.:" I love you, not only for what you are, But for what I am when I am with you ":.

Senin, 30 Mei 2011

PENYESALAN


Pernah terlintas dalam hati saya sebuah keraguan. Apakah menuliskan curahan hati saya di Andy’s Corner, yang kemudian diterbitkan menjadi buku, adalah keputusan yang benar? Banyak rahasia hidup saya yang selama ini tidak diketahui orang, terungkap di Andys’s Corner. Saya jadi merasa telanjang.

Jika akhirnya saya tetap menuliskan pergolakan bathin saya di Andy’s Corner, itu lebih karena dorongan ingin berbagi. Dengan harapan apa yang saya alami dan rasakan mudah-mudahan bisa menjadi cermin bagi siapapun yang membacanya. Setidaknya bagi saya pribadi. Namun kadang saya berharap kisah yang saya tulis tidak dibaca oleh orang-orang yang saya singgung di dalam tulisan tersebut. Karena itu saya sempat merasa ‘tidak enak hati’ ketika Mas Sentot, kakak Yanti, mengirim komentar setelah membaca kisah ‘Yanti’ di Andy’s Corner. Saya tidak menyangka ada keluarga Yanti yang membaca Andy’s Corner. Dalam komentarnya, Mas Sentot menjelaskan bahwa Yanti sudah meninggal.

Begitu pula ketika saya bercerita tentang seorang teman yang tidak bahagia karena harus menuruti keinginan orangtuanya untuk menjadi pegawai negeri. Padahal dia ingin mengikuti ‘Lentera Jiwanya’ sebagai jurnalis. Di dalam tulisan itu memang saya tidak menyebut nama. Tapi setelah tulisan itu terbit, sang teman yang sudah sekian tahun tidak jumpa rupanya membaca tulisan tersebut dan mengirim komentar. Dia berterima kasih karena saya masih mengingatnya.

Nah, yang paling saya khawatirkan adalah jika tulisan-tulisan saya di Andy’s Corner dibaca oleh keponakan-keponakan saya atau orangtua mereka (kakak-kakak saya). Sebab banyak cerita yang terlalu pribadi. Salah satunya tentang kakak saya, Gaby, yang meninggal karena kanker (Kematian 2). Saya berusaha agar anak-anak Gaby tidak membaca kisah sedih tentang ibu mereka. Saya tidak ingin tulisan saya itu nantinya akan membangkitkan kenangan mereka pada sang ibu tercinta.

Tetapi, apa mau dikata, salah satu anak Gaby ternyata membaca kisah tersebut. Setelah membaca kisah tentang ibunya, dia menulis surat untuk saya. Isi surat itu membuat saya terpana. Saya tidak menyangka dia memikul beban tersebut selama tujuh tahun. Atas seijin keponakan saya itu, suratnya saya tampilkan di Andy’s Corner kali ini. Berikut ringkasannya:

Dear Om Andy,

Apa kabar Om? Pada kesempatan ini aku ingin menceritakan sebuah kejadian yang aku pendam lebih dari tujuh tahun. Kenapa baru aku ceritakan sekarang? Karena aku baru saja membaca beberapa tulisan Om Andy mengenai Bunda di Andy’s Corner. Karena itu aku memberanikan diri untuk menceritakan hal ini ke Om Andy.

Ketika aku SMP, sebelum Bunda divonis kanker oleh dokter, Bunda ingin aku bisa masuk sebuah SMA favorit di Bogor. Tapi waktu itu aku tidak terlalu berminat karena standar pendidikan terlalu tinggi dan aku sadar biayanya sangat mahal. Aku tidak ingin menyusahkan Om Andy yang selama ini sudah membantu menopang dan membiayai hidup kami.

Waktu mendengar Bunda kena kanker, jujur saja aku dan adik-adik sangat terpukul. Kami belum siap menghadapi kenyataan bahwa Bunda terkena penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya. Tapi seiring perjalanan waktu, berkat nasihat Bunda, kami mulai siap menerima kenyataan. Sejak itu pula aku berubah pikiran soal sekolah.

