.:" I love you, not only for what you are, But for what I am when I am with you ":.

Jumat, 04 Maret 2011

YUKS..... BELAJAR MENDENGARKAN

Anda pasti tahu bagaimana rasanya menerima telepon di tengah malam, bukan ?. Bila bukan berita penting atau kabar mendesak tentu tidak sembarangan orang menelepon kita. Tapi, malam itu semuanya terasa berbeda. Aku terlonjak dari tidurku ketika telepon di samping tempat tidur berdering-dering. Aku berusaha melihat jam beker dalam gelap. Cahaya illuminasi dari jam itu menunjukkan tepat tengah malam. Dengan panik aku segera mengangkat gagang telepon.

"Hallo?" dadaku berdegub-degub kencang. Aku memegang gagang telepon itu erat-erat. Kini suamiku terbangun dan menatap wajahku lekat-lekat.

"Mama?" terdengar suara di seberang sana.

Aku masih bisa mendengar bisikannya di tengah-tengah dengung telepon. Pikiranku langsung tertuju pada anak gadisku. Ketika suara itu semakin jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan suamiku.

"Mama, aku tahu ini sudah larut malam. Tapi jangan... jangan berkata apa-apa dahulu sampai aku selesai bicara. Dan, sebelum mama menanyai aku macam-macam, tolong dengarkan aku ya ma, setelah itu terserah mama ingin memarahiku atau mengusirku dari rumah........... (dengan helaan nafas yang berat). Ya aku mengaku ma. Malam ini aku mabuk. Beberapa hari ini aku lari dari rumah, dan...(terdengar isak tangis tertahan dari seberang sana)"

Aku tercekat. Nafasku tersenggal-senggal. Aku lepaskan cengkeraman pada suamiku dan menekan kepalaku keras-keras. Kantuk masih mengaburkan pikiranku dan berita ini seakan siap mengguncang batinku. Ada apa duhai buah hatiku. Akan tetapi, aku berusaha tenang, dan tidak panik. Ada sesuatu yang tidak beres rasanya.

"...Dan aku takut sekali ma. Yang ada dalam pikiranku bagaimana aku telah melukai hati mama. Aku tak mau mati di sini. Aku ingin pulang. Aku tahu tindakanku lari dari rumah adalah salah. Aku tahu mama benar-benar cemas dan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama beberapa hari yang lalu, tapi aku takut... takut..."

Ia menangis tersedan-sedan. Sengguknya benar-benar membuat hatiku iba. Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai jernih, "Begini nak..."

"Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai bicara." ia meminta. Ia tampak putus asa.

Aku menahan diri dan berpikir apa yang harus aku katakan. Sebelum aku menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan, "Aku hamil ma. Aku tahu tak semestinya aku mabuk sekarang, kejadian itu cepat sekali, aku sama sekali tidak menyadarinya, OH Tuhan apa yang telah ku lakukan, Aku takut. Aku sungguh-sungguh takut!"

Tangis itu memecah lagi. Aku menggigit bibirku dan merasakan pelupuk mataku mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya perlahan, " Ada apa ma ? "

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dan ketika aku tidak menjawab pertanyaannya, ia meloncat meninggalkan kamar dan segera kembali sambil membawa telepon portable. Ia mengangkat telepon portable yang tersambung pararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik.

Lalu suara tangis suara di seberang sana terhenti dan bertanya, "Mama, apakah mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya ma. Aku benar-benar membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian."

Aku menggenggam erat gagang telepon dan menatap suamiku, meminta pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak akan menutup telepon," kataku.

"Semestinya aku sudah bilang pada mama. Tapi bila kita bicara, mama hanya menyuruhku mendengarkan nasehat mama. Selama ini mamalah yang selalu berbicara. Sebenarnya aku ingin bicara pada mama, tetapi mama tak mau mendengarkan. Mama tak pernah mau mendengarkan perasaanku. Mungkin mama anggap perasaanku tidaklah penting. Atau mungkin mama pikir mama punya semua jawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak membutuhkan nasehat mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku."

Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan. Pandanganku tertuju pada pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang tergeletak di sisi tempat tidurku.

"Mama sekarang mendengarkanmu sayang, maafkan mama selama ini ya" aku berbisik.

"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan bayi yang ada di perutku dan bagaimana aku bisa merawatnya. Aku ingin pulang. Aku sudah panggil taxi. Aku mau pulang sekarang."

"Itu baik sayang, cepatlah kembali kami pun merindukanmu nak" kataku sambil menghembuskan nafas yang meringankan dadaku. Suamiku duduk mendekat padaku. Ia meremas jemariku dengan jemarinya.

"Tapi ma, sebenarnya aku bermaksud pulang dengan menyetir sendiri mobil sendiri."

"Jangan," cegahku. Ototku mengencang dan aku mengeratkan genggaman tangan suamiku. "Jangan. Tunggu sampai taxinya datang. Jangan tutup telepon ini sampai taxi itu datang."

"Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama."

" Ya sayang, mama tahu, mama pun merindukanmu kembalilah segera. Tapi, tunggulah sampai taxi itu datang. Lakukan itu untuk mamamu y nak." Ujarku dengan lembut padanya.

Lalu aku mendengar senyap di sana. Ketika aku tak mendengar suaranya, aku gigit bibir dan memejamkan mata. Bagaimana pun aku harus mencegahnya mengemudikan mobil itu sendiri. Sangat berbahaya bagi seorang wanita muda mengendarai mobil di tengah malam dalam kondisi jiwa yang sangat labil.

"Nah, itu taxinya datang."

Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku terasa lega.

"Aku pulang ma," katanya untuk terakhir kali. Lalu ia tutup telepon itu. Air mata meleleh dari mataku. Aku berjalan keluar menuju kamar anak gadisku yang berusia 16 tahun. Suamiku menyusul dan memelukku dari belakang. Dagunya ditaruh di atas kepalaku.

Aku menghapus airmata dari pipiku. "Kita harus belajar mendengarkan," kataku pada suamiku.

Ia terdiam sejenak, dan bertanya, "Kamu pikir, apakah gadis itu sadar kalau ia telah menelepon nomor yang salah?"

Aku melihat gadisku sedang tertidur nyenyak.

Aku berkata pada suamiku, "Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah. Tuhanlah yang mengutus kita untuk menerima teleponnya dan menguatkan hati gadis itu pa "

"Ma? Pa? Apa yang terjadi?," terdengar gadisku menggeliat dari balik selimutnya.

Aku mendekati gadisku yang kini terduduk dalam gelap, "Kami baru saja belajar nak," jawabku.

"Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan matanya terpejam lagi.

" Belajar mendengarkan, anakku " bisikku sambil mengusap pipinya dengan lembut.

_________________________________________________________________________

Sahabatku,,,

Tentu kita tahu mengapa Tuhan menciptakan kita dengan dua telinga, dua mata, sepasang lengan dan kaki,

Akan tetapi mengapa Dia hanya menitipkan pada kita satu mulut dan satu lidah saja ?

Ya, benar,,,

Agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara,

Agar kita lebih banyak melihat daripada bersuara,

Agar kita lebih banyak merasa daripada berucap,

Agar kita lebih banyak bekerja daripada bercerita,

Dan,,,

Agar kita lebih banyak belajar dari kehidupan ini,

Bagi mereka yang sedang bermasalah,,,

Tidak ada yang lebih dahsyat daripada kesediaan kita untuk mendengarkannya,

Tidak ada yang lebih menolong daripada kerelaan kita untuk menemaninya,

Tidak ada yang lebih membantu daripada keterbukaan kita untuk menerimanya,

Sahabatku, mari belajar mendengarkan, terutama pada hal-hal yang tersembunyi.


Karena seringkali, mendengar adalah lebih pada soal apa yang tidak terucap, bukan sekedar soal apa yang terucap.


Arsip : Inspirasi Taqwa

Tidak ada komentar: