.:" I love you, not only for what you are, But for what I am when I am with you ":.

Kamis, 27 Januari 2011

IN D’NAME OF LOVE

Diangkatnya aku ke atas kuda putih yg berdiri gagah dengan pelana berlapis emas melingkar di punggungnya. Cakep banged kuda putih yg tinggi besar ini, mungkin pangeran yg memelukq dr belakang saat ini juga setampan kudanya (semoga wajahnya gak seperti kuda :)

Belum sempet aku lihat wajah sang pangeran, dia keburu menghela kudanya agar berlari lebih kencang.Berdua kami menunggangi kuda putih melesat cepat menembus gumpalan awan yg berderet rapi di hadapan kami. Angin yg berhembus lembut, membelai pipiq yg hangat menempel pada pipi pangeranku. Perlahan dia berbisik lembut di tlingaku….

“Sayang…….”

Duh, membuatq melayang tinggi ke awang2, senangnya dipanggil sayang…..

“Sayang….. Sayangku…. uda siang, ayo bangun…. Anak perawan bangunnya siang2, rejekinya keburu abiz dipatok ayam….”

Perlahan kubuka mataku yang kerasa berad banged, seolah gakmau diajak kompromi untuk kembali ke alam nyata…

“Uuuummm… Bundaaaaa… Ganggu aja…. Ini kan hari mingguuuu…”, sahutq dg suara serak2 becek tak bertenaga yang kayaknya ngalahin sexynya suara Dewi Persik deh :D

Yeap… Hari ini hari mggu, harinya bangun siang krn gak perlu brgkat ksekolah. Dan artinya… Pangeran berkuda putihq hanya ada dlm mmpi :(Sementara suara lembut yg membangunkanq dg penuh cinta, dialah Bunda q. Wanita hebad yg begitu aktif dan optimis. Wonder Woman q….Entah jam berapa Ia bangun dr tidurnya,yang pasti setiap kali aku mmbuka mata di pagi hari, sudah terdengar suara kesibukan di dapur. 3 gelas teh manis dan segelas kopi kental sudah terhidang di meja kecil di ruang tengah,komplit dengan jajanan pasar yang berbeda2 setiap harinya. Kotak makanan berisi nasi dan lauk pauk beserta sayur sudah siap untuk aku masukkan ke dalam tas sekolahku untuk bekal makan siang nanti. Dan hari ini, hari minggu… Minggu pagi adl hari berkumpulnya kami sekeluarga.Aq dan chacha, adik perempuanq lbur sekolah, ayahq masuk shift siang di hari mggu.Artinya…. Ada menu spesial di atas meja….. Menu yg akan menemani kami nonton tivi bersama pagi ini.

Benar saja, 3 mangkok kolak pisang menanti kami di atas meja. Kok cuma 3 mangkok? Kan kami ber 4 di rumah ini???Yah, begitulah Bundaku… Dia yang sibuk, dia yg capek, tapi sll dia yg terakhir menikmati hasil kerja kerasnya itu.Karena baginya, keluarga yg utama….
Iauda, tanpa basa basi aku dan Chacha yg br turun dr tempat tidur,bahkan blum cuci muka, langsung menjamah kolak pisang jatah kami yang masih hangat dan nikmat.

“Ckckckck…. Anak cewek dua kok kompak banged, cuci muka dulu nae baru makan….”, ayahq yg sudah bangun lebih dulu hanya bisa geleng2 kepala melihat kelakuan dua anak gadisnya yg kompak bandelnya ini :p

Dan seperti byasa, aku dan chacha hanya menanggapi dg satu snyuman nakal,

“hehe….”, (nyengir mode: ON)

**********************

Sore ini kami sekeluarga menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu keponakan ayah yang usianya gak jauh beda dengan q. Yap, nikah muda di Bali rasanya uda bukan hal aneh lagi, meskipun dunia uda semakin tua dengan modernisasi seperti saat ini.Bahkan parahnya, menikah krn terpaksa, wooopz…. maksudnya menikah krn kecelakaan, Married By Accident-MIB lah istilah kerennya,seperti sudah membudaya di tanah sakral yang dikenal sebagai Pulau Dewata ini.Dan itu juga yang kali ini terjadi pada kakak sepupuq, k’Putu, anak pertama adik perempuan ayahku :p

Setelah mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, aq, chacha, ayah dan bunda mencari posisi duduk yg nyaman di barisan terdepan kursi plastik yg berjejer di halaman rumah nenek yg lagi heboh diperebutkan oleh anak-cucunya sebagai warisan di masa depan. Pdahal nenek masi ada, tapi saudara2 ayahq sudah sibuk memikirkan pmbagian jatah tanah warisan itu untuk mereka. Dan ayahku selalu pergi menyingkir styap kali pmbicaraan itu dimulai.

“Kenapa harus ngeributin itu, nenek masih ada”, kata ayah dengan nada serius dan wajah datar berusaha menyembunyikan kekecewaanya terhdap saudara2nya yg haus warisan itu.

“Udah lah yah, gakusa dipikirkan. Yg pntg kita uda pnya tempat tggal utk anak2 kita.. Gak perlu ikud2an cari msalah gara2 warisan, kasian nenek….”, begitulah Bunda yg dg bijaksana sll dapat menenangkn hati Ayah disaat gundah.

Dan tanpa diperintah, Bunda langsung beranjak mngambil segelas kopi kental yang disediakan oleh panitia untuk para tamu. Untuk siapa lagi Bunda mengambil kopi itu kalau bukan utk ayah… Kalau aku dan chacha sie uda dari tadi megang sebotol minuman soda dan sepaket snack yg terdiri dr beberapa jenis jajanan khas Bali.

Begitulah ayah, ktika memenuhi undangan dari siapa aja, gak pernah mau menikmati makanan yg dihidangkan oleh si empunya acara. Cukup segelaskopi atau teh saja, dan Bunda sudah sangat hapal dengan kebyasaan ayah itu.

“Ayah dan Bundamu romantis banged ya ai’…”, celoteh Komink yg tiba2 datang dg sepiring nasi komplit dengan lawar BaLi, sate lilit, dan jukut ares. Komink adalah sepupuku, anak ketiga dari adik ayah yang lain, adik laki2 ayah yang sekarang sudah sangat mapan dengan jabatany sebagai Kapolres di tanah Jawa sana.

“Byasa aja Mink… Bunda emang selalu gtu kok, ngladenin ayah banged”, jawabq sambil mencomot sate lilit dari piring komink yg membuatnya protes besar padaku.

“Huwaaaaaaaaa…. Kalian ganggu aja, awas aja kalo aku makin kurus,” protesnya saat chacha ikud2an merampas satu tusuk sate lilit lagi dr piring komink.

Haha…. Dan kami bertiga sibuk bergumul dalam canda dan perang sate lilit sore itu….

Yah…. aq baru nyadar, Bunda emang selalu paham kebyasaan ayah dan dengan tulus selalu siap melayani ayah layaknya seorang raja. Demikian pula terhadap kami, anak2nya yg meskipun sering bikin pusing tapi tetap dibanjirinya dengan cinta dan kasih sayang.

**********************

Hari itu bagai disambar petir rasanya ketika aku membaca sms di hp ayah. Sms dr nomor yg tersimpan dg nama “W”. Ntah perasaanq aja, atau mgkin sifat skeptisq yg mudah curiga pada orang laen, tapi perasaanq gak enak dg sms kali ini.

“nanti jemput di Pertigaan menuju Bangli itu ya pak, jangan lupa bawa helm”, dmkian bunyi sms dhp ayahq yg q prediksi dkirim oleh seorang wanita.

Mungkin sms itu trkesan byasa saja, hanya saja, siapa dan kenapa harus minta jemput ayahq??? Dan Bunda gak tau menahu ttg itu.

Sakit banged rasanya, nyesek, bingung mau cerita pada siapa. Mau klarifikasi pada ayah, gak ada keberanian utk itu, apalagi curhat ke Bunda… Aq gak mau Bunda sedih kalo tau ttg sms itu. Jadi, aku simpan sendiri kegalauan itu dalam hati.

Yap, entah uda berapa lama sms aneh dhp ayah kusimpan rapat sebagai rahasia yg gkada org laen bole tau,bahkan ayah sendri gak tau aku pernah membaca sms itu.Dan hari ini, gundah yg hampir terlupakan itu justru menjadi luka yg teramad dalam. Bunda menangis di hadapanq, bercerita ttg sbuah pghianatan yg ternyata dilakukan oleh ayahq sndiri. Bisa kulihat serpihan2 mimpi penuh cinta, yg berceceran di antara luka, Luka yg begitu dalam yang gak bisa kubayangkan btapa perih dan sakitnya.

Benar….Ternyata apa yg aq pikirkn ttg ayah dan sms itu adalah benar. Ternyata ayahq seorang penghianat… Laki2 yg selalu aku banggakan di depan semua orang, yg begitu q hormati ternyata adalah makhluk durjana… Begitu nistanya dia yg menodai kesetiaan dan pengabdian Bundaq. Tidakkah dya ingat, seberapa dalam cinta Bunda padanya? Lupakah dya pada wanita yg tak takut berkorban untuknya selama bertahun2 dalam hidupnya?

Lagnat perempuan yg membutakan mata ayahq dg kemolekan tipu dayanya. Bejat dusta dan penghianatan yg ayahq lakukan pada wanita yg dengan setia mengabdikan seluruh hidup baginya….

Hancur duniaq melihat air mata Bunda yg mengaliri puing2 kpdihan di hatinya,
dan Tuhan…. Ini bukan yang pertama……………

Apalah guna maaf yg diberikan Bunda untuk kesalahan pertama dan kedua ayah dulu, toh akhirnya kini terulang lagi yang ketiga??? Dan sangat mungkin akan trulang yg keempat, kelima dan arrrrrrrggghh…. ntahlah…. Ntah apa arti kepercayaan yg diberi Bunda pada ayah untuk sebuah cita2 “setia sampai mati”……

Dan di sudut ruang hitam penuh dusta itu, Bunda berjuang untuk tidak terus menjadi pesakitan, demi aku dan chacha…. Karena kami membutuhkannya, karena itu Bunda bertahan dengan sisa2 kasih yg coba ia rangkai kembali untuk anak2nya.