Seorang anak tentu ingin membahagiakan orangtuanya. Apalagi kami yang tahu bahwa waktu kami tak sebanyak anak lainnya untuk merasakan hangatnya pelukan seorang ibu. Karena itu aku berusaha membuat Bunda bangga. Aku ingin mewujudkan keinginan Bunda agar aku masuk SMA favorit itu. Tapi jujur saja Om, aku takut. Aku takut gagal. Menurutku sangat sulit untuk bisa lolos tes masuk SMA tersebut karena NEM-ku pas-pasan.

Tapi keinginan yang kuat untuk membanggakan Bunda mengalahkan perasaan takut itu. Untungnya ada temanku yang mendukung keinginanku ini dan mendorong aku untuk belajar. Singkat cerita, akhirnya aku ikut ujian. Rabu, 11 Juli 2001, aku mendapat kado yang terindah dari Tuhan. Aku dinyatakan lulus.

Setelah pengumuman itu, aku bilang ke Dewi, Isti, Ella, Teguh, dan Oma agar merahasiakan dulu keberhasilanku ini ke Bunda. Aku ingin membuat kejutan buat Bunda. Aku ingin datang ke RS Dharmais dengan memakai seragam SMA yang sangat diidam-idamkan Bunda. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana Bunda akan sangat bangga anaknya bisa masuk sekolah favorit. Sudah terbayang wajah ceria Bunda, teriakan bahagianya, dan linangan air mata kebanggaannya.

Jumat, 13 Juli 2001, Kak Nona telepon mengajak aku dan adik-adik berlibur ke rumah Om Andy. Aku dan adik-adik semangat sekali bisa berlibur ke rumah Om Andy walau hanya tiga hari karena Senin adalah hari pertama masuk sekolah. Kak Nona akan jemput kami jam 13.00 WIB. Namun jam 11.00 temanku datang bersama ibunya. Mereka mengajak makan pizza untuk merayakan keberhasilanku. Aku tidak bisa menolak. Lagipula aku pikir toh nanti bisa menyusul ke Jakarta, ke rumah Om Andy, naik bus.

Waktu aku sampai di rumah Om Andy, aku kaget karena Kak Nona dan adik-adik juga baru tiba. Rupanya sebelum ke rumah Om Andy, Kak Nona dan adik-adik mampir dulu nengok Bunda di rumah sakit. Adik-adik kecewa dan marah sama aku. Mereka menyesali mengapa aku lebih memilih pergi dengan teman ketimbang menengok Bunda. Jujur saja aku tidak tahu kalau hari itu sebelum ke rumah Om Andy mereka ada rencana menengok Bunda.

Aku menyesal tidak ikut menjenguk Bunda. Namun aku mencoba mengobati perasaan itu dengan mengatakan Sabtu depan aku akan datang ke RS Dharmais untuk membuat surprise ke Bunda dengan memakai baju seragam SMA ku yang baru. Setelah masa orientasi siswa selama seminggu selesai, seragam baru akan dibagi. Itulah saatnya akan aku pakai dan kuperlihatkan pada Bunda.

Senin, 16 Juli 2001, sekitar jam 03.00 dinihari ada orang mengetok-ngetok pagar rumah. Oma yang membukakan pintu. Rupanya tetangga sebelah. Samar-samar aku mendengar percakapan dia dan Oma. Tetangga itu memberitahukan ada kabar dari RS Dharmais bahwa kondisi Bunda kritis. Om, waktu itu aku sangat ketakutan. Aku menangis dan berdoa kepada Tuhan supaya Bunda jangan ‘dipanggil’ dulu karena aku masih punya kejutan untuknya.

