku…

Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.

Anakku..

Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.

Anakku…

Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.

Anakku…

Arsip : Saling Sapa

Selasa, 15 Maret 2011

DOSA MENINGGALKAN SHOLAT 5 WAKTU



Inilah keadaan kaum muslimin saat ini, sungguh memprihatinkan. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat merupakan rukun Islam, salah satu penegak bangunan Islam. Tanpa shalat bagaimana mungkin bangunan Islam bisa tegak. Namun, itulah realita yang tidak bisa dipungkuri dalam umat ini. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang-orang bahkan kerabat kita sendiri yang meninggalkan salah satu rukun Islam ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya shalat sekali sehari, hanya shalat maghrib saja. Ada pula mungkin yang shalat hanya sehari seminggu yaitu melaksanakan shalat Jum’at saja, selain hari itu tidak pernah melaksanakan shalat. Ada pula yang lebih parah lagi dalam setahun hanya dua kali baru melaksanakan shalat yaitu shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Bahkan di beberapa tempat, memang mereka mengaku beragama Islam karena di KTP-nya saja ditulis beragama Islam dan begitu juga dalam akad nikah juga mengaku beragama Islam. Namun, kesehariannya jika kita tilik ternyata tidak ada satu shalat pun dikerjakan. Lebih parah lagi di suatu desa banyak yang tidak menghadiri shalat Jum’at. Bahkan di desa tersebut tidak dilaksanakan shalat Jum’at sama sekali, padahal mereka yang berada di sana mengaku beragama Islam.

Juga dapat kita saksikan lagi di rumah-rumah sakit, betapa banyak orang yang dalam keadaan sakit –padahal dia masih mampu melaksanakan shalat dengan duduk, berbaring, atau dengan isyarat- meninggalkan rukun Islam yang mulia ini. Begitu pula kita dapat menyaksikan di kendaraan umum semacam di bus atau kereta, ketika kita melakukan safar (perjalanan jauh), betapa banyak orang di kendaraan tersebut hanya tidur dan guyon saja, sudah masuk waktu shalat, namun tidak ada satu pun yang beranjak mengambil air wudhu atau bertayamum. Waktu shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, dia memang masih di kendaraan tadi, tetapi tidak ada satu pun shalat dilaksanakan. Terakhir, begitu pula kita sering saksikan sebagian orang sering meninggalkan shalat shubuh karena selalu bangun kesiangan. Sudah termasuk kebiasaannya bangun jam 6 pagi, lalu bergegas mandi dan berangkat kuliah atau ke tempat kerja, sedangkan shalat shubuh, dia tinggalkan begitu saja.

Memang sungguh prihatin dengan keadaan umat saat ini. Kebanyakan orang mengaku beragama Islam di KTP, namun seringsekali meninggalkan shalat. Mereka semangat dengan hal-hal duniawi, dengan mengais rizki siang dan malam. Namun mereka tidak pernah bersyukur dengan nikmat yang Allah berikan dengan melaksanakan shalat. Padahal yang namanya syukur adalah seseorang memanfaatkan nikmat Allah untuk melakukan ketaatan kepada-Nya.
Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat kali ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.

Shalat adalah Perkara yang Pertama Kali akan Dihisab

Shalat merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba sebelum amal yang lainnya. Dari Abu Hurairah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

” إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : انَظَرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِكَ ” .

“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”

" Siksa-Siksa Dosa Meningglakan Shalat "

A. Siksa di Dunia Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu :
  1. Allah SWT mengurangi keberkatan umurnya.
  2. Allah SWT akan mempersulit rezekinya.
  3. Allah SWT akan menghilangkan tanda/cahaya shaleh dari raut wajahnya.
  4. Orang yang meninggalkan shalat tidak mempunyai tempat di dalam islam.
  5. Amal kebaikan yang pernah dilakukannya tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT.
  6. Allah tidak akan mengabulkan doanya.

B. Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu Ketika Menghadapi Sakratul Maut :
  1. Orang yang meninggalkan shalat akan menghadapi sakratul maut dalam keadaan hina.
  2. Meninggal dalam keadaan yang sangat lapar.
  3. Meninggal dalam keadaan yang sangat haus.
C. Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu di Dalam Kubur :
  1. Allah SWT akan menyempitkan kuburannya sesempit sempitnya.
  2. Orang yang meninggalkan shalat kuburannya akan sangat gelap.
  3. Disiksa sampai hari kiamat tiba.
D. Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu Ketika Bertemu Allah :
  1. Orang yang meninggalkan shalat di hari kiamat akan dibelenggu oleh malaikat.
  2. Allah SWT tidak akan memandangnya dengan kasih sayang.
  3. Allah SWT tidak akan mengampunkan dosa dosanya dan akan di azab sangat pedih di neraka.
" Dosa Meninggalkan Shalat Fardhu "
  1. Shalat Subuh : satu kali meninggalkan akan dimasukkan ke dalam neraka selama 30 tahun yang sama dengan 60.000 tahun di dunia.
  2. Shalat Zuhur : satu kalo meninggalkan dosanya sama dengan membunuh 1.000 orang umat islam.
  3. Shalat Ashar : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan menutup/meruntuhkan ka’bah.
  4. Shalat Magrib : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan berzina dengan orangtua.
  5. Shalat Isya : satu kali meninggalkan tidak akan di ridhoi Allah SWT tinggal di bumi atau di bawah langit serta makan dan minum dari nikmatnya.
Arsip : Saling Sapa

Senin, 14 Maret 2011

KARENANYA KAU DIPILIH

Begitu banyakkah wanita yang belum menemukan jodohnya? Sungguh suatu fenomena yang memprihatinkan. Bukankah pernikahan merupakan kebutuhan mendasar? Semua orang menginginkan dan merindukan. Lepas dari jumlah perempuan yang semakin membengkak, tentu tak luput dari faktor kriteria pilihan.Tidak bisa dipungkiri lelaki biasanya memasang setumpuk kriteria calon istrinya, begitupun dengan wanita punya segudang syarat untuk calon suaminya. Tidak jarang saking ketat dan tingginya kriteria mengakibatkan jodoh sebatas angan-angan.