Tersayat hatiq saat dengan terpaksa meminta Bunda meninggalkan ayah bersama dustanya dan hidup hanya bertiga dengan kami, anak2nya, dari bibirnya yg tak bosan mengucap doa itu, Bunda hanya berkata, “Gimanapun juga dia Ayah kalian, suami Bunda……”

Bunda, wanita tegar yg penuh kasih, kepercayaan, dan pengabdian pada sosok suami yg begitu dipujanya, Kini terpuruk dalam kejamnya penghianatan, Dan ia tetap bertahan,
In d’Name of Love………….

Rabu, 26 Januari 2011

SEGELAS AIR PUTIH

Tak lepas pandangan Ahmad menatap segelas air putih di depannya. Dihempaskan tubuhnya di sofa, sambil melepas sepatu satu-satu, kemudian dilemparkannya dipojok ruangan tamu. Tak habis pikir, sudah 3 hari ini di meja makan hanya tersedia segelas air putih dan tiga biji butir korma. Ada apa dengan istrinya?. Dia membatin. Rasanya uang belanja yang dia berikan cukup untuk menyediakan makan 10 orang. Kenapa hanya segelas air putih. Bisa saja Ahmad makan diluar. Dengan jabatannya di dirjen pajak, apa saja sanggup dia beli. Rumah sekarang yang ditempati saja mampu untuk menampung 100 orang, mobil sudah terpakir model terbaru. Duh, benar-benar Ahmad tak habis pikir. Rasanya dirinya benar-benar tidak dihargai istrinya. Apakah istrinya tidak tahu kalau di kantor dia bisa memerintahkan siapa saja, perlu apa saja dia tinggal tunjuk. Dengan masgul, dia tatap segelas air putih, dengan pikiran melayang. Hampir nanar.

Teringat dahulu begitu mempesonanya sang istri, dia harus megalahkan selusin laki-laki, untuk mendapatkannya. Anggun dan berbudi pekerti luar biasa. Siapa yang tidak terpesona akan tutur katanya yang santun. Masih ditambah dengan kecerdasan yang amat menonjol. Bagai kejatuhan bulan. Itulah yang dia rasakan saat pinangannya diterima. Ya, dia amat mencintai istrinya. Tapi kalau sekarang dirinya disamakan dengan segelas air putih. Ahmad tanpa terasa geleng-geleng kepala. Betapa lelahnya dia seharian, paling awal dia pulang jam sepuluh malam. Dimana semua sudah tertidur. Biasanya dimeja makan lengkap sudah masakan kesukaannya, itulah bentuk penghargan dari istrinya padanya. Itu melahirkan rasa bangga bagi Ahmad. Rasa dihargai, rasa dihormati. Apalagi istrinya pasti memasak sendiri untuknya. Dia tidak pernah mempercayakannya kepada pembantu. Itu yang Ahmad suka. Seorang istri yang sempurna. Ada rasa aneh menyelinap di dada Ahmad. Segera ditepisnya. Diusap mukanya, dengan lunglai dia melangkah ke kamar, menatap sebentar istri yang sudah tertidur, ada rasa haru, tanpa sadar menghela nafas berat. Besok sajalah dia akan mencoba berbicara dengan istri. Setengah berbisik, dia kembali ke ruang pribadinya untuk sekedar menikmati musik kesayangannya. Sebuah ruangan bak studio rekaman yang mampu menghadirkan orkestra bagai menikmati suasana pertunjukan langsung. Dentuman halus, menghantarkan Ahmad menembus mimpi-mimpinya.

Memasuki alam mimpi, Entah mengapa pikiran masih saja menggayuti, keengganan akan air putih. Yah..segelas air putih, apa enaknya ?. Sungguh dia telah lupa betapa nikmatnya air putih. Begitu sejuk melegakan tenggorokan, menyapu setiap syaraf yang dilaluinya, dari kerongkongan, hingga memasuki ronnga perut. Terasa bagai guyuran air yang meyejukan peredaran darah. Baginya tak ada rasa. Sama saja.

Jutaan manusia yang berbaris mengais hidup di padang pasir yang tandus, mengerti betul bahwa segelas air putih lebih berharga daripada emas. Dalam belantara padang pasir siapapun rela mengorbankan harta bendanya demi segelas air putih. Yah..segelas air putih mampu menyelamatkan mereka dari kematian akibat kehausan.

Disisi belahan bumi yang lain, di kutub-kutub dan padang padang salju. Di kutub kutub yang masih di selimuti gunung-gunung es. Manusia tak terlalu membutuhkannya. Dengan mudahnya mereka mendapatkan, karena seluruh hamparan mata memandang semua adalah air. Mereka membutuhkan kehangatan. Yah..rasa hangat, dari matahari akan menyelematkan mereka dari kedinginan.

Manusia di kedua belahan bumi tersebut tentunya, akan memaknai segelas air putih dengan cara berbeda, dengan persepsi yang berbeda pula. Manusia yang hidup di padang pasir tak henti berdoa kepada Tuhannya agar diturunkan air dari langit, untuk segelas air putih yang akan membasahi tenggorokan mereka. Manusia yang hidup di kutub meski membutuhkan air namun mereka tidaklah meminta agar diturunkan air hujan seperti halnya rekan mereka di padang pasir.

Ketika nikmat panas diberikan kepada kutub.. apakah sama rasanya ketika diberikan kepada padang pasir..? Ketika nikmat air sejuk dan dingin diberikan kepada padang pasir apakah sama rasanya jika diberikan kepada kutub..? Bilakah manusia-manusia di dalamnya mau bertukar tempat..? Orang padang pasir menempati kutub dan diberikan apa permintaannya air yang sejuk lagi dingin terus menerus..? dan begitu juga sebaliknya... maukah mereka seperti itu..(?)

............................................ manusia memohon dengan persepsinya rahsa yang menurutnya nikmat.. bahkan tidak pernah mau melihat realitas tersebut........................

Betulkah panas yang diminta orang kutub baik untuk dirinya dan lingkungannya..?
Betulkah air hujan yang diminta manusia padang pasir baik untuk dirinya dan lingkungannya..?
Apakah manusia yang lebih tahu
Ataukah Tuhan yang tahu kebutuhan hamba-hambanya
.......................

Ahmad masih memasuki alam mimpinya. Semua telah dimilikinya. Maka segelas air putih menjadi tak ada rasanya. Kemanakah rahsa yang dahulu begitu nikmat. Ketika segelas air putih membasahi tenggorokannya saat pertama kali, menapakkan kaki di belantara Jakarta. Panas yang menyengat , polusi dan kemacetan membuat air segelas itu nikmat luar biasa, melegakan sekali. Tubuh menjadi segar luar biasa, dan semangat kembali membara. Memasuki tiap kantor dalam mencari kerja. Itu tinggal cerita lama. Sekarang dia mampu membeli minuman seharga berapapun. Ketika semua mampu di dapatkannya, apakah salah jika dia meminta lebih dari pada segelas air putih. Meskipun dia tahu sebenarnya fungsi bagi ketubuhan adalah sama saja. Baik air putih atau air berwarna. Namun..(?). Dia tiba-tiba terjaga dari mimpinya. Kemana rahsa nikmat tersebut hilang. Nikmatnya segelas air putih. (?). Manakah yang lebih baik. Mampu membeli semua minuman namun kehilangan rahsa. Ataukah segelas air putih namun sangat terasa kenikmatannya..?. Dimanakah yang salah..?. .

Sungguh istrinya benar-benar mengerti keadaannya. (?). Dia telah kehilangan kenikmatan segelas air putih. Dan sang istri mengingatkannya. Mengingatkan bahwa dia telah kehilangan amat banyak. KEHILANGAN CINTA TUHANNYA.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin.” Dan bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengingat Nabi Daud ’alihis-salaam beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR Tirmidzi 3412)

“Ampuni hambaMU, Ya Allah”. Ahmad jatuh tersungkur. Nikmatnya air putihpun dia sudah lupa. Pengambdian sang istri pun dia sudah sering abaikan. Egonya mengatakan bahwa dia telah berikan semua kekayaan kepada sang istri, sudah kewajiban istri. Duh..dia tak mampu menikmati kesetiaan dan pengambdian sang istri,dan juga nikmat segelas air putih. Sekarang bagaimana dapat dia perbandingkan dengan cinta Tuhan-NYA. Apa yang dapat di perbandingkan. (?). Maka Ahmad paham hilangnya kenikmatan segelas air putih adalah pertanda bahwa cinta Tuhan sudah tiada. Segelas air putih pun dia sudah tak mampu merasakan nikmat, bagaimana dia mampu merasakan betapa nikmat CINTA TUHAN , bilamanakah mampu dia rasakan.(?). Harta dan kekayaan dunia telah menghijabnya. Menjadi thogut selama ini. "Ya Allah berikanlah kenikmatan segelas air putih, agar kami mampu merasakan betapa cinta MU melebihi nikmatnya segelas air putih, sebagaimana doa nabi Daud, ajarkanlah ya Allah. Aajarkan kami untuk mampu menikmati kembali kenikmatan segelas air putih yang telah lama kami lupakan, sungguh nikmat mana yang dapat kami dustakan". Ahmad bersujud dan menangis amat dalam.

Arsip : Menapak Jalan Membuka Hati

Selasa, 25 Januari 2011

RAHASIA MEMBERI

Seorang duda kaya raya jatuh sakit, hanya ditemani oleh tukang kebun tua dan supir setianya saja. Anak-anaknya yang tinggal nun jauh disana tidak sempat menjenguknya. Mereka hanya sempat mengirim aneka hadiah bagi kesembuhan ayahnya. Tatkala berbaring sendiri di rumah sakit, datanglah seluruh keluarga dan sanak famili si tukang kebun tua dan supir setianya. Mereka menemani dan menginap sampai si tuan kaya raya sembuh dan pulang kembali. Tak henti mereka mendoakan dan menghibur si tuan kaya raya dengan aneka cerita lucu dan tawa canda.

Tatkala ayahnya telah sembuh, anaknya membanggakan diri bahwa dengan hadiah-hadiah mahalnya itulah yang membantu ayahnya pulih kembali. "Tidak " tukas ayahnya, "akan tetapi sebab si tukang kebun tua dan supir setia kulah yang membuatku sehat kembali".

Ternyata, Perhatian dan kehadiran kita adalah pemberian yang jauh lebih berharga daripada harta benda dan kecukupan materi.

Sebuah badan amal mengadakan penggalangan dana dengan menampilkan pagelaran musik dari berbagai musisi terkenal. Tiada disangka datanglah sepasang manula dipenghujung acara. Mereka meminta kesempatan untuk menyanyi sejenak. Awalnya panitia menolak mengingat acara sekaliber itu tidak pantas bagi oma-opa tersebut. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya panitia tidak tega melihat kegigihan mereka tuk menyanyi. Awalnya mereka mencibir, hingga tatkala sang nenek menyanyi dengan penuh penghayatan diiringi petikan gitar sang kakek.

Penonton seperti terpana dan tergugah emosinya. Suara si nenek tidaklah bagus, pula iriingan gitar sang kakek pun tiada merdu, akan tetapi kesungguhan yang terpancar dari wajah tua mereka, menghapus rasa lelah dan cucuran keringatnya. Tepuk tangan bergemuruh ketika mereka usai menuntaskan penampilan terakhir mereka, sebelum akhirnya mereka dibawa kerumah sakit dan menghembuskan nafas terakhir disana. Kelelahan dan penyakit lemah jantung rupanya telah merenggut nyawa mereke. Meski demikian mereka tampak bahagia karena telah berbuat sesuatu yang sangat berharga di penghujung usia. Menyanyi sepertinya adalah pekerjaan ringan bagi kita, tetapi tampaknya tidak demikian bagi sepasang tua renta nan papa.

Ternyata, bobot pemberian tidak dinilai dari harga bendanya sendiri, akan tetapi dari totalitas diri sang pemberi dan seberapa berharga hal itu bagi diri sang pemberi.

Disebuah padang pasir yang terbentang luas, tiga orang pengembara tengah tersesat tak tentu arah. Persediaan makanan menipis, minuman pun tinggal sedikit sementara matahari kian sangar memancarkan panasnya. Ahirnya mereka menemukan oasis dimana mereka memuaskan diri dengan mandi dan minum serta memenuhi kantung air dan bekal mereka. Diperjalanan tiada terasa mereka telah minum cukup sering sementara salah seorang temannya nampak kering kerontang. Mereka memarahi sang kawan karena tidak membekali diri dengan air yang banyak.

Setelah tiba di sebuah kota sang kawan terpaksa dirawat dirumah sakit akibat dehidrasi parah. Ketika membersihkan perbekalan mereka menemukan bahwa kantung air mereka masing-masing telah bertambah satu dan sang kawan yang sekarat hanya memiliki sekantung kecil air. Akhirnya mereka sadar, bahwa diam-diam temannya yang sekarat itu telah menambah perbekalan air mereka dan mengurangi jatahnya sendiri. Dia sadar bahwa dalam perjalanan jauh tidak boleh mereka semuanya sekarat bersamaan, harus ada seseorang yang mengorbankan diri demi sahabat-sahabatnya.

Ternyata pemberian terbaik adalah ketulusan yang tersembunyi, utamanya dikala sulit.

__________________________________________________

Ternyata memberi tidak sesederhana yang kita kira,

Meski demikian pula tidak sesulit yang kita sangka,

Pemberian sendiri mungkin tidak terlalu bernilai, akan tetapi

makna sang pemberi yang membuatnya begitu berharga.


Apakah sahabat taqwa memiliki " rahasi memberi " lainnya,

Ayo-ayo silakan di share disini, siapa tahu akan menginspirasi sahabat taqwa yang lain.

Memberi sesuatu dari milik kita adalah hal yang biasa,

Memberi sesuatu dari diri kita itu yang luar biasa.


Arsip : Inspirasi Taqwa


MENANTI KEAJAIBAN

Sore itu, kira-kira pukul 14.00 di sekolah, seperti biasanya setiap hari senin ampe kamis, kelas kami ngadain les tambahan,, gag seperti les yang biasanya .. kali ini aku hanya bisa maen ama temen, gara-gara aku kelupaan bawain uang jajan tambahan ,, maklum agak pelupa… mungkin hari itu adalah hari keberuntunganku,, aku gag sengaja sambil ngejailin temenku malah nyempetin untuk ngejailin dia juga,, tapi dia malah senyum, dan kali ini senyumannya begitu indah,, sayang deh,, bagi yang belum liat,, hehehe..

Suatu pagi, aku bermaksud untuk duduk ama dia dan dia pun ngebolehin aku buat duduk dengan dia,, “wah, ternyata baeg juga ya neh cewek” ungkapku,, tapi hanya dalam hati,, soalnya gag enaq ngomong langsung,,

Bel pun berbunyi, dan pelajaran dimulai, ternyata tiba-tiba ulangan mendadak “wah,, untung ajah aku udah ngapal” bisikku dalam hati.. Mungkin dia lupa atau gimana,, ternyata dia belum ngapal pelajaran itu,,, dan kami pun di bagi dua kelompok,, ternyata kami menjadi kelompok yang pertama untuk ulangan dan kelompok kedua dipersilain keluar untuk belajar sebentar,, “aduh,, coba jadi kelompok dua,, bisa nyempetin untuk ngapal bentar” ungkap dia kepadaku.. “ya,, tenang ajah deh,, aku tunjukin kamu koq nanti ” jawabku..

Mungkin gara-gara perasaan aku yang mulai agak suka dengan dia,, aku coba bantuin dia ngerjain soal ulangan itu.. dan aku pikir,, gag ada salahnya koq, nyoba buat dia tersenyum.. kalo itu bisa buatnya senyum…

Sehabis pulang sekolah,, gag tao dimana ngeletakkin sepatu, ngeletakkin baju.. aku langsung ganti baju dan nyoba buat kata-kata yang romantis untuk dia,, walaupun aku bukan orang yang puitis.. Sambil memegang handphone yang rasanya hampir jatuh ke lantai dengan perasaan yang agak malu-malu, wajah yang mulai agak merah, tangan yang berkeringat seolah-olah kecapekan padahal cuma berlari ke kamar ajah.

Tapi aku tetap nyoba beraniin diri buat nyampein kata itu untuknya, satu demi satu patah kata aku rangkai yang mungkin bisa buat dia kagum padaku. namun sayangnya, sesuatu yang aku harapin itu gag bisa langsung terjadi, dia bales sms ku yang bunyinya “aku senang punya sahabat kayak kamu, kamu udah sering bantuin aku.. buat aku senyum, jadi aku engga mau kamu berubah,, aku ingin kamu yang kayak sekarang,, jadi sahabat yang baik buat aku”,, ngeliat balasan sms itu, aku hanya bisa termenung, dan buat aku sadar bahwa aku cuma seorang sahabat untuknya, gag lebih.

Walaupun dia udah ngucapin kata-kata itu,, tapi aku tetep berusaha tuk dapetin dia.. aku nyoba lagi sms dia dan aku mohon untuk dia “hargai perasaan aku ne,, please..”.. dan aku harap ucapan aku buat dia sadar.

Mungkin karena perkataanku itu, aku merasa agak bersalah, dan lagi-lagi aku ngirim sms buat dia yang berisi permintaan maaf, untung ajah dia bales sms ku dan ngomong kayak gini “iya, aku maafin koq, tapi maaf aku sekarang lagi punya masalah neh dan mungkin aku gag bisa bales sms kamu nanti”

Suatu pagi, aq bangun kesiangan dan akhirnya aku telat ke sekolah, ama kakakku, aku pergi ke sekolah, abis turun dari motor aku langsung berlari ke kelas dan langsung masuk kelas dengan muka merah, karena aku ngerasa malu apalagi dilihat ama dia. Tok-tok, dengan perlahan masuk kelas, aku ngucapin “assalammualaikum bu, maaf bu kami terlambat ”, “wa’alaikumsalam, ya silakan masuk punja” sahut guru yang sedang asyik mengajarkan rumus-rumus kimia kemudian aku langsung mencium tangan guru kimia tersebut. Gara-gara aku terlambat,, aku duduk di belakang deh, karena di belakang adalah tempat untuk orang yang emang terlambat, tiba-tiba ketika aku ngeliat di papan tulis, banyak rumus-rumus kimia yang udah diajarin ke teman-temanku, waktu aku belum datang “mudah-mudahan aku bisa ngerti tentang rumus ini” ucapku di dalam hati.

Gag nyampe 10 menit, guru kimia itu ngeberiin sebuah soal yang harus dikerjain di papan tulis, aku pun ngangkat tangan, dan berkata “kalo salah, gag papa kan bu ??” , “iya, namanya juga belajar, ga papa koq” kata guru itu sambil senyum.. Dengan berjalan agak lemas karena udah kecapekan berlari, aku langsung ngerjain soal tadi. Hampir selesai soal itu aku kerjain, terdengar sebuah suara yang sudah akrab aku dengar, ternyata suara dia,, dengan semangat ngasih tau padaku bahwa jawabanku tuh ada yang salah, dan dia pun bantuin aku ngerjainnya,, untung ajah dibantuin ama dia.. hahahaha

Sesuai dengan keinginan aku, jawaban yang dia tunjukin itu emang benar dan aku pun ngucapin terima kasih dengannya, kemudian aku duduk lagi ke bangkuku dan menatapin wajahnya yang bagi aku adalah sosok cewek yang baeg,, saat aku mandangin dia,, dia malah tersenyum,, saat aku bantuin ngerjain tugas buat dia,, dia pun lagi-lagi tersenyum, senyumnya yang membuatku... Ah! lupain ajah. Sebelum bel berbunyi, guru tersebut memberiin tugas lagi yang harus dikerjainn dan dikumpul dalam waktu 20 menit.

Salah satu temanku yang dikenal agak pemalas bilang “bu, tugas ini dikerjain waktu les aja bu”, dengan pernyataan menolak, guru itu langsung jawab “gag bisa, harus dikerjain sekarang, soalnya nanti pelajaran kita terhambat loh !!”. Denger perkataan guru tadi, temanku itupun langsung duduk lemas di bangkunya, tapi dia malah senyum waktu dia ngeliat temen sebangkunya udah hampir selesai ngerjain soal tadi, temanku tadi juga langsung jadi semangat dan dengan cepat nyontek pekerjaan temen sebangkunya tapi aku hanya cuma bisa senyum pada temanku tadi, karena dia emang dikenal pemalas, selain itu dikenal peribut di kelas,,.

Tak terasa tugas yang aku kerjain hampir selesai, kemudian aku ngeliat dia hampir juga nyelesain tugasnya. kami pun ngerjain soal terakhir sama-sama. Sehabis pulang sekolah aku dengan neo pergi main ke warnet, neo emang sahabat aku yang paling baeg,, kami di warnet buka Facebook sambil chattingan ama temen yang laen,,.