Paginya ketika aku dan adik-adik bersiap untuk berangkat ke sekolah, tetangga sebelah rumah datang lagi dan meminta kami berkumpul. Dengan suara sedih dia memberitahukan Bunda sudah meninggal. Kami terpana sejenak kemudian isak tangis mulai meledak. Adik-adik menangis sambil meneriakkan nama Bunda. Oma juga menangis berusaha untuk menenangkan adik-adik. Pada saat itu aku berusaha menahan emosiku. Aku tidak mau menangis di depan adik-adik. Aku tidak mau adik-adikku melihat kakaknya menangis. Aku harus terlihat kuat di depan mereka. Bunda selalu bilang kalau laki-laki itu harus kuat. Aku harus menjadi pelindung bagi adik-adikku, aku harus menjadi contoh bagi mereka. Aku berusaha terlihat tegar di depan adik-adik walaupun hatiku ingin berteriak, ingin menangis.

Akhirnya aku tetap berangkat ke sekolah. Namun sebelum berangkat aku mampir ke rumah teman bunda yang anaknya juga temanku. Tadinya aku hanya bermaksud memberitahu bahwa bunda telah meninggal. Tetapi saat mulut ini ingin menyampaikan hal itu, linangan air mata tak terbendung. Aku menangis. Dengan lembut teman bunda memeluk aku, berusaha mengurangi kepedihan yang aku rasakan. Tetapi dalam dekapannya aku justru semakin tak sanggup menahan emosi. Perasaan bersalah sekaligus menyesal menghimpit dadaku. Perasaan yang terus menerus menyalahkan diriku ini.

Mengapa, mengapa aku tidak sempat memberikan surprise buat Bunda? Mengapa aku tidak diberi kesempatan melihat raut wajah kebanggaan dan kebahagiaannya? Mengapa aku lebih memilih menyimpan kabar bahagia itu ketimbang segera menyampaikannya kepada Bunda? Mengapa aku lebih memilih ditraktir makan pizza daripada menengok Bunda bersama adik-adik untuk terakhir kalinya? Mengapa? Mengapa aku tidak mendapat kesempatan itu?

Om, ribuan pertanyaan terus menghantui aku selama ini. Penyesalan yang begitu dalam, yang bahkan tak bisa aku ungkapkan lewat kata-kata ini, terus aku simpan sendiri. Bahkan Dewi, Isti, Ella, dan Teguh tidak ada yang tahu perasaanku ini. Waktu Oma masih hidup aku juga tidak cerita. Aku terus menyimpan perasaan ini Om. Karena aku tahu ini salahku, ini adalah keputusanku. Keputusanku ingin membuat surprise untuk Bunda yang ternyata tidak sempat aku ungkapkan. Ini membuat luka pada hati kecilku.

Sungguh sulit untuk menerima kenyataan ini. Aku memang dipersiapkan Bunda untuk selalu siap jika Tuhan menjemput Bunda. Tetapi aku sama sekali tidak siap untuk hal ini Om. Aku tidak siap jika rencana surprise-ku untuk Bunda ternyata tidak bisa aku laksanakan.

Tujuh tahun telah berlalu setelah peristiwa itu. Namun rasa sakit dan penyesalan ini ternyata masih membekas. Di saat aku menulis surat ini pun beberapa kali air mataku tak terasa telah membasahi pipiku. Setelah aku membaca curahan hati Om Andy mengenai Bunda di “Kematian (2)” yang Om tulis di Andy’s Corner, aku tak kuasa untuk menulis surat ini dan ingin menceritakan mengenai penyesalanku ini, yang belum pernah aku ceritakan kepada siapa pun. Paling tidak sekarang aku sudah lebih lega.

Terima kasih ya Om sudah menyempatkan waktu untuk membaca suratku yang panjang ini. Terima kasih juga sudah menjaga dan mengurusi aku dan adik-adik. Kami beruntung memiliki keluarga seperti Om Andy dan Tante Upiek yang rela mengorbankan banyak hal untuk kami. Sekali lagi terima kasih ya Om. Semoga kelak aku bisa berhasil seperti Om Andy, supaya aku bisa membuat bunda bahagia di surga.

