Aku tidak mengerti kenapa Mas Ardi harus memilihku. Padahal kantor kami tidaklah sama. Aku bekerja di bagian administrasi pada perusahaan percetakan, sedangkan Mas Ardi bekerja di bagian marketing pada perusahaan milik warga negara Jepang. Sungguh, aku tidak pernah bermimpi memilikinya. Aku sadar sejak aku mengenalnya di kampus dulu. Dia laki-laki yang banyak dilirik para gadis-gadis tercantik di kampus kami. Toh, setelah lulus kami terpisah jarak. Aku memutuskan untuk menetap sementara di rumah nenekku di Jawa tengah. Sambil melamar pekerjaan aku menemani nenek yang sudah renta, sedangkan orang tuaku tetap di Kediri. Mas Ardi memilih melanjutkan study ke luar negeri, tepatnya Jepang di jurusan yang sama ketika dia menempuh jurusan di kampus kami dulu.
Aku bertemu kembali satu tahun yang lalu, saat menghadiri acara reuni teman-teman kampus. Yang pasti saat itu aku datang dengan sahabatku, Nuris. Aku bela-belain datang dari Solo demi acara ini. Sudah lama juga tidak kumpul dengan teman-teman. Ada kerinduan yang meruah kala canda-tawa, serta senyum bahagia teman-temanku bertebaran. Mereka bersemangat menceritakan kehidupan setelah lepas dari bangku kuliah. Ada Irgi yang telah menikah dan mempunyai satu anak perempuan. Lain lagi dengan Vera, dia menjadi ibu rumah tangga sejati. Baginya status itu tidaklah kolot. Aku salut akan pendiriannya. Belum lagi cerita Mara, dia telah bertunangan dengan seorang dosen muda di universitas terkemuka di kota calonnya tersebut. Dan masih ada teman-teman lain yang memiliki cerita sendiri