Aku ngeliat di facebook dan mulai chattingan ama dia, aku muji-muji tentang dia, beriin pernyataan suka dengan fotonya di Facebook dan segala macam lah,, dan akhirnya satu kalimat yang singkat, padat dan jelas yang pernah aku liat di chattingan adalah “ternyata kamu dan perhatian juga ya dengan aku” entah kenapa ngeliat kalimat itu,, aku ngerasa senang, karena aku belum pernah liat kalimat itu sebelumnya, dan kalimat itu mungkin bisa buat aku semangat …, aku mulai ngerasain hal yang indah.

Abis pulang dari warnet,, aku langsung nukar baju dan pergi keluar sambil nyari inspirasi buat blog,, sebenarnya blogku hampir semuanya terinspirasi dari dia,, karena kali ini blogku isinya berbeda dengan yang lain,, tentang yang romantis-romantis gitu,, hehe maklum,, mungkin aku baru ajah ngalamin yang namanya jatuh cinta.. gara-gara kejadian di warnet tadi.. karena dari awal aku juga udah suka ama dia..

Sambil nulis blog yang berisi tentang karya sastra romantis,, aku pun dengerin musik yang judulnya “menanti keajaiban”,, mungkin ajah bisa nambahin inspirasi aku,, selesai aq nulis blog, aku juga nulis status di facebook dengan nulis sesuai dengan perasaan aku sekarang,, dan ternyata dia juga nge-like status aku,, “makasih ya” aku bales di koment statusku….
Udah beberapa hari terakhir, dia gag mau ngomong lagi ama aku,, aku juga gag tau kenapa,, mungkin dia juga lagi banyak masalah… setiap kali aku lewat di depan dia,, biasanya dia nyapa dan senyum ama aku,, tapi udah gag lagi…

Suatu hari, waktu aku sedang maen voli ama temen-temen cowok laen,, aku nyoba untuk nyempetin ngeliat dia, tapi gara-gara mungkin konsentrasi aku udah pecah,,, servis voli pun udah melenceng,, dan temen ku bilang “napa pun nyervis nya melenceng??,, mikiri cewek neh ya ??”, dan dengan muka bengong pun aku jawab ‘ah, engga koq,, ga papa”.. sambil nyoba untuk konsentrasi lagi aku mulai agak serius maen voli,, dan team kami pun menang,,

Sehabis olahraga,, aku duduk ama temenku yang juga lumayan baek,, dia ngomongin masalah cowoknya… ya aku sih sebagai teman, senyum ajah denger curhatan dan omongan temanku… tapi aku gag tau tiba-tiba temanku ngomong, kalo temenku ini tau kalo aku suka ama si dia,, mungkin si dia udah cerita ama temenku yang satu ini..

Entah karena keajaiban apa tiba-tiba si dia ngomong dengan aku secara spontan ajah,, aku yang dengar kata-katanya langsung senyum,, tapi aku belum berani begitu ngedeketin dia lagi.. Waktu pelajaran sore, Alhamdulillah aku bisa ngerti dua mata pelajaran yang bagi aku agak sulit,, entah keajaiban apa lagi yang buat aku begitu,,,

Tiba-tiba ajah dia nanya ke aku tentang rumus-rumus itu,, aku sih malah seneng kalau dia deket dengan aku,, soalnya pas kami ditanyain tentang rumus pelajaran geografi, aku bisa menjawabnya.. setelah satu jam pelajaran berlalu, ada satu pelajaran lagi yang pake rumus juga,, “ini dia pelajaran yang aku sukai” ucapku kepada temanku yang kebetulan juga suka ama pelajaran kimia..

Aku merasa ada suatu keajaiban lagi yang buat dia begitu dekat denganku waktu sore itu,, aku ngerasa seneng banget abisnya udah lama gag ngomong ama dia langsung,, aku pun ngerjain tugas yang disuruh guru ama dia, aku dengan wajah yang biasa (tapi dalam hati seneng banget) mulai ngerjain satu-persatu tugas itu ama dia,, dan aku pun maju ke depan untuk nyelesain tugas itu,, aku maju karena udah nyelesain satu soal ama dia.. Sebenarnya aku mempersilahkan dia untuk maju ngerjain tugas yang udah kami kerjain,, tapi dia malah nyuruh aku,, aku pun langsung kerjain soal itu.,, aku rasa dia lebih baeg lagi ama aku karena udah beberapa hari yang lalu dia gag mau ngomong ama aku..

Dengan semangat pun aku maju,, eh tapi tiba-tiba aku lupa tadi rumusnya.. dan dengen wajah yang amat aku nantikan, dia pun langsung bantuin aku ngerjain soal ke depan,, aku ngerasa tambah seneng,, aku pikir kesempatan ini cuma hanya sekali terjadi,, aku janji gag akan lupain kejadian itu..

Sekali lagi,, aku ngerasain apa yang namanya “keajaiban”.. Pagi itu aku pergi sendiri ke sekolah, karena kakakku udah libur setelah ngadapi Ujian Nasional.. Aku udah nyerah duluan dan berkata dalam hati,, “kali ini terlambat pasti terlambat, gara-gara bangun kesiangan” tapi udah nyampe di kelas malah gurunya yang telat.. Ya aku rasa ga papa, namanya juga manusia pasti punya khilaf..

Setelah guru itu datang, kami ngebahas tentang cara mengundang seseorang dalam bahasa inggris, kalo bahasa inggrisnya (Invited Someone) .. Lagi-lagi karena aku semangat, aku pun maju ke depan untuk berdialog dengan temen sebangku. Sambil baca dialog, aku pun ngeliatin dia yang ternyata dia juga ngeliatin aku berdialog sambil senyum kepadaku,,

Sesudah pelajaran bahasa inggris berlalu, dilanjutin dengan Bahasa Jerman. Kami kira hari ini ulangan, tapi tiba-tiba ibu itu ngomong “hari ini kita gag jadi ulangan, karena ibu belum nyelesein untuk paket B nya,, yang baru ibu selesaiin baru paket A” dengan semangat dan sambil ketawa temen-temenku bilang “ya bu gapapa,, lanjutin ajah bu” .. Sambil tersenyum memandang ke arahnya, aku melihat dia, tapi dia gag ngerasa seneng abisnya dia udah ngapalin pelajaran bahasa jerman itu..

Akhirnya, kami cuma bahas tentang cara nulis kata-kata dalam bahasa jerman, ya ga papa deh.. Kami pun disuruh maju ke depan untuk nulisin apa yang ibu itu bilang dalam bahasa jerman, gag kerasa udah giliran dia.. aku pun nunjukkin dia, abis giliran dia,, nama aku pun dipanggil.. untung kata-katanya hanya singkat..

Bel istirahat pun berbunyi, aku pun keluar untuk makan bersama anggota SNAP yang terdiri dari Sandy, Neo, Adit dan aku sendiri Punja.. Kami berempat adalah sahabat yang selalu kompak dan setiap kami istirahat pun, kami selalu pergi sama-sama..
Udah istirahat kami pun masuk kelas, dan ngelanjutin pelajaran sejarah,, kali ini untung gurunya gag marah-marah lagi, dengan tersenyum ibu itu mulai membahas LKS, disela-sela itu kami membuat lelucon bersama temenku..

Biasanya guru itu marah jika kami main-main dalam belajar, dan kali ini pun berbeda, guru itu pun malah ketawa mendengar lelucon kami,, dan waktu 1 jam pun berlalu.. dilanjutin dengan pelajaran kesenian,, sesuai dengan janji guru kesenian minggu lalu, kami pun mengambil nilai senam. Sesudah kelompok 2 maju dilanjutin dengan kelompok 3 yang anggotanya termasuk dia.. Aku pun melihat dia dan bantuin dia untuk ngingatin dia gerakan-gerakan senam itu..

Dengan wajah senyum, dia nanyain aku tentang gerakan senam yang dia lupa,, dan tanpa berpikir panjang aku pun langsung nunjukin ke dia gerakan yang bisa aku bantu.. Sehabis itu dia nanyain lagi ke aku berapa nilai senamnya sambil tersenyum lagi.. Aku pun langsung ngasih tau ama dia, nilainya “79”.. Abis kelompok dia, giliran kelompok kami maju, dan dengan semangat aku mulai melangkahkan kaki untuk melakukan gerakan senam, sambil ngeliatin dia aku pun menjadi lebih semangat, mungkin gara-gara aku memang suka ama dia kali ya..

Sangking semangatnya, aku mulai kecapekan dan malas ngitungin gerakan senam.. untung ajah temenku neo ngitung gerakan lagi.. tapi aku mulai semangat lagi saat aku ngeliat dia. Aku salut ama dia, dengan sebuah senyuman ajah mampu buat aku semangat, apalagi dengan beribu senyuman..

Siang itu menjadi siang yang indah bagiku,, karena udah banyak liat senyum dari dia.. Sesudah kami les sore, aku pun pulang ke rumah dan langsung nyalain komputer untuk buka Facebook dan ganti status “jalani ajah apa yang seharusnya kita jalani,, aku akan slalu memujamu,, memberikan hal yang terindah buatmu,, mudah-mudahan ajah kamu ngerti perasaan aku.. amin”

Dan aku pun ngidupin sekali lagi lagu yang sangat aku sukai yaitu “Menanti Keajaiban” dan berharap ada lagi sebuah keajaiban yang buat dia ngerti perasaan aku,, yang bisa nyatuin aku ama dia.. kejaiban yang mampu buat dia bisa percaya ama aku..