Salam hangat penuh cinta,

arsip : Kick andy's Corner


KISAH Rp.300 JUTA

Seorang ibu datang ke rumah Pak Gendu membawa sebuah kantong kertas berwarna coklat. “Ini titipan dari suami saya,” ujar sang ibu. Ketika kantong kertas itu dibuka, Hartono terperanjat dan menatap sang ibu dengan pandangan tidak mengerti. “Suami saya titip untuk diberikan kepada Pak Gendu,” ibu setengah baya itu menegaskan.

Sekali lagi Hartono melongok ke dalam kantong kertas itu dan sekali lagi dia tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Di dalam kantong kertas itu terdapat gepokan uang kertas yang tersusun rapi. Setelah dikeluarkan dan dihitung, jumlah seluruhnya Rp 300 juta! “Jujur saja kami kaget. Tidak terbayang ada uang kontan sebanyak itu dimasukan ke dalam kantong kertas begitu saja,” ungkap Hartono. “Lebih terkejut lagi karena ibu tadi bilang semua uang itu untuk Pak Gendu.”

Kisah di atas diungkapkan Hartono, cucu Pak Gendu, ketika tampil sebagai narasumber dalam diskusi buku yang diselenggarakan Kick Andy Books Club di Toko Buku Kinokuniya Plasa Senayan, Sabtu pertengahan Januari lalu.

Menurut Hartono, ibu tersebut mengaku sang suami yang sedang sakit berat, sebelum ajal menjemput, ingin memberikan uang tabungannya kepada Pak Gendu. Ini semacam wasiat. Keinginan tersebut lahir pada saat dia menonton Kick Andy di Metro TV. Pada saat itu Kick Andy sedang mengangkat topik tentang orang-orang yang dalam keterbatasannya berbuat sesuatu untuk membantu orang lain. Salah satu “pahlawan” yang diceritakan dalam topik itu adalah Pak Gendu.

Pak Gendu adalah seorang “jawara” yang terpanggil untuk merawat dan menyembuhkan orang-orang gila yang berkeliaran di jalanan. Mulanya hati Pak Genduh merasa iba dan tergerak ketika melihat ada orang gila yang dikejar dan dilempari batu oleh anak-anak di kampungnya. Orang gila tersebut lalu dibawa ke rumahnya kemudian dirawat sehingga sembuh. Sejak itu dia dan keluarganya rajin mencari orang-orang gila yang berkeliaran di jalan-jalan untuk dibawa pulang, dirawat, dan disembuhkan.

Pak Gendu kini sudah berumur 80 tahun. Fisiknya sudah lemah. Sakit-sakitan dan mengandalkan kursi roda. Tetapi semangat Pak Gendu tidak pernah surut. Begitu pula kegiatan “menyelamatkan” orang-orang sakit jiwa dilanjutkan oleh anak dan cucunya. Sampai saat ini sudah ribuan orang gila yang ditampung dan dirawat di rumahnya di Bekasi, Jawa Barat.

Karena kegiatannya itu, tahun lalu Kick Andy menganugerahi Pak Gendu penghargaan “Kick Andy Heroes”. Acara pemberian penghargaan tersebut ditayangkan di Metro TV. Nah, tayangan tersebutlah yang kemudian menggerakan hati suami sang ibu yang waktu itu sedang menonton acara Kick Andy.

Saya sendiri baru mendengar kisah uang Rp 300 juta tersebut. Di depan para peserta bedah buku “7 Heroes” yang hadir Sabtu itu, secara terbuka dan tulus Hartono – atas nama Pak Gendu dan keluarganya – mengucapkan terima kasih kepada Kick Andy. “Gara-gara nonton Kick Andy, suami ibu itu tergerak untuk menyumbangkan uangnya ke yayasan yang diasuh Pak Gendu,” tuturnya.