Kembang, sebut saja begitu, usia sudah merayap pada angka 40-an tahun. Berkali-kali proses pernikahannya gagal. Cantik memang tidak dimilikinya, tinggi juga kurang, kekayaan pun tidak bisa diharapkan, parahnya lagi dia juga bukan tipe wanita yang rajin mengkaji ilmu agama dan akhlak. Hari-harinya dilalui dengan penuh tanda tanya, kapankah suami akan diperolehnya?

SIAPA MENOLAK SALIHAH?

Berkaca dari kasus ini sudah semestinya kalau kaum muslimah menggali potensi untuk meningkatkan kualitas diri. Cantik dan tidak memang sudah dari sananya, demikian juga dengan kecerdasan, tingkat sosial, dan semacamnya. Ada yang bisa dikembangkan sehingga menjadi muslimah berkualitas. Perhatian kepada ilmu agama disertai tentunya dengan penempaan diri sehingga menghasilkan akhlak yang mulia. Tiada pilihan kecuali menjadi wanita yang salihah.

Cantik, yang biasanya dijadikan patokan utama oleh kebanyakan orang, tanpa disertai sifat kesalihatan bisa berbahaya. Pintar juga akan merepotkan bila tidak dikawal oleh akhlak yang baik, bisa menjadi wanita yang panjang lidah, tidak sopan dan beradab, atau selalu menjadi pembangkang. Begitu juga yang berharta, tanpa bimbingan agama, kekayaannya sering tidak membawa manfaat, bahkan sebaliknya menjadi bencana. Status sosial yang tidak dibarengi kualitas agama yang baik hanya akan memunculkan sifat keangkuhan.

Berbeda dengan wanita salihat; tanpa kecantikan, kekayaan, kepintaran dan status sosial akan tetap mendatangkan kebaikan. Lebih-lebih bila disertai oleh satu atau lebih sifat yang empat itu, tentu akan menjadi primadona. Siapa yang tidak ingin menikah dengan wanita kaya, cantik, pintar dan terpandang, salihat lagi !?

INILAH WANITA PILIHAN

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan dalam memilih wanita yang akan dijadikan sebagai istri. Bukan sekedar memilih yang pintar, tapi pria mesti pintar memilih dan wanita pun harus berlaku pintar agar menjadi sosok pilihan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan beberapa sifat seorang wanita salihah, pendek tapi cukup untuk menjadi pedoman bagi muslimah.

“Apakah kalian mau saya beritahu tentang simpanan seseorang yang yang paling berharga? Yaitu wanita salihah yang (suaminya) menjadi bahagia bila memandangnya, bila diperintah segera dipenuhi, dan bila suaminya tidak ada dia menjaga kehormatannya.” (riwayat Ahmad)

Inilah yang akan menjadikan seorang wanita sebagai pilihan, simpanan nan berharga:

1. Taat

Seorang gadis yang terbiasa taat pada orang tua, akan mudah taat pada suami ketika sudah menikah nanti. Selama perintah suaminya adalah ma’ruf (tidak menyelisihi syariat) dia segera melaksanakannya. Bila perintah tersebut tidak berkenan, akan dicarinya waktu yang tepat untuk meyakinkan suami agar mengurungkan perintahnya tanpa dibarengi bantahan, penentangan, atau pemaksaan kehendak.

2. Enak Dipandang

Tidak harus cantik. Dengan mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya seorang wanita akan membuat senang suami yang memandangnya. Dia akan mampu membuat suaminya merasa nyaman, tenang dan puas. Rasa lelah yang dirasakan suami setelah bekerja seharian sirna oleh sambutan sang istri. Dengan begitu suami tidak akan berbuat yang tidak-tidak ketika di luar rumah. Hal ini akan mudah dilakukan oleh wanita yang terbiasa bersikap manis dan murah senyum kepada orang tuanya.

3. Cinta dan Pasrah

Seorang pria tentu berharap mendapat seorang istri yang mampu mencintai sepenuh hati dan bersikap pasrah. Wanita yang dalam berbuat dan bertingkah laku selalu berupaya menyenangkan suami dan menjauhi hal-hal yang mendatangkan kebenciannya. Kalau suami, saat di rumah, tidak mendapatkan istri yang bersikap manis, penuh kasih, bersih, senantiasa tersenyum memikat, perkataan indah, penuh cinta nan suci, akhlak islami serta sentuhan tangan yang penuh kasih sayang, maka di mana lagi dia bisa mendapatkannya?

4. Suka Membantu

Wanita salihah adalah yang selalu mengajak suaminya pada kebaikan agama dan dunianya. Bukannya memberatkan, namun justru mengingatkan suami untuk selalu berlaku taat pada Allah subhanahu wa ta’ala, serta memberikan saran dan pendapat demi kemajuan usaha sang suami.

Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, istri pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus ibu kita semua, merupakan teladan wanita pilihan. Beliau sumbangkan harta dan perhatiannya untuk perjuangan Rasulullah, menyantuni kerabat dan selalu menyambung silaturahmi. Akankah Anda mewarisi sifat dan perilakunya? Kalau ya, karenanyalah engkau dipilih!