“Haruskah diriku menanti keajaiban, berharap dirimu bisa mengerti cintaku, walau badai datang, menghantam tubuhku ini ku tak akan urungkan niat bersamamu” itulah kata-kata yang akan kuucapkan pada dia suatu saat nanti, saat yang paling aku tunggu,.. Walaupun akan nunggu sebuah keajaiban terakhir, tapi aku akan slalu tetap berusaha meyakinkan hatinya, bahwa aku sayang ama dia…

~~~~ THE END ~~~

Arsip : Karya Sastra Romantis



Jumat, 21 Januari 2011

WAHAI CALON SUAMIKU BELAHAN JIWAKU, TEMUKAN AKU

Bismillahirrahmanirrahim..

Untuk calon suami dunia akhiratku

Asssalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Duhai calon pemilik tulang rusukku, aku akan segera hadir dalam dinginnya malam dengan hangatnya jiwa. Ku tunggu hingga Ijab Kabul terucap dari lisanmu.

Aku akan menjaga dalam harumnya semerbak dalam jiwaku, menunggu hingga engkau menahkodai bahtera kita. Ku kan berhijab dengan sempurna dengan tak selalu mengikuti arah arus angin yang berhembus.

Duhai calon imam dalam sholatku, aku kan selalu hadir dalam cintamu kepada Allah, dengan sigap aku akan menghamparkan sajadah sebagai alas sujudmu, dengan hadirku sebagai makmum Insya Allah akan menyempurnakan sholat kita. Deru do’amu teiring “aamiin” dari lisanku.

Dalam hening malam bulir air mata tak henti ku teteskan bercahayakan munajat doa.

Duhai calon pemilik tangan gagah yang menolongku ketika aku terpuruk dan jatuh.. lindungi aku dalam perjalanan hidup kita, ketika engkau terluka kan kubalut dengan cinta jiwa yang merona, menyembuhkan segala perih dalam jiwamu.

Duhai calon pengusap air mataku, sungguh engkau takkan rela calon bidadarimu ini menangis, usaplah lembut pipi kemerah-merahan ini agar tak menangis, dan kan kuhaluskan telapak kakimu dengan mencucikannya ketika engkau pulang dari berjihad.

Duhai calon ayah dari para mujahi-mujahidah kita, aku sebagai madrasah pertama sebagai sumber ilmu dari anak anak kita, kan kutanammkan ilmu agama agar mujahidah kita takut akan Rabbnya, santun pada kedua orang tuannya, menghormati orang-orang yang lebih tua. Akhlakul karimah yang baik kan kusisipkan dalam prilakunya semenjak kecil.

Duhai calon nahkoda yang kan membawa keluargaku ke surga…

Mari kita hiasi rumah kita dengan cahaya cahaya iman…

Aku dalam diam sengaja tak menampakkan diri, agar engkau benar benar menemukanku dalam cahaya sujudmu

Aku tak banyak bicara karna aku takut ketika aku menyapa, engkau tepesona pada apa yang kuucap

Aku menunduk malu, tak berani menatap mata binar yang engkau miliki, karena aku takut dapat memudarkan imanku

Temukan aku wahai calon imam dalam sujudku…

Aku menunggu lisan ijab darimu..

..:: Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh ::..

Arsip : RKI

JODOH TIDAK AKAN PERNAH TERTUKAR

Aku teringat kisah seorang teman...

Ia adalah seorang muslimah yg senantiasa terjaga. Hari-harinya senantiasa diisi dengan kegiatan bermakna.. Apalagi kalau bukan mengisi kajian, membaca buku, menulis tausyah dan sebagainya.


Suatu hari, ia memiliki permasalahan dakwah yg begitu besar. Bahkan ia bingung, kepada siapa ia harus meminta bantuan... Tak ayal, dia hanya bisa memohon dalam sujud panjangnya agar segera diberi jalan keluar terbaik.


Tak berapa lama... Ia dikenalkan dengan seorang ikhwan, tepatnya terpaut 6 tahun yg pada saat itu, ikhwan tersebut memberikan bantuan berupa masukan-masukan serta solusi mengenai problema dakwah yg sedang dialami temanku itu.

Saat itu temanku benar-benar berterima kasih serta mengucap rasa syukur sedalam-dalamnya... Karena perlahan problema dakwah yg sedang dihadapi menemui titik terangnya.

Namun, setelah titik terang ditemui.. ternyata menambah sebuah problema baru. Bagaimana tidak, kedekatannya dengan sang ikhwan tersebut.. ternyata memunculkan benih-benih cinta dalam hatinya.

Sungguh, sebenarnya temanku itu tak mau memiliki rasa seperti itu, ia pun ingin membuang jauh-jauh bayangan tentang ikhwan tersebut yg sebenarnya sudah dianggap oleh temanku itu sebagai seorang kakak. Ya! hanya sebatas kakak.

Tapi, apa mau dikata... rasa kagum karena kefahaman ikhwan tersebut akan ilmu agama serta keshalihannya ternyata mampu mengalihkan keimanan temanku itu. Ia selalu uring-uringan dan pada akhirnya hidupnya jadi tak bersemangat lagi.. Kalau dulu, ia bersujud panjang karena rasa khouf-nya yg ada.. kini dalam sujud panjangnya selalu terhadirkan genangan air mata, ingin disatukannya ia dengan ikhwan tersebut.

Sampai suatu hari, ia menceritakan semuanya padaku... dan aku pun mencoba menenangkannya. Ia terus menangis dan menangis sejadi-jadinya. Ia sudah tak tahan lagi terhadap kegalauan perasaannya. Ia takut rasa itu akan semakin mencengkeramnya dengan kuat dan akhirnya terbius oleh hawa nafsu syaitan.

Aku pun mencoba memberikan saran, untuk coba berterus terang terhadap ikhwan tersebut akan perasaan temanku ini yg sebenar-benarnya. Malah kalau perlu langsung menawarkan diri untuk minta dinikahinya. Bukankah Siti Khadijah juga menawarkan diri kepada Rasululloh, hanya saja melalui seorang perwakilan? Apakah menawarkan diri ini disampaikan melalui perwakilan atau secara langsung oleh diri sendiri terserah, asalkan caranya baik & sesuai dengan syariat Islam. Bila ingin maju tanpa perwakilan tentu harus siap dengan satu syarat: harus siap mental!.


Temanku akhirnya paham dan memberanikan diri untuk menawarkan diri terhadap ikhwan tersebut, tentu minta untuk dinikahi.. bukan untuk dipacari. Dan ia sudah siap dengan berbagai kemungkinan yg akan terjadi. Tapi bismillah saja lah, pikirnya. Toh aku bukan meminta pada ikhwan tersebut tapi sebenar-benarnya aku meminta pada Sang Pemilik ikhwan tersebut (red. Alloh), kata temanku.


Dan setelah beberapa lama, aku kehilangan kabar temanku ini. Entah apa yg telah terjadi, namun rasa keingintahuanku begitu membuncah.. Sampai pada akhirnya, aku mendapat kabar darinya.. bahwa ikhwan tersebut telah menikah, dengan akhwat yg lain.

Aku ikut bersedih, tentu ada rasa kekecewaan yg hadir terhadap diri temanku tersebut. Tapi, ketika aku menemuinya, ia begitu tegar.. dan mengatakan "Aku sudah menawarkan diri pada ikhwan tersebut, tapi ikhwan tersebut justru menyerahkan undangan pernikahannya padaku. Aku mungkin telat menawarkan diriku padanya, tapi sungguh aku yakin bahwa jodohku tak akan pernah tertukar oleh siapapun".



Degg... tiba-tiba aku terlemas. Kata-katanya begitu menghujam dalam kalbuku. Ia sungguh wanita sholehah.. Aku yakin, ia akan mendapatkan jodohnya yg terbaik kelak.

Setelah pertemuan itu. Aku tak bertemu lagi dengan temanku tersebut... Kita benar-benar loss contact sama sekali.

***

Kita kembali dipertemukan.. tepatnya ketika aku berkunjung ke toko buku. Ia masih tampak seperti yg dulu, setelah pertemuan terakhirku dengannya setahun yg lalu. Ia pun menghampiriku dan menyapaku, lalu mengajakku untuk mampir ke sebuah rumah makan yg tak jauh dari toko buku itu. Disanalah kita berbincang kembali... kemudian ia menceritakan padaku, bahwa ia sempat ta'aruf namun gagal hingga kedua kalinya. Dengan hanya karena sebuah alasan, bahwa temanku itu adalah seorang "Aktivis".

Aku tak habis pikir mendengar ceritanya, wanita seperti dia, bisa ditolak ikhwan hanya karena alasan itu??!! Huhh..!! aku emosi sekali. Jarang-jarang kan ada wanita yg seperti ini, sudah cantik, sholehah, pemahaman ilmu agamanya banyak dan aktifis dakwah pula. Apalagi sih yg dicari dari para ikhwan tersebut?!


Ahh, itu pasti karena ikhwan tersebut takut menyeimbangi kafaah yg dimiliki temanku ini. Belum maju ke medan perang, ehh.. udah mundur selangkah demi selangkah. Capekkk dah!!

Tapi sekali lagi, tak ada rasa kekecewaan yg muncul dari temanku ini.. meski aku yakin, namanya juga manusia, tentu temanku merasakan sakit yg terdalam di hatinya mengenai kegagalannya berkali-kali dalam menuju gerbang pernikahan.

***

Itu dulu.. ketika 1,5 tahun yg lalu kita bercerita... Tapi lihatlah kini, surat undangan pernikahan berwarna merah telah berada di genggaman tenganku. Akhir dari sebuah perjalanan seorang temanku.

Dan sungguh benar janji Alloh, "Perempuan-perempuan yg keji adalah untuk yg keji pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yg keji, sedangkan wanita-wanita yg baik untuk laki-laki yg baik dan laki-laki yg baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yg baik…” (QS. An-Nur: 26).


Ternyata apapun yg telah Alloh tetapkan bagi manusia merupakan hak-Nya, pasti ada hikmah besar di dalamnya, tergantung bagaimana kita menyikapi.

Dan sebuah pembelajaran bagiku, tentu aku harus yakin seperti temanku ini, keyakinan bahwa "Jodoh tidak akan pernah tertukar". Insya Alloh.

Arsip : RKI


Selasa, 18 Januari 2011

KEINGINAN PEREMPUAN

Pisau pemotong daging yang sangat tajam itu berkelebat cepat. Namun bukan daging yang di potongnya, juga bukan sayuran. Potongan ranting-ranting cemara telah menumpuk di depan kakinya, tetapi tangan halus perempuan itu masih terus mengayunkan pisaunya untuk memangkasi ranting cemara agar tumbuhnya tidak terlalu rimbun sehingga mengganggu tumbuhan ubi kayu dan jagung di sekitarnya. Sedang pohon cemara itu masih setinggi tubuhnya yang tinggi semampai. Perempuan ini sedang berkebun. Dia bisa menggarap lahan Perhutani seluas setengah hektare. Hampir setiap hari ada saja yang dikerjakan olehnya di lahannya itu.