Saya tidak dapat mengucapkan kata-kata. Saya terharu. Saya tidak membayangkan sebuah topik yang saya angkat di Kick Andy dapat menggerakan hati seseorang. Saya juga tidak membayangkan jika seseorang yang pada saat itu merasa hendak pergi untuk selama-lamanya, tergerak memberikan tabungannya guna membantu orang lain yang hanya disaksikannya melalui layar televisi.

Senin, 09 Mei 2011

I-L-u-v-U

Tit.. tiit ? "I luv u". Setiap pagi aku menerima SMS bernada seperti itu. Atau terkadang berupa gambar yang melambangkan cinta. Bukan siapa-siapa, karena wanita yang rajin tak pernah absen mengirimiku ungkapan cinta itu tak lain adalah istriku sendiri. Kemarin kuberitahu dia bahwa tindakannya itu memalukan, untuk sebuah keluarga yang sudah memiliki dua anak, tidak usahlah 'cinta-cinta-an' seperti halnya rang pacaran atau pengantin baru. Tapi ia tidak menggubrisnya, bahkan ia semakin sering dengan menambah rutinitas itu pada setiap sorenya.

Enam setengah bulan lalu, malah dia melakukan satu seremoni yang bagiku hanyalah buang-buang uang saja dan tak selayaknya ia melakukan itu. Malam itu sesampainya aku di rumah, kudapati rumahku hanya diterangi oleh lampu yang remang-remang. Rupanya istriku mengganti lampu ruangan makan kami, agar terkesan lebih romantis, katanya. Sementara dua anakku sudah terlelap menikmati mimpinya, kulihat beberapa batang lilin menyala diatas meja makan yang diatasnya sudah tersedia hidangan penuh selera yang menjadi kesukaanku. Dengan gaun malamnya, ia terlihat begitu cantik. Aku baru ingat, hari itu adalah ulang tahun ketiga pernikahan kami. Bahkan satu bulan sebelumnya, ia mengajakku keluar bersama anak-anak. Kami makan di sebuah restoran yang cukup bagus. Ia yang membayar semuanya, katanya. Pikirku, dari mana ia mendapatkan uang, toh ia tak bekerja. Akhirnya kuketahui itu uang yang ia sisihkan dari jatah bulanan yang kuberikan. Hanya saja bagiku, sekedar merayakan ulang tahunku tidak perlu repot-repot dan mahal seperti ini. Cukup dengan membeli makanan di pasar dan dimakan bersama-sama, selesai, yang penting kita bersyukur kepada-Nya bahwa kita masih diberikan kekuatan dan kesabaran dalam mengemban amanah-Nya sampai usia kita bertambah hari itu. Yang kuheran, malam sebelumnya tepat pukul 00.01 WIB ketika detik pertama pada tanggal kelahiranku, sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Kubuka perlahan mataku dan kudapatkan senyumannya yang manis. Malam itu ia menghadiahiku sebuah jam tangan yang didalam bungkus kadonya terdapat sebuah kartu ucapan bertuliskan: "Take My Heart In Your Arm".

O ya, sekedar memberitahu, handphone yang kupakai sekarang ini adalah handphone hadiah darinya pada saat ulangtahun pernikahanku enam setengah bulan yang lalu itu. Aku sempat menolaknya, karena handphone-ku sebelumnya juga masih bagus. Dengan sedikit senyum ia menghulurkan sebungkus kado cantik itu. Didalamnya, kutemukan kembali sebuah kartu bertuliskan sebuah pesan (harap) singkat: "Keep In Touch, Please?". Lucunya, aku lupa bertanya, bagaimana cara ia mendapatkan barang semahal itu. Ah mungkin karena aku sedang terkagum-kagum saja kepada istriku itu, yang membuat aku lupa.