+++++++++++++++++++++++++++++++++


aRSIP : KIS (Komunitas Istri Sholehah)

Rabu, 09 Maret 2011

PPERJALANAN "CAT STEVENS" MENJADI "YUSUF ISLAM"

"Aku dilahirkan di London, jantung dunia Barat. Aku dilahirkan di era televisi dan angkasa luar. Aku dilahirkan di era teknologi mencapai puncaknya di negara yang terkenal dengan peradabannya, negara Inggris. Aku tumbuh dalam masyarakat tersebut dan aku belajar di sekolah Katholik yang mengajarkanku tentang agama Nashrani sebagai jalan hidup dan kepercayaan. Dari sini pula aku mengetahui apa yang harus kuketahui tentang Allah, al-Masih 'Alaihis-salaam dan taqdir, yang baik maupun yang buruk."

"Mereka banyak memberitahuku tentang Allah, sedikit tentang al-Masih dan lebih sedikit lagi tentang Ruhul Qudus (Jibril)."

"Kehidupan di sekelilingku adalah kehidupan materi. Paham materialis gencar diserukan dari berbagai media informasi. Mereka mengajarkan, kekayaan adalah kekayaan harta benda yang sesungguhnya, dan kefakiran adalah ketiadaan harta benda secara hakiki. Amerika adalah contoh negara kaya dan negara-negara dunia ketiga adalah contoh kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan kepapaan.
Karena itu, aku harus memilih dan meniti jalan kekayaan, supaya aku bisa hidup bahagia; supaya aku dapat kenikmatan hidup. Karena itu, aku membangun falsafah hidup bahwa dunia tidaklah ada kaitannya dengan agama. Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan jiwa."

"Lalu, aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan, cara yang paling mudah -menurutku- adalah dengan membeli gitar, mengarang lagu, dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka. Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama "Cat Stevens". Dan tidak berapa lama, yakni ketika aku berusia 18 tahun, aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak."

"Ketika aku berada di puncak ketenaran, aku melihat ke bawah. Aku takut jatuh! Aku dihantui kegelisahan. Akhirnya, aku mulai minum minuman keras satu botol setiap hari, supaya memotivasi keberanianku untuk menyanyi. Aku merasa orang-orang di sekelilingku berpura-pura puas. Padahal, dari wajah mereka, tak seorang pun tampak puas, kepuasan yang sesungguhnya. Semuanya harus munafik, bahkan dalam jual beli dan mencari sesuap nasi, bahkan dalam hidup! Aku merasa, ini adalah sesat. Dari sini, aku mulai membenci kehidupanku sendiri. Aku menghindar dari orang banyak. Aku lalu jatuh sakit. Aku kemudian diopname di rumah sakit karena sakit paru-paru. Ketika di rumah sakit kondisiku lebih baik karena mengajakku berpikir."

"Aku memiliki iman kepada Allah. Tetapi, gereja belum mengenalkanku siapakah Tuhan itu dan aku tak mampu sampai pada hakikat Tuhan sebagaimana yang dibicarakan gereja! Pikiranku buntu. Maka, aku memulai berpikir tentang jalan hidup yang baru. Aku memiliki buku-buku tentang akidah dan masalah ketimuran. Aku mencari tentang Islam dan hakikatnya. Dan seperti ada perasaan, aku harus menuju pada titik tujuan tertentu, tetapi aku tidak tahu keberadaan dan pengertiannya."

"Aku tidak puas berpangku tangan, duduk dengan pikiran kosong. Aku mulai berpikir dan mencari kebahagiaan yang tidak kudapatkan dalam kekayaan, ketenaran, puncak karir maupun di gereja. Maka aku mulai mengetuk pintu Budha dan falsafah China. Aku pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru.
Aku lalu pindah kepada ajaran komunis. Aku mengira bahwa kebajikan adalah dengan membagi kekayaan alam ini kepada setiap manusia. Tetapi, aku merasa bahwa ajaran komunis tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, keadilan adalah engkau mendapat sesuai apa yang telah engkau usahakan, dan ia tidak lari ke kantong orang lain."

"Lalu, aku berpaling pada obat-obat penenang. Agar aku memutuskan mata rantai berbagai pikiran dan kebimbangan yang menyesakkan. Setelah itu, aku mengetahui bahwa tidak ada akidah yang bisa memberikan jawaban kepadaku. Yang bisa menjelaskan kepadaku hakikat yang sedang aku cari. Aku putus asa. Dan ketika itu aku belum mengetahui tentang Islam sama sekali. Maka aku tetap pada keyakinanku semula, pada pemahamanku yang pertama, yang aku pelajari dari gereja. Aku menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang aku pelajari itu adalah keliru. Dan bahwa gereja sedikit lebih baik daripadanya. Aku kembali lagi kepada gereja. Aku kembali mengarang musik seperti semula. Dan aku merasa Kristen adalah agamaku. Aku berusaha ikhlas demi agamaku. Aku berusaha mengarang lagu-lagu dengan baik. Aku berangkat dari pemikirang Barat yang bergantung pada ajaran-ajaran gereja. Yakni, ajaran yang memberikan inspirasi kepada manusia bahwa dia akan sempurna seperti Tuhan jika ia melakukan pekerjaannya dengan baik serta ia mencintai dan ikhlas terhadap pekerjaannya."

"Pada tahun 1975 terjadi suatu yang luar biasa, yakni ketika saudara kandungku tertua memberiku sebuah hadiah berupa satu mushaf Alquran. Mushaf itu masih tetap bersamaku sampai aku mengunjungi al-Quds Palestina. Setelah kunjungan tersebut, aku mulai mempelajari kitab yang dihadiahkan oleh saudaraku itu. Suatu kitab yang aku tidak mengetahui apa isi di dalamnya, juga tak mengetahui apa yang dibicarakannya. Lalu aku mencari terjemahan Alquran al-Karim setelah aku mengunjungi al-Quds. Pertama kalinya, melalui Alquran aku berpikir tentang apa itu Islam. Sebab, Islam menurut pandangan orang Barat adalah agama yang fanatik dan sektarian. Dan umat Islam itu sama saja. Mereka adalah orang-orang asing, baik Arab maupun Turki. Kedua orang tua saya berdarah Yunani. Dan orang Yunani sangat benci kepada orang Turki Muslim. Karena itu, seyogyanya aku membenci Alquran yang merupakan agama dan pedoman orang-orang Turki, sebagai dendam warisan. Tetapi, aku memandang, aku harus mempelajarinya (terjemahannya). Tidak mengapa aku mengetahui isinya."