Sesekali perempuan ini berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran di dahi dan lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini tampak agak basah oleh keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah pohon jengkol yang sudah berumur puluhan tahun di ujung lahan.

Berbagai nuansa kehidupan lampau berkelebat mengganggu pandangannya. Perempuan ini menggelengkan kepala agak keras untuk mengusir bayangan itu, namun bayangan tersebut tak bisa hilang begitu saja.

***

"Nis, kamu kok selalu bengong setiap mendengar seruan azan?" sapa teman sekolahnya.

"Oh. Tidak kok. Aku sedang mendengarkan seruan azan aja."

"Iya. Tapi ya sambil jalan. Masa berhenti begitu. Terus kapan sampai rumah? Udah keroncongan nih perutku. Latihan pramuka, tidak membawa bekal pula, sekarang sudah azan asar belum sampai rumah," kata Umi sambil berjalan lambat-lambat.

Umi, Nissa, Siti, dan Sarah masih duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah Ma`arif di kota kecamatan. Jarak dari rumah ke sekolahnya sejauh empat kilometer selalu ditempuh dengan jalan kaki naik turun bukit kecil. Mereka tak pernah mengeluh meski sekolahannya jauh.

Nissa adalah anak perempuan satu-satunya dari Pak Wahyudi, seorang guru mengaji. Pak Wahyudi punya tujuh orang anak dan Nissa adalah anak kelimanya. Nissa anak yang lincah dan cerdas. Di kampungnya dia terkenal dengan suaranya yang merdu dan pintar melantunkan tilawatil quran. Dia selalu mendapat juara setiap kali diikutsertakan dalam lomba qori`ah, baik oleh Bapaknya atau dikirim oleh sekolahnya.

Namun, Nissa seperti menyembunyikan sesuatu di dasar hatinya. Kawan-kawan selalu heran setiap kali ada seruan azan, Nissa akan berhenti melakukan aktivitasnya sampai azan selesai. Di wajahnya selalu tampak binar rindu akan sesuatu, namun tak satu kawan pun yang tahu apa sebenarnya yang Nissa inginkan. Gerakan bola matanya saat mendengar seruan azan, begitu ceria dan sebentar kemudian akan redup, tampak menyedihkan sekali. Helaan napas panjang mengakhiri kebekuannya tadi saat mendengar seruan azan.

Setiba di rumah, Nissa langsung lari ke kamarnya dan menutup pintu. Dia membuka buku hariannya. Dia selalu menuliskan apa yang dia rasa, dia ingin, dan dia harap pada buku harian dan itu sudah berlangsung sejak dia mulai bisa menulis. Kini Nissa membaca ulang apa yang dia tulis saat dirinya masih kelas lima sekolah dasar. Dia memilih bagian yang punya kesamaan perasaan seperti saat ini. Meski tulisan itu sudah lama sekali namun Nissa sering membuka-bukanya. Padahal, itu buku harian ketiga yang Nissa miliki.

Senin....

"Kenapa keinginanku untuk mengumandangkan azan selalu muncul setiap kali waktu salat. Aku begitu ingin menyerukan azan di masjid. Kenapa? Apa perempuan tak diizinkan untuk berazan? Aku gelisah sekali. Aku ingin. Aku ingin. Aku ingin azan."

Kamis....

"Hari ini aku puas karena aku bisa mengumandangkan azan. Tadi Bapak menyuruhku memetik buah jengkol, awalnya aku keberatan dan melamun saat aku sudah di atas pohon jengkol. Tapi tahukan buku? Saat kesepian di bukit itu, aku gunakan untuk melampiaskan apa yang aku inginkan selama ini. Aku mengumandangkan suara azan sampai tuntas dan ternyata suaraku bagus. Aku bisa! Aku bisa buku, tahukan? Aku tidak peduli komentar orang yang lewat di bawah bukit itu dan memandangi aku dengan heran. Mereka mengatakan aku edan. Anak perempuan kok azan. Tapi aku tetap azan. Maka kamu lihat kan buku? Kalau saat ini hatiku begini riang."

Minggu....

"Buku. Kita ketemu lagi... tahukah kamu apa yang kurasakan sekarang? Tadi si Nono baru saja disunatin. Eh. Aku melihat dia pakai kain sarung yang dikasih Cengkalak dan ke mana-mana membawa minyak angin PPO. Aku pingiiiin sekali jadi anak laki-laki dan aku akan minta disunat sama bapakku biar aku bisa seperti Nono itu. Tapi kamu jangan bilang-bilang bapakku ya buku. Aku isin nanti."

Tangan Nissa maraih pena dan menuliskan keresahan hatinya pada buku harian kesayangannya itu. Sepertinya dia melupakan rasa laparnya.

Rabu....

"Ah! Haruskah aku sekarang berlari ke pohon jengkol itu? Atau ke bukit alas sana? Saat ini aku sangat ingin mengumandangkan seruan azan? Ya Allah... apakah salah saat aku lahir? Kenapa aku lahir sebagai perempuan? Aku ingin ganti kelamin, tapi caranya bagaimana? Pada siapa aku berbagi ceritaku selain sama kamu buku. Bapakku? Ah aku malu mengatakannya. Pada kakak? Adik? Ah, hanya kamu yang bisa mendengar semua keluhanku meski kamu tidak pernah bisa menjawab semua pertanyaanku. Yang jelas sampai saat ini aku masih ingin ganti kelamin agar aku bisa mengumandangkan azan. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya buku? Karena menurut bapakku, perempuan itu tidak boleh pamer suara apalagi azan di masjid. Tapi buku, kalau aku azan di kamarku, kok ya tidak puas dan malu didengar Emak."

Nissa menutup buku hariannya dan menyimpannya lagi. Setelah menghela napas berat dan berusaha menenangkan batinnya dia keluar kamar menuju meja makan. Rumah dalam keadaan kosong. Meski keluarganya banyak, tapi jam begini mereka pada ke masjid. Dua kakaknya berada di pondok pesantren di Kediri. Kedua adiknya masih kecil dan sedang main di rumah tetangga.

Nissa agak heran melihat belanjaan yang menumpuk sangat banyak tidak seperti biasanya. Ada tempe beratus-ratus bungkus menumpuk begitu saja di lantai, ada mi kuning, ada sayur kol yang banyak, dan masih banyak lagi yang lainnya. "Ah, mungkin bapak mau nyunatin adik," pikirnya.

Selesai mandi, Nissa pergi ke tempat Umi untuk diajak mengaji di tempat bapaknya atau tepatnya menjemput Umi dari rumahnya. Mereka jalan di jalan bebatuan. Sebentar lagi sampai di rumah Nissa. Di saat sedang menaiki tangga beranda depan, terdengar kumandang azan magrib. Saat itu pula Nissa yang tadi melangkah dengan riang, langsung terkulai lemas dan berhenti. Dia berjongkok sambil bengong-bengong. Umi yang sudah tahu kebiasaan Nissa membiarkan saja, bahkan menunggu sampai Nissa bergerak dengan sendirinya. Umi tidak tahu sama sekali apa yang dirasakan oleh Nissa saat itu karena tak sekali pun Nissa membicarakannya.

***

Malam itu Bapak Wahyudi mengumumkan, kalau mulai besok malam pengajian diliburkan selama beberapa hari. Banyak anak yang senang dengan pengumuman itu, tetapi banyak juga yang kecewa. Salah satu anak mengomando kawan lainnya agar setelah pengajian selesai semua berkumpul.

"Aku punya usul. Bagaimana kalau mulai besok kita bikin kegiatan lain di halaman rumahnya Pak Marto?" ajak Slamet.

"Mau ngapain? Di sana?" tanya kawannya.

"Kita main apa saja di sana. Kan ngajinya lagi prei."

"Setuju."

***

Nissa dan Umi sedang asyik memandangi kawan-kawannya bermain di bawah siraman bulan purnama. Saking asyiknya Nissa sampai kemalaman pulang. Begitu memasuki kamar tidur, kamarnya itu sudah bersih dari segala macam benda, termasuk meja dan buku-bukunya. Nissa celingukan mencari tumpukan bukunya, tapi tidak diketemukan. Hanya buku yang berada di tas sekolahnya yang masih tetap di tempatnya yaitu masih tergantung di belakang pintu. Nissa berniat menemui bapaknya. Tapi ini sudah malam sekali, tak sopan membangunkan Bapak yang sudah tidur. Ah! Besok saja aku tanyakan. Pikirnya. Maka Nissa pun berangkat tidur.

Jam enam pagi Nissa bangun dari tidur, sudah banyak bapak-bapak berkumpul di rumahnya. Malah sebagian sudah ada yang naik genting membukakan genting untuk diturunkan. Nissa tak banyak bertanya. Dia langsung mandi dan pamit sama Emaknya terus berangkat sekolah. Nissa melihat Emak sangat sibuk memasak dibantu para tetangganya.

Sepanjang jalan ke sekolah, Nissa selalu berpikir tentang buku hariannya. Semoga selamat dan tidak ketahuan bapaknya. Apalagi sampai terbaca. Duuh! Malu sekali nanti aku sama bapak. Seharian itu Nissa tidak tenang belajar. Dia lebih banyak diam berharap agar buku hariannya aman.

Satu hari, dua hari, tiga hari. Tak ada cerita di rumah Nissa yang masih tampak kesibukan yang nyata. Nissa berusaha terus mencari buku-bukunya di tumpukan barang yang di singkirkan oleh bapak atau emaknya. Tapi tetap nihil. Buku itu belum juga ketemu. Nissa hampir putus asa.

***

"Nessa, nanti bilang sama teman-temanmu kalau mulai besok malam sudah bisa ngaji seperti biasanya," kata Bapak.

"Iya Pak. Nanti Nissa bilang sama mereka."

"Nissa. Bapak mau bilang sesuatu sama kamu." Kata-kata Bapak agak mengejutkan Nissa.

"Iya Pak. Ada apa ya?" jawab Nissa deg-degan. Nissa khawatir kalau yang akan dibicarakan bapaknya adalah isi buku harian miliknya.

"Nis. Kamu sudah gede loh. Ternyata anak Bapak kok ya manis ya. Gini Nis, nanti setelah kamu lulus sekolah menengah pertama, kamu masuk pesantren putri mau kan?" tanya Pak Wahyudi dengan halus.

"Mau Pak," jawab Nissa singkat.

"Terus gini, Bapak sudah baca semua keresahan hati kamu di buku harianmu. Bapak pikir tidak ada yang salah dengan kamu, dengan jiwamu. Kamu normal anak perempuan," kata Bapak ini sangat mengejutkannya hingga wajahnya pucat karena malu sekali.

"Mak, maksud Bapak?" tanya Nissa gagap. Dadanya bergemuruh. Padahal, dia tahu kalau bapaknya tidak marah setelah tahu isi buku hariannya. Namun, dia malu sekali.