SMS terakhir yang aku terima pagi ini, masih sama isinya. Namun entah kenapa hari ini aku menitikkan air mata. Kuperhatikan kembali rangkaian kata-kata dalam pesan itu, padahal setiap hari aku membacanya. I-L-U-V-U. kuperhatikan satu persatu huruf yang terangkai singkat itu, namun titik air dari mataku semakin bertambah. Aku jadi teringat dengan handphone hadiah darinya, teringat dengan makan malam istimewa nan romantis saat ulang tahun pernikahanku enam setengah bulan yang lalu, jam tangan hadiah darinya saat ulangtahunku, semua perhatian, cinta dan kasih sayangnya kepadaku. Ooh ?

Tiba-tiba mataku menatap lingkaran merah di satu tanggal pada kalender mejaku. Disitu tertulis, "Ultah istriku". Ya Allah? aku hampir saja melupakannya kalau besok adalah hari ulang tahunnya. Sementara hari sudah sore, aku bingung harus menyiapkan hadiah apa untuknya, padahal uangku sudah habis, tak mungkinlah jika aku meminta kepadanya untuk membeli hadiah untuknya, jelas nggak surprise.

Akhirnya, aku nekat menelepon beberapa teman dan karibku, atau siapapun yang bisa kupinjam uangnya. Aku ingin memberinya sesuatu. Namun, apa daya, tak satupun dari mereka bisa meminjamkannya karena memang selain mendadak, bukan tanggal yang tepat bagi siapapun untuk meminjam uang di tanggal tua. Aku lemas, hari sudah terlalu malam bagiku untuk mengetuk pintu orang kesekian untuk kupinjami uangnya. Lagipula toko-toko mulai tutup, kalaupun aku mendapatkan uangnya, sudah terlambat untuk membeli sesuatu. Langkahku gontai, aku malu jika pulang tak membawa apa-apa. Aku menyesal, rupanya kesibukan dan sifat egoisku yang selama ini menutupi semua perhatian dan cinta yang diberikannya, hingga tak sekalipun aku membalasnya. Sambil berjalan, lalu terbetik sebuah ide kecil dibenakku? Aku pulang, kudapati rumahku sudah sepi, istri dan kedua anakku sudah terlelap. Aku tak ingin membangunkan mereka. Belum juga mataku merapat karena masih membayangkan betapa menyesalnya aku yang telah mengabaikan perhatian dan kasih sayangnya selama ini, bahkan tak sepatah kata 'terima kasih' pun aku ucapkan untuk semua cintanya itu.

Satu jam kemudian, istriku terbangun untuk menunaikan sholat malamnya. Biasanya ia membangunkan aku (atau sebaliknya jika aku bangun terlebih dulu) untuk sholat bersama. Namun ia tak segera, karena kuyakin matanya langsung menatap setangkai bunga mawar merah yang kuletakkan disamping bantal tidurnya. Sementara aku masih berpura-pura terlelap, namun mataku sesekali menangkap senyuman di bibirnya ketika ia membaca kertas kecil yang kuikatkan ditangkai bunga itu, "Maafkan abang dik, yang telah melupakan perhatian dan cinta adik. Bunga ini memang tidak akan mampu membalas semua yang telah adik berikan.. with luv?"

oOo

Saudaraku, berapapun usia pernikahan anda, tetaplah perbaharui cinta berdua dengan senantiasa memberikan perhatian dan kasih sayang. Sehingga kelak, cita-cita berdua sampai di surga-Nya bukanlah sekedar impian. Dengan cinta dan perhatian yang tulus kepada pasangan anda, segala cobaan, ujian seberat apapun akan mampu diatasi bersama, selamanya, tanpa harus berakhir dengan tangis dan penyesalan. Sehingga juga dengan itu, waktu yang anda punya tak habis terpakai untuk menyelesaikan semua persoalan, dan anda bisa lebih memfokuskan harap dan do'a semoga Allah tersenyum juga mencurahkan cinta-Nya karena kasih dan sayang setiap hamba kepada pasangannya.

( source : Bayu Gautama, With Love).