"Sejak pertama, aku merasa bahwa Alquran dimulai dengan Bismillah (dengan nama Allah), bukan dengan nama selain Allah. Dan ungkapan Bismillahirrahmanirrahiim begitu sangat berpengaruh dalam jiwaku. Lalu surat al-Fatihah itu berlanjut dengan Faatihatul Kitab, Alhamdulillahi rabbil 'alamiin. Segala puji milik Allah Sang Pencipta sekalian alam, dan Tuhan segenap makhluk.
Sampai waktu itu, pemikiran saya tentang Tuhan begitu lemah tak berdaya. Mereka mengatakan kepadaku, 'Sesungguhnya Allah adalah Maha Esa, tetapi terbagi menjadi tiga dzat! Bagaimana? Saya tidak mengerti'!"

"Dan, mereka mengatakan kepadaku, "Sesungguhnya Tuhan kita bukanlah Tuhannya orang Yahudi."
Adapun Alquran, maka ia mulai dengan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan segenap alam semesta. Alqura menegaskan keesaan Sang Pencipta. Dia tidak memiliki sekutu yang berbagi kekuasaan dengan-Nya. Dan, ini adalah pemahaman baru bagiku. Sebelumnya, sebelum aku mengetahui Alquran, aku hanya mengetahui adanya pemahaman kesesuaian dan kekuatan yang mampu mengalahkan mu'jizat. Adapun sekarang, dengan pemahaman Islam, aku mengetahu bahwa hanya Allah semata yang mampu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu."

"Hal itu masih dibarengi dengan keimanan terhadap hari akhir dan bahwa kehidupan akhirat itu abadi. Jadi, tidaklah manusia itu dari segumpal daging kemudian berubah setiap hari kemudian menjadi debu, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli biologi. Sebaliknya, apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia ini sangat menentukan keadaan yang akan terjadi dalam kehidupan di akhirat nanti. Alquran-lah yang menyeruku kepada Islam. Maka aku pun memenuhi seruannya. Adapun gereja yang menghancurkanku dan membuatku lelah dan letih, maka dialah yang mengantarkanku kepada Alquran. Yakni, ketika aku tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan jiwa dan kalbuku."

"Di dalam Alquran aku melihat sesuatu yang asing. Ia tidak sama dengan kitab-kitab lain. Ia tidak mengandung beberapa bagian atau sifat-sifat yang ada dalam kitab-kitab agama lain yang telah kubaca. Di sampul Alquran juga aku tidak mendapatkan nama pengarangnya. Karena itu, aku yakin betul dengan makna wahyu yang Allah wahyukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus-Nya. Kini aku telah memahami dengan jelas betul tentang perbedaan Alquran dengan Injil yang ditulis oleh tangan-tangan pengarang yang berbeda-beda sehingga melahirkan kisah-kisah yang bertentangan.
Aku berusaha untuk mencari kesalahan di dalam Alquran, tetapi aku tidak menemukannya. Semua isi Alquran adalah sesuai dengan pemikiran keesaan Allah yang murni. Dari sini, aku mulai mengenal tentang apa itu Islam."

"Alquran bukanlah satu-satunya risalah. Sebaliknya, di dalam Alquran didapatkan nama-nama semua nabi yang dimuliakan oleh Allah. Alquran tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan teori ini sangat logis. Sebab, jika anda beriman kepada seorang nabi dan tidak kepada yang lainnya, berarti anda telah mengingkari dan menghancurkan kesatuan risalah. Dari sejak itu, aku memahami bagaimana berantainya risalah sejak awal penciptaan manusia. Dan bahwa manusia sepanjang sejarah selalu terdiri dari dua barisan, mu'min dan kafir. Alquran telah menjawab semua hal yang kupertanyakan. Dengan demikian, aku merasa bahagia. Kebahagiaan mendapatkan kebenaran."

"Aku mulai membaca Alquran semuanya, sepanjang satu tahun penuh. Aku mulai menerapkan pemahaman yang aku baca dari Alquran. Saat itu aku merasa bahwa akulah satu-satunya muslim di muka bumi ini. Lalu aku berpikir bagaimana aku menjadi muslim yang sesungguhnya. Maka aku pergi ke masjid London dan aku mengumumkan keislamanku. Aku mengatakan, 'Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah'."

"Ketika itu, aku yakin bahwa Islam yang kupeluk adalah risalah yang berat, bukan suatu pekerjaan yang selesai dengan sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku telah dilahirkan kembali. Dan aku telah mengetahui ke mana aku berjalan bersama saudara-saudara muslimku yang lainnya. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah menemui salah seorang dari mereka. Seandainya pun ada seorang muslim yang menemuiku dan mengajakku kepada Islam, tentu aku menolak ajakkannya, karena keadaan umat Islam yang diremehkan dan diolok-olok oleh media informasi Barat. Bahkan, media umat Islam sendiri sering mengolok-olok hakikat Islam. Mereka justru sering mendukung berbagai kedustaan dan kebohongan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam, padahal mereka ini tidak mampu memperbaiki bangsa mereka sendiri yang kini telah dihancurkan oleh penyakit-penyakit akhlak, sosial, dan sebagainya."

"Aku telah mempelajari Islam dari sumbernya yang utama, yaitu Alquran. Selanjutnya, aku mempelajari sejarah hidup (sirah) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bagaimana beliau dengan perilaku dan sunnahnya mengajarkan Islam kepada umat Islam. Aku lalu mengetahui kekayaan yang agung dari kehidupan dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku sudah lupa musik. Aku bertanya kepada kawan-kawanku, "Apa aku mesti melanjutkan karir musikku?" Mereka menasihatiku agar aku berhenti, sebab musik akan melalaikan dari mengingat Allah. Dan itu bahaya besar. Aku menyaksikan pemuda-pemudi yang meninggalkan keluarga mereka dan hidup di tengah-tengah musik dan lagu. Ini adalah sesuatu yang tidak diridhai oleh Islam, yang menganjurkan dibangunnya generasi-generasi tangguh."

Itulah sekilas kisah islamnya seorang penyanyi terkenal dari Inggris. Ia setelah memeluk Islam mengubah namanya menjadi Yusuf Islam. Allah telah mengganti segala yang ia dapatkan dari musik yang kemudian dia tinggalkan dengan hidayah iman kepada-Nya yang tak dapat dibandingkan dengan apa pun jua.

Arsip : Prapta Nugraha Ardiatma (SS)

Jumat, 04 Maret 2011

YUKS..... BELAJAR MENDENGARKAN

Anda pasti tahu bagaimana rasanya menerima telepon di tengah malam, bukan ?. Bila bukan berita penting atau kabar mendesak tentu tidak sembarangan orang menelepon kita. Tapi, malam itu semuanya terasa berbeda. Aku terlonjak dari tidurku ketika telepon di samping tempat tidur berdering-dering. Aku berusaha melihat jam beker dalam gelap. Cahaya illuminasi dari jam itu menunjukkan tepat tengah malam. Dengan panik aku segera mengangkat gagang telepon.

"Hallo?" dadaku berdegub-degub kencang. Aku memegang gagang telepon itu erat-erat. Kini suamiku terbangun dan menatap wajahku lekat-lekat.

"Mama?" terdengar suara di seberang sana.

Aku masih bisa mendengar bisikannya di tengah-tengah dengung telepon. Pikiranku langsung tertuju pada anak gadisku. Ketika suara itu semakin jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan suamiku.

"Mama, aku tahu ini sudah larut malam. Tapi jangan... jangan berkata apa-apa dahulu sampai aku selesai bicara. Dan, sebelum mama menanyai aku macam-macam, tolong dengarkan aku ya ma, setelah itu terserah mama ingin memarahiku atau mengusirku dari rumah........... (dengan helaan nafas yang berat). Ya aku mengaku ma. Malam ini aku mabuk. Beberapa hari ini aku lari dari rumah, dan...(terdengar isak tangis tertahan dari seberang sana)"

Aku tercekat. Nafasku tersenggal-senggal. Aku lepaskan cengkeraman pada suamiku dan menekan kepalaku keras-keras. Kantuk masih mengaburkan pikiranku dan berita ini seakan siap mengguncang batinku. Ada apa duhai buah hatiku. Akan tetapi, aku berusaha tenang, dan tidak panik. Ada sesuatu yang tidak beres rasanya.

"...Dan aku takut sekali ma. Yang ada dalam pikiranku bagaimana aku telah melukai hati mama. Aku tak mau mati di sini. Aku ingin pulang. Aku tahu tindakanku lari dari rumah adalah salah. Aku tahu mama benar-benar cemas dan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama beberapa hari yang lalu, tapi aku takut... takut..."

Ia menangis tersedan-sedan. Sengguknya benar-benar membuat hatiku iba. Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai jernih, "Begini nak..."

"Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai bicara." ia meminta. Ia tampak putus asa.

Aku menahan diri dan berpikir apa yang harus aku katakan. Sebelum aku menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan, "Aku hamil ma. Aku tahu tak semestinya aku mabuk sekarang, kejadian itu cepat sekali, aku sama sekali tidak menyadarinya, OH Tuhan apa yang telah ku lakukan, Aku takut. Aku sungguh-sungguh takut!"

Tangis itu memecah lagi. Aku menggigit bibirku dan merasakan pelupuk mataku mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya perlahan, " Ada apa ma ? "

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dan ketika aku tidak menjawab pertanyaannya, ia meloncat meninggalkan kamar dan segera kembali sambil membawa telepon portable. Ia mengangkat telepon portable yang tersambung pararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik.

Lalu suara tangis suara di seberang sana terhenti dan bertanya, "Mama, apakah mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya ma. Aku benar-benar membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian."

Aku menggenggam erat gagang telepon dan menatap suamiku, meminta pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak akan menutup telepon," kataku.

"Semestinya aku sudah bilang pada mama. Tapi bila kita bicara, mama hanya menyuruhku mendengarkan nasehat mama. Selama ini mamalah yang selalu berbicara. Sebenarnya aku ingin bicara pada mama, tetapi mama tak mau mendengarkan. Mama tak pernah mau mendengarkan perasaanku. Mungkin mama anggap perasaanku tidaklah penting. Atau mungkin mama pikir mama punya semua jawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak membutuhkan nasehat mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku."

Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan. Pandanganku tertuju pada pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang tergeletak di sisi tempat tidurku.

"Mama sekarang mendengarkanmu sayang, maafkan mama selama ini ya" aku berbisik.

"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan bayi yang ada di perutku dan bagaimana aku bisa merawatnya. Aku ingin pulang. Aku sudah panggil taxi. Aku mau pulang sekarang."

"Itu baik sayang, cepatlah kembali kami pun merindukanmu nak" kataku sambil menghembuskan nafas yang meringankan dadaku. Suamiku duduk mendekat padaku. Ia meremas jemariku dengan jemarinya.

"Tapi ma, sebenarnya aku bermaksud pulang dengan menyetir sendiri mobil sendiri."

"Jangan," cegahku. Ototku mengencang dan aku mengeratkan genggaman tangan suamiku. "Jangan. Tunggu sampai taxinya datang. Jangan tutup telepon ini sampai taxi itu datang."

"Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama."

" Ya sayang, mama tahu, mama pun merindukanmu kembalilah segera. Tapi, tunggulah sampai taxi itu datang. Lakukan itu untuk mamamu y nak." Ujarku dengan lembut padanya.

Lalu aku mendengar senyap di sana. Ketika aku tak mendengar suaranya, aku gigit bibir dan memejamkan mata. Bagaimana pun aku harus mencegahnya mengemudikan mobil itu sendiri. Sangat berbahaya bagi seorang wanita muda mengendarai mobil di tengah malam dalam kondisi jiwa yang sangat labil.

"Nah, itu taxinya datang."

Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku terasa lega.

"Aku pulang ma," katanya untuk terakhir kali. Lalu ia tutup telepon itu. Air mata meleleh dari mataku. Aku berjalan keluar menuju kamar anak gadisku yang berusia 16 tahun. Suamiku menyusul dan memelukku dari belakang. Dagunya ditaruh di atas kepalaku.

Aku menghapus airmata dari pipiku. "Kita harus belajar mendengarkan," kataku pada suamiku.

Ia terdiam sejenak, dan bertanya, "Kamu pikir, apakah gadis itu sadar kalau ia telah menelepon nomor yang salah?"

Aku melihat gadisku sedang tertidur nyenyak.

Aku berkata pada suamiku, "Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah. Tuhanlah yang mengutus kita untuk menerima teleponnya dan menguatkan hati gadis itu pa "

"Ma? Pa? Apa yang terjadi?," terdengar gadisku menggeliat dari balik selimutnya.

Aku mendekati gadisku yang kini terduduk dalam gelap, "Kami baru saja belajar nak," jawabku.

"Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan matanya terpejam lagi.

" Belajar mendengarkan, anakku " bisikku sambil mengusap pipinya dengan lembut.

_________________________________________________________________________

Sahabatku,,,

Tentu kita tahu mengapa Tuhan menciptakan kita dengan dua telinga, dua mata, sepasang lengan dan kaki,

Akan tetapi mengapa Dia hanya menitipkan pada kita satu mulut dan satu lidah saja ?

Ya, benar,,,

Agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara,

Agar kita lebih banyak melihat daripada bersuara,

Agar kita lebih banyak merasa daripada berucap,

Agar kita lebih banyak bekerja daripada bercerita,

Dan,,,

Agar kita lebih banyak belajar dari kehidupan ini,

Bagi mereka yang sedang bermasalah,,,

Tidak ada yang lebih dahsyat daripada kesediaan kita untuk mendengarkannya,

Tidak ada yang lebih menolong daripada kerelaan kita untuk menemaninya,

Tidak ada yang lebih membantu daripada keterbukaan kita untuk menerimanya,

Sahabatku, mari belajar mendengarkan, terutama pada hal-hal yang tersembunyi.


Karena seringkali, mendengar adalah lebih pada soal apa yang tidak terucap, bukan sekedar soal apa yang terucap.


Arsip : Inspirasi Taqwa

Selasa, 01 Maret 2011

MERAH PEKAT

Kenangan serupa lumpur yang mengendap di dasar sungai. Mengeras menjadi kerak menunggu hujan turun untuk mengangkatnya kembali menjadi satu dengan aliran air. Begitulah kenanganku tentang rumah benteng. Telah lama sosok rumah yang terletak di atas bukit di belakang rumahku, menjadi kerak di ingatanku.

Telepon dari ibuku siang ini seolah hujan deras yang kembali melarutkan kerak itu. “Yasmin, minggu ini kamu bisa pulang? Ada pertemuan keluarga. Tepat seribu harinya kakek. Surat wasiatnya akan dibuka. Ibu harap kamu pulang.” Suara ibuku terdengar mendesak. Intonasi yang terakhir kali digunakannya saat menyuruhku kawin. Sayangnya tak mempan hingga kini. Toh untuk permintaannya kali ini, aku berniat mempertimbangkannya. Demi kenanganku akan kakek.

Dulu hampir seminggu sekali aku menginap di rumah kakek. Ibuku menitipkanku di sana karena aku tak bisa bicara meski sudah berumur dua tahun. Mereka berharap kakekku yang seorang psikolog bisa menyadarkanku. Aku yakin istilah yang tepat saat itu: menyembuhkanku. Aku sendiri tak pernah merasa sakit atau bahkan disembuhkan. Di rumahnya, kakek hanya memberiku kertas dan pensil warna. Lalu mengajakku jalan-jalan ke sekeliling rumahnya yang ketika itu tak banyak memiliki tetangga. Jika ada obyek yang menarik, aku biasanya menarik tangan kakek, sebagai tanda aku ingin berhenti di tempat itu. Sambil menggambar benda yang membuatku tertarik, kakek biasanya menjelaskan nama dan seluk-beluknya.

Semakin hari benda-benda yang kugambar bertambah. Begitu pula cerita dari kakek. Hanya satu benda yang kisahnya tak pernah diceritakannya. Yaitu rumah benteng. Dari rumah kakek, rumah benteng terlihat seperti menara di ujung bukit. Tak sepenuhnya bukit. Dari mata kanak-kanakku, aku merasa rumah itu tinggi karena jalan menuju ke sana menanjak.

Meski tak mau bercerita, kakekku membiarkanku berhenti di pintu gerbang rumah benteng. Ia hanya terdiam sambil menungguiku menggambar. Saat aku selesai menggambar, kutarik tangannya mengajak masuk. Namun, kakek menolak. “Rumah ini kosong, Yasmin. Kita pulang saja,” ujarnya pelan. Saat itulah aku mengucapkan kata pertamaku. “Rumah”.

Sejak mengucapkan kata pertama itu, aku tak lagi dititipkan ibuku ke rumah kakek. Meski aku merengek sekalipun, ibu tak pernah menurutiku untuk pergi ke sana. Sebagai gantinya, kakek yang sesekali datang ke rumah. Ia membawakanku banyak buku bergambar dengan cerita di bawahnya. Tetap saja semua gambar dan kisah dari buku-buku itu tak bisa menggantikan ingatanku tentang rumah benteng.

Kenapa selalu kusebut rumah benteng? Ketika terus kutanya tentang rumah itu di setiap kunjungannya, akhirnya kakek berkisah. Rumah itu sudah ada di daerah itu jauh sebelum kakek membangun rumahnya. Karena bentuk dindingnya yang membulat seperti benteng, penduduk sekitar menjulukinya rumah benteng.

Tak ada yang tahu kapan tepatnya rumah itu berdiri. Bahkan sebelum penghuni pertama daerah itu datang, rumah itu sudah ada di puncak bukit. Kata kakek, dari dulu kondisi rumah itu tak pernah berubah. Dindingnya terbuat dari batu warna abu-abu. Pintu rumah itu berwarna cokelat tua dari kayu jati. Ada bandul besi berbentuk kura-kura yang berfungsi untuk pengetuk pintu. Pernah ada orang yang memberanikan diri mengetuk pintu itu. Tentu saja, ia tak sendirian. Ditemani lima orang yang dengan waswas menunggu seseorang muncul dari pintu. Namun, ditunggu hingga satu jam, tak ada seorang pun yang membuka pintu, bahkan sedesis suara pun tak terdengar.

Percobaan untuk berkomunikasi dengan rumah itu sudah dilakukan berkali-kali oleh penduduk desa itu. Berkali-kali mereka mencoba mengetuk pintu depan. Mengelilingi rumah untuk mencari pintu belakang, tetapi tak ada. Begitu pula melempari jendela kaca besar yang berjumlah tujuh. Dua yang besar di bagian depan, tiga di bagian belakang, dan dua masing-masing di samping kiri dan kanan.

Meski tak ada jawaban, sebagian penduduk tetap meneruskan usaha mereka untuk memancing siapa pun atau apa pun yang ada di dalam rumah itu untuk keluar. Pasalnya, mereka pernah melihat seberkas cahaya muncul dari dalam rumah itu menembus kaca jendela. Kadang dari depan, samping, atau depan. Cahaya yang muncul berwarna ungu. Membuat penduduk heran, lilin macam apakah yang bisa memunculkan warna ungu.

Akhirnya mereka memutuskan rumah itu menyimpan misteri. Ada yang beranggapan berhantu. Sebagian lagi meyakini rumah itu dijadikan persembunyian penjahat. Golongan ini biasanya berusaha memasuki rumah itu dengan paksa untuk membuktikan asumsinya. Namun, alih-alih terbukti, untuk mendobrak pintu atau memecahkan kaca jendela pun gagal dilakukan. Sisanya memilih menganggap rumah itu sebagai pelindung daerah itu. Semacam sesepuh. Peninggalan leluhur yang mungkin pertama kali tiba di daerah itu. Kepercayaan ini dianggap paling masuk akal melihat bentuk rumah itu yang seperti benteng. Mungkin untuk berlindung dari serangan musuh.

Keberadaan misteri yang melingkupi rumah itu menjadikannya semakin terkucil. Para lelaki dewasa membuat rute ronda malam hari menjauhi rumah itu. Tak ada pedagang yang melewatinya. Meski jalan berbatu dan sedikit menanjak bagus untuk olahraga, orang-orang tua mencari jalan lainnya saat lari pagi. Apalagi anak-anak. Mereka paling gampang ditakut-takuti orangtuanya untuk menghindari rumah itu. Dari hantu berbentuk siluman, jin, hingga peri, ampuh untuk membuat mereka tak selangkah pun berani mendekatinya.

Kakek berbeda dengan penduduk lainnya. Ia tak pernah melarangku pergi ke rumah benteng. Ia hanya mengingatkanku untuk tak melewati pagar yang mengelilingi rumah itu. Aku mematuhi perintah kakekku walau ada godaan besar dalam diriku untuk memetik bunga mawar beragam jenis yang entah mengapa tumbuh begitu indah dan teratur di halaman rumah itu. Seperti ada tangan yang tak tampak telah dengan sengaja menanam bunga-bunga itu.

Aku kembali diajak ibu ke rumah kakek saat berusia lima tahun. Kakek tak lagi sering menemaniku berjalan-jalan. Selain karena kembali mengajar di sebuah universitas swasta, aku sudah mulai bisa berbicara. Suatu hari aku memberanikan diri mengunjungi rumah benteng. Tentu saja tanpa sepengetahuan kakek. Saat itulah aku bertemu Dante.

Ketika aku tengah ragu menimbang apakah aku sebaiknya nekat saja masuk ke halaman rumah benteng itu untuk mengambil beberapa kuntum mawar atau menuruti petuah kakek, aku dikagetkan sosok seorang bocah lelaki berambut ikal cokelat kemerahan yang berdiri di sebelahku.

“Kamu takut?”

Aku mengangguk.

“Kenapa?”

“Tak tahu. Aku hanya takut dimarahi kakek.”

“Ia tidak di sini. Tak mungkin ia tahu. Atau mau aku yang memetikkan mawar untukmu?”

Aku menggeleng. Tubuhku tetap mematung. Ia kemudian menggandeng tanganku dan mengajakku masuk. Bersamanya, aku memetik tiga kuntum mawar. Kuning, putih, dan pink.

“Aku harus pulang. Terima kasih sudah menemaniku memetik bunga.”

Ia tersenyum.

“Namaku Dante. Kembalilah ke sini kalau kamu menginginkannya lagi. Ini khusus untukmu,” ujarnya sambil mengulurkan setangkai mawar berwarna merah pekat. Aku menerimanya dengan tangan kananku yang sudah penuh dengan tiga tangkai mawar. Tangan kecilku yang tak mampu menggenggam sebanyak itu pun tertusuk duri tepat di jari tengah. Dengan sigap, Dante mengambil jariku dan mengisapnya pelan. Aku termangu melihat pipi pucatnya perlahan bersemu merah.

“Nah, sekarang darahmu sudah berhenti menetes. Begitu sampai rumah jangan lupa diobati, ya.”

Kami masih bergandengan tangan sampai keluar pintu gerbang. Meski hanya diam, aku yakin ia memahami senyuman di hatiku. Aku berlari menyusuri jalan menurun menuju rumah kakek. Saat aku berbalik, tak lagi kulihat sosoknya. Itulah saat terakhir aku melihatnya. Karena seminggu kemudian, ibu mengajakku pindah mengikuti suami barunya.

Tak banyak hal yang tersampaikan di surat wasiat kakek. Ia menginginkan rumahnya dibagi secara adil untuk ibu dan tante. Akhirnya mereka berdua memilih untuk menjual dan membagi uangnya. Aku sama sekali tak berminat dengan pembicara soal harta. Aku sendiri memutuskan datang demi kenanganku akan kakek dan rumah benteng.

Selagi seluruh keluarga membicarakan warisan, kuputuskan untuk mengunjungi rumah benteng. Senja mulai membentangkan cahaya pucat matahari. Baru kusadari, jalanan menanjak tak seberapa berat dibanding tubuh kecilku di masa lalu. Napasku tak sampai terengah saat aku sudah tiba tepat di depan gerbang rumah yang tetap sama saat terakhir kali kulihat di usiaku yang kelima.

Mawar aneka rupa masih rimbun bersemak di halaman. Hampir tak percaya ketika aku melihat Dante berdiri di sebelah semak mawar berwarna merah pekat. Warna yang sama dengan mawar yang ia berikan 20 tahun lalu. Sosok Dante pun masih sama. Bocah kecil seperti diriku 20 tahun silam dengan rambut keriting cokelat menaungi wajah pucatnya. Ia melambai. Mengajakku masuk. Aku terdiam. Otakku sempat memerintahkan tubuhku untuk berbalik dan berlari menjauhi rumah ini. Namun, mata bening Dante mengembalikanku pada kenangan akan ayah dan kakek. Seolah dua sosok yang selama ini menambal kekosongan di dadaku itu kembali hadir. Nyata teraih mata.

Kusambut tangan Dante yang terulur. Berdua dengannya, aku melangkah menuju rumah benteng. Aku mendapati pintu rumah itu terbuka lebar. Di ambang pintu, kulihat ayah dan kakekku berdiri. Mereka mengulaskan senyum yang selalu kukenali di setiap mimpi. Langkahku setengah bergegas, tetapi kecepatan langkahku tak bisa kutambah. Kurasakan genggaman Dante memberat. Menahan tubuhku untuk segera menghampiri kakek dan ayahku.

“Kamu tak bisa ke sana. Mereka berbeda denganmu,” ujar Dante sambil menghentikan langkahku.

“Aku tak melihat bedanya.”

“Mereka malam. Kamu siang.”

“Tak bisakah keduanya?”

“Manusia harus memilih. Begitu pula dirimu.”

Aku terdiam. Kuarahkan pandanganku kembali ke ayah dan kakek. Mereka tetap mengulaskan senyum yang menghangatkan dadaku. Bimbang hati, kualihkan pandanganku ke Dante. Semburat jingga di cakrawala berada di belakang punggungnya. Sisa sinar senja sore hari di balik tubuhnya membuat Dante serupa gambar malaikat kecil yang mencahayakan kesucian. Perwujudannya mendorongku membulatkan keputusan yang selama ini menjadi mimpi-mimpiku yang tak pernah lagi kuingat saat terbangun. “Aku memilih malam.”

Dante mengulurkan mawar merah pekat di genggamannya. Saat aku menerimanya, kusadari tubuhku mengecil. Aku gadis kecil 20 tahun silam. Sebaya dengannya, setinggi tubuhnya. Seiring redupnya matahari, yang tinggal menyisakan bayang abu-abu di tanah, kurasakan nafas Dante kini mendekat di telingaku. Ia menyibakkan rambutku. Tanpa sempat menentukan rasa di indera perabaku, kurasakan bibirnya mencecap leherku.

Kurasakan darahku mengalir deras menuju ke satu titik di leherku yang tengah dikecupnya. Alih-alih merasakan darahku terisap, di balik mataku yang terpejam, kulihat semua kenangan tentang apa pun yang pernah kulalui sebagai manusia, terbang berhamburan meninggalkan diriku. Mendesis, menguap, menghilang. Aku serupa kotak yang kembali kosong.

Dalam hitungan beberapa menit, malam menjadi terang di mataku. Bisa kulihat jelas ribuan kelelawar menggantung di ketinggian teritisan atap rumah benteng. Bahkan, bisa kutangkap gerakan semut yang bergerak pelan di sebatang pohon yang berjarak dua meter dariku.

Ketimbang merayakan perubahan yang kualami, aku memilih untuk menghambur ke pelukan ayah dan kakek yang masih berdiri di ambang pintu rumah benteng. Mereka menyambutku dengan kehangatan yang kukenal. Kami melangkah masuk, diikuti Dante yang berjalan tanpa suara. Sejak malam itu, aku berdiam di rumah benteng dalam hitungan waktu tak bertepi. Tentunya mereka yang mencariku hanya akan menemukan setangkai mawar merah pekat di depan pintu yang tertutup tanpa bisa dibuka oleh tangan manusia. Mawar itu tak pernah layu. Selamanya merah pekat. Seperti darah yang memikat.


Arsip : Kumpulan Cerpen Kompas

Kumpulan Cerpen Kompas