"Ya. Bapak sudah baca semua buku harianmu yang kamu tulis sejak kamu masih kecil, tapi Bapak tidak menyalahkan kamu, apalagi sampai menyalahkan takdir. Tidak Nis, Bapak paham apa yang kamu rasakan itu dan itu wajar terjadi pada beberapa anak gadis. Apalagi kamu punya suara yang bagus. Tapi Nis, sekarang tak kasih tahu ya? Yang ada hubungannya dengan buku harianmu. Sebenarnya tempat terbaik bagi perempuan adalah di dalam kamar atau di dalam lingkungannya. Pada dasarnya, tak ada larangan bagi perempuan untuk azan seperti keinginanmu. Tetapi kamu harus tahu bahwa suara perempuan adalah aurat dan tidak boleh diperdengarkan pada orang yang bukan muhrim. Begitu Nis." Bapak menerangkan panjang lebar dan Nissa mendengarkan dengan diam.

"Bagaimana dengan selama ini Pak, Nissa kan sudah beberapa kali mengikuti lomba qori`ah. Terus gimana?"
"Ya, sudah. Itu ‘kan tugas dari guru dan Bapak waktu itu disuruh mencari wakil dari desa kita untuk maju lomba tingkat kecamatan, ternyata tidak ada yang mau selain kamu. Tak apa. Anggap itu sebuah tugas. Yang penting kamu tidak riya dan takabur dengan merdunya suaramu ya?"

"Iya, Pak."

"Terus kalau kamu masih ingin azan, tak apa seperti biasanya kamu lakukan seperti di atas pohon atau di alas, yang penting jangan mengumandangkan azan di kamar mandi."

"Iya, Pak," jawab Nissa dengan wajah agak lega mendengar dirinya masih boleh azan walau di pohon seperti biasanya.

***

Nissa hanya tiga tahun berada di pondok pesantren putri. Nissa disunting oleh santri putra di pesantren yang sama.

Tiga tahun kemudian Nissa punya dua orang anak yang manis-manis namun Tuhan berkehendak lain atas kebahagiaan rumah tangganya. Suaminya mendapat kecelakaan dan meninggal saat itu juga. Sejak saat itu, tepatnya dua tahun yang lalu, Nissa jadi orang tua tunggal bagi kedua anak laki-lakinya. Dia membanting tulang menggarap lahan Perhutani. Dia menanam jagung, ubi kayu, dan lain sebagainya di sela-sela pohon wajib, yaitu pohon pinus.

Kini perempuan itu sedang termangu sambil mengingat masa lampaunya. Dia bergerak kembali dengan pisau dapurnya yang putih mengkilat. Terus di ayunkan ke arah cabang-cabang cemara kecil. "Ah! Waktu belumlah sore," gumamnya sambil tersenyum seorang diri.***



KUPU-KUPU BERSAYAP MAWAR

SEORANG lelaki bertubuh liat, sedang bersedih di kedainya yang lengang, duduk di kursi paling pojok. Matanya memandang sayu pada semburat matahari senja yang bersilangan dari arah barat. Di hadapannya, segelas kopi hangat mengepulkan uap sedap, berbaur dengan asap rokok yang nyaris memuntung di sela-sela jemarinya. Sesekali, ia menghisap dalam-dalam asap rokoknya, lalu menghempaskan nafasnya seperti ingin membebaskan beban dari dadanya.

“Masih terkenang juga padanya, Bang?” Soada Ria, gadis cantik pelayan kedai menghampirinya. Ia melirik sekilas-lewat pada gadis itu, lalu kembali menatap matahari. Ia mendesah.

“Tahukah kau seberapa sakit rasa kehilangan?” katanya kepada gadis itu, tanpa menoleh. Ia melakukan hisapan terakhir pada rokoknya, dan melemparkan puntung rokoknya ke halaman, lalu menyalakan lagi batang yang baru.

Soada Ria, gadis bertubuh kecil dan berambut panjang itu, menepuk pundaknya dengan sangat lembut, seperti tahu bahwa obat menyembuhkan kesedihan adalah kasih sayang. “Kehilangan,” katanya bergetar, “Adalah milik semua orang. Hidupku berwarna justru karena kehilangan demi kehilangan.”

Lelaki itu menatapnya, “Kupu-kupuku pernah berkata begitu,” katanya, “Kau membuatku makin sedih.”

Soada Ria, gadis bermata telaga itu tak tahan memandang mata sedih lelaki itu. “Maafkan aku, Bang,” katanya, berlalu meninggalkan lelaki itu. Dan ia tidak tahu, Soada Ria menangis di bilik kedai.

Lelaki itu kembali larut, hanyut diseret ingatan, terkenang pada saat pertama kali bertemu dan menangkap kupu-kupunya. Persis pada saat senja seperti sekarang. Waktu itu, ia sedang asyik menghitung lembaran uang kertas yang menebal di kantongnya, uang yang diperolehnya dari judi togel. Ya, empat angka yang ditebaknya tembus sebanyak sepuluh lembar. Ia lalu mengajak teman-temannya sesama kuli berpesta, mabuk, bersenang-senang, berjalan-jalan di seluruh bandar sambil berteriak, “Hidup lelaki kuli! Hidup judi! Sejarah kuli tetap pedih, hanya layak jadi pemimpi, penjudi.”

Seusai pesta yang mirip unjuk rasa itu, ia melunasi utang-utang yang menumpuk di banyak kedai, tapi uang yang tersisa masih tetap cukup banyak. Sisa uang itulah yang dihitung-hitungnya pada senja itu, ketika ia merenung hendak dikemanakan uang itu. Dan ketika ia berpikir apakah ia akan bersenang-senang dengan seorang pelacur, seekor kupu-kupu muncul menghampirinya.

“Dapat rejeki ni yeee, bagi dong,” kata kupu-kupu. Ia tersentak. Ia menyerbu sekeliling dengan matanya kalau-kalau seseorang sedang berada di dekatnya. Tapi, tidak ada sesiapa pun selain kupu-kupu itu. Ia berpikir, ini pasti halusinasi. Bagaimana mungkin kupu-kupu bisa bicara? Ia lalu sadar bahwa sudah dua hari dua malam ia tidak tidur karena asyik bersenang-senang. Maka yakinlah ia bahwa kupu-kupu yang bicara itu hanya halusinasi.

Tapi ia terkejut ketika didengarnya lagi sebuah suara, “Sombong sekali Anda, Tuan?”

Ia menoleh ke arah kupu-kupu, dan ia melihat seorang gadis cantik, tersenyum, berdiri di hadapannya.

Busyet, otakku tak beres, pikirnya.

“Yah, aku memang kupu-kupu. Lihat, sayapku sangat indah,” kata perempuan itu mengepak-ngepakkan sayapnya, seperti tahu pikiran lelaki itu. Ia melihat perempuan itu berubah jadi peri, dan sayapnya mengembang seperti mawar raksasa. Aroma mawar meruap dari kibasannya.

“Lihat, aku juga bisa terbang,” kata perempuan itu lagi sambil terbang berkitar-kitar di sekitar taman. Lalu, lelaki itu melihat mahluk di hadapannya berubah-ubah wujud mulai dari kupu-kupu, peri, perempuan cantik, lalu kembali lagi jadi kupu-kupu, peri, perempuan cantik dan seterusnya. Ia terpesona. Ia bergetar.

“Kau sangat indah. Sudikah kau menemaniku malam ini?” katanya kepada kupu-kupu.

“Bukan hanya malam ini, aku bersedia menemanimu kapan pun,” kata peri.

“Tapi aku hanya kuli.”

“Juga penjudi.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Dari mana lelaki kuli bisa mendapat uang sebanyak itu jika tidak dari berjudi?”

Mereka berdua tertawa. Orang-orang memandang tak senang. Bahkan, seorang lelaki tua malah berkata, “Tak tahu adat. Tahukah kalian, tawa kalian terdengar ke seluruh kota .”

Mereka tertawa lagi. “Tak tahu adat?” kata mereka berpandangan, “Tahu adatkah dia yang sudah tua bangka tapi masih keluyuran di tempat seperti ini?”

Mereka lalu bergegas dari tempat itu, berjalan menyusuri senja, bergandengan tangan di jalan yang dihimpit gedung-gedung tua, kelelawar-kelelawar berlintasan di udara yang pengap oleh asin laut, dan di bibir mereka terkulum senyum bahagia.

Dari sebuah persimpangan, mereka memasuki gang sempit becek, bocah-bocah pengemis melantunkan syair sambil memukul kaleng-kaleng bekas, lelaki-lelaki tak berduit duduk di teras mengenakan sarung yang meruapkan apak nasib, perempuan-perempuan tua menimbun kedamaian dalam khayalan.

“Petang ini usang benar,” kata lelaki itu.

Perempuan itu terkejut. “Kata-katamu seperti puisi,” katanya.

“Aku memang suka puisi.”

“Jika begitu,” kata perempuan itu setelah mereka tiba di sebuah rumah petak yang dindingnya ditumbuhi lumut, “Kita akan berpesta puisi malam ini.”

Lelaki itu takjub. Di kamar perempuan itu terdapat sebuah rak yang di dalamnya tersusun rapi banyak buku. “Wah, kau mengingatkan aku pada masa-masa sekolah dulu,” katanya sambil mengambil sebuah buku dari rak: Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Lalu diperhatikannya buku-buku yang lain, dan ia sangat akrab dengan beberapa nama: Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sitor Situmorang…

“Sudahlah,” kata perempuan itu mengganggu keasyikannya, “Lupakan buku-buku itu. Itu adalah sisa kenakalanku pada masa kanak-kanak. Semua buku itu kucuri dari perpustakaan sekolah. Sekarang, mari kita berpesta, berpesta puisi.” Perempuan itu melepas pakaiannya, lalu berubah wujud jadi kupu-kupu. “Ayo, naiklah ke punggungku, kita akan terbang.”

Lelaki itu naik ke punggung kupu-kupu, memeluk tubuhnya erat agar tidak terjatuh. Mereka terbang. “Apa yang kau rasakan dari deru angin ini,” tanya perempuan itu ketika mereka mengarungi angkasa.

“Gairah hidup, surga yang kuangan-angankan ketika aku masih remaja dan jatuh cinta pada putri seorang penyair.”

“Apa yang kau rasakan ketika merasakan kepakan sayapku?”

“Aroma rumput basah.”

Tiba-tiba kuku-kupu itu menukik, “Kita sedang melintas di atas hamparan padang rumput yang luas. Kita singgah dulu,” katanya.

Mereka bergulingan di padang, pendaratan yang dilakukan kupu-kupu tidak sempurna, “Kau sih, memeluk sayapku terlalu kuat,” katanya menyalahkan lelaki itu. Dengan tubuh yang berhimpitan, mereka berdekapan, saling menggali sesuatu di dalam tubuh masing-masing. Aroma mawar dari sayap kupu-kupu itu membuat birahi lelaki itu menggelegak.

“Ayo sayang, gumamkanlah puisi untuk getar ini,” kupu-kupu merintih.

“Kukayuh jiwa menyusuri luka nasibmu. Kucecap segala derita yang melekat di tubuhmu. Di gubuk ini, kita adalah orang terbuang yang tak pernah percaya pada takdir, meski cinta selalu mengajari kita memahami maknanya,” gumam lelaki itu.

Lalu, ada yang terasa tuntas. Ada yang terasa terbebaskan. Lelaki itu menangis.

“Kenapa?”

“Aku terkenang petang rembang di kampungku. Pada waktu kanak-kanak, aku sering menikmati senja sambil bermain dengan deburan ombak. Tubuhmu mengembalikan semua ingatan. Tubuhmu menyentakkan sadarku bahwa ada petang yang hilang dari ingatanku. Terimakasih, sayang. Aku mencintaimu.”

Kupu-kupu itu mengembangkan sayapnya. “Ayo, tidurlah dalam pelukanku. Sayapku akan menghangatkan hatimu.”

Maka tidurlah sepasang kupu-kupu di padang beraroma rumput. Lelaki itu tidak tahu bahwa ia sudah menjelma jadi kupu-kupu jantan.

Tak berapa lama kemudian, sepasang kupu-kupu itu menikah. Mereka membangun kedai tempat para lelaki kuli minum kopi, main domino, juga berjudi. Mungkin, karena aroma sayap kupu-kupu betina itu selalu meruapkan mawar, lelaki-lelaki kuli berdatangan ke kedai itu. Kedai itu menjadi primadona. Dan, karena sepasang kupu-kupu itu mulai kewalahan melayani para lelaki kuli yang datang untuk minum kopi, berjudi, dan menyantap mie rebus atau goreng, mereka kemudian mempekerjakan seekor kupu-kupu indah yang lain di kedai mereka. Dan kedai itu makin ramai saja. Sepasang kupu-kupu pemiliknya makin jaya. Tapi, luka itu tiba-tiba datang. Kupu-kupu betina pergi menghadap sang khalik. Dan virus herpeslah yang merenggut nyawanya.

Tetapi, kupu-kupu jantan tidak tahu apa yang terjadi antara istrinya dengan gadis pelayan kedai. “Soa,” kata kupu-kupu betina itu kepada pelayan kedainya, “Aku melihat sinar cerah di matamu setiap kali kau memandang suamiku.”

Gadis bermata telaga itu terkejut, merasa seperti kepergok sedang bersetubuh dengan lelaki. “Tidak, itu tidak benar,” katanya. Dan majikannya menangis. “Jangan bohong. Aku tahu kau mencintai suamiku. Dan aku bersuyur untuk itu. Lelaki sebaik itu tak pantas disia-siakan. Ayolah Soa, rawatlah cintamu untuknya, sebab kelak kaulah yang akan merawatnya. Aku merasa ajalku sudah dekat. Lihatlah, aku sekarang sakit-sakitan, tubuhku selalu lemas, perutku sering mulas dan melilit, susah bernafas, sakit pinggang. Aku pasti akan mati. Kelaminku juga sudah rusak. Kau tahu, sudah setahun ia tak bersetubuh denganku. Aku tidak mau dia pergi lagi mencari kupu-kupu lain. Kaulah saat ini yang harus bisa jadi kupu-kupu baginya.”

Mereka berdua menangis. Majikan karena lukanya. Pelayan karena tak tahu harus bersyukur atau tidak. Sebab ia memang sudah sejak lama mencintai tuannya.

***

Suatu hari, berbincang-bincanglah Soada Ria dengan majikan perempuannya, “Aku kehilangan seluruh keluargaku. Dulu, ayah dan ibuku punya tanah yang luas. Tapi sejak perampok itu datang dan membangun perusahaaan raksasa di kampung kami, segalanya kemudian habis. Ayahku bukan orang bodoh yang dengan mudah mau menyerahkan tanah kami berikut kayu-kayunya kepada perampok itu. Tapi sikap ayah itu membawa maut. Ia kemudian tewas ketika berhadapan secara frontal dengan orang-orang perusahaan. Mereka memberi ganti rugi atas tanah-tanah kami, tapi ibuku menolak. Ibu membakar uang itu di hadapan mereka. Tak lama kemudian, ibuku sakit, dan meninggal. Aku dan adikku terlontang-lantung sejak itu. Dalam usia yang masih sangat belia, kami merantau ke kota. Aku di bandar ini, adikku di bandar lain. Sungguh, tak pernah terpikirkan olehku untuk memasrahkan diri jadi pelacur, tapi demi kelangsungan hidup dan pendidikan adik-adikku, aku terpaksa melakukannya. Sekarang aku bersyukur adik-adikku sudah bisa menghidupi diri dengan bekal ilmu yang mereka dapat. Tapi aku selalu sedih, sejak mereka tahu bahwa pekerjaanku adalah melacur, mereka tak sudi lagi menerimaku sebagai kakak, sebagai orang yang berjuang mati-matian membiayai mereka. Terimakasih telah menyelamatkanku dari pekerjaan nista itu, dan mempekerjakan aku di kedai ini.”

Mendengar penuturan itu, kupu-kupu betina trenyuh, airmata menetes di pipinya. Ia merasa bertemu dengan teman senasib. Ia juga tidak tahu bagaimana kilang-kilang, pompa angguk dan pipa-pipa itu tiba-tiba menjulur seperti ular, memanjang dan melilit kampung, hingga akhirnya mereka menyingkir. Ia sedih mengenang kematian ayahnya yang misterius karena selalu bertentangan dengan kepala desa yang ingin menjual tanah mereka kepada kapitalis-kapitalis jahat. Ia tidak tahan mengingat perjuangan ibunya setelah itu, hingga akhirnya meninggal didera penyakit. Semua ingatan itu hadir seperti setan-setan seram dalam mimpi buruk. Lalu, semuanya memang begitu gampang lepas, terbang tanpa bekas, seolah-olah segala sesuatu telah berlangsung dengan sempurna. Demi pembangunan. Demi kemaslahatan orang banyak. Dan, jika di sudut-sudut hutan dan kampung ratapan-ratapan sebenarnya masih terus menggema, anggaplah itu suara-suara binatang. Dan jika orang-orang tempatan terusir dan harus menjadi pelacur, kuli dan pengemis di tanah sendiri, anggaplah itu sejarah sukses dari sebuah bangsa yang biadab. Sebab segalanya telah berlangsung dengan sempurna, igauan dan keluhan tiada guna.

Dan kupu-kupu yang terusir dari habitatnya itu terus saja meneteskan airmata. “Soa, akan bergerak ke mana sejarah ini? Nyatanya kita perempuanlah yang selalu jadi korban. Kita sering punya kemampuan, punya potensi, tapi selalu menjadi bulan-bulanan jaman. Kau lihat, di mana-mana di seluruh dunia perempuan yang paling menderita, mereka dieksploitasi, direndahkan martabatnya, dilecehkan kemanusiaannya. Untuk itu, jika nanti aku mati, jangan kembali lagi ke jalan itu, rawatlah kedai kita ini, cintai suamiku sepenuh hatimu.”

Itulah kalimat terakhir yang meluncur dari mulut kupu-kupu, ketika ia terbang untuk tak kembali. Dan Soada Ria, gadis pelayan kedai yang cantik itu terus saja mengenang majikannya, juga pesannya untuk merawat lelaki itu. Ya, aku harus merawatnya, pikirnya. Ia keluar dari bilik kedai, berjalan dengan langkah lambat, menghampiri lelaki yang sedang bersedih di kursi di pojok kedai.

“Abang harus melupakannya,” katanya menepuk pundak lelaki itu, “Lihatlah, sejak kakak pergi sebulan lalu, Abang terus-terus saja begini. Orang-orang takut melihat Abang. Lihat, kedai kita selalu sepi karena tingkah Abang.”

Lelaki itu menatapnya, “Ini kali kedua kau berkata persis seperti kupu-kupuku. Dulu ia berkata seperti itu karena aku suka mabuk. Soa, ke sinilah,” katanya merengkuh gadis itu dalam dekapannya, “Kau seperti istriku. Mulai saat ini, rawatlah kedai kita. Ini satu-satunya milik dan alat kita mempertahankan hidup dari kepedihan.”

Tiba-tiba lelaki dan gadis pelayan itu berubah jadi sepasang kupu-kupu. Dari punggung mereka terkembang sayap berbentuk mawar raksasa. Mereka terbang mengarungi angkasa dan hinggap di sebuah taman penuh mawar. Mereka bersidekap, mendesahkan luka, memaknai hidup yang masih terus akan berlangsung.

***

Kamarpilu, Pekanbaru, 2005

Senin, 17 Januari 2011

MAWAR BIRU UNTUK NOVIA

UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.

Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.

Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.

“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”

“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”

“Bukan dalam mimpi?”

“Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”

Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia.

“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia berusaha meyakinkan.

Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.

“Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya.

“Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”

“Tapi, Novia pernah melihatnya.”

“Bunga kertas kali!”

“Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.”

“Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?”

Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?

* * *

NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka ‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.

“Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit.

Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau:

“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”

“Minta tolong apa, Pak?”

“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”

Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.

“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.”

“Bapak mau pulang sekarang?”

“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”

Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu.

“Bapak tinggal di kampung apa?”

“Di kampung seberang.”

“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”

“Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.”

Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya

“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu.

***

TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan.

“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”

Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya:

“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.”

Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.

Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.

***

SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .

Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas.

Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”

Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.

“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.

“Ini.”

Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.

“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.”

Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.

Pamulang, April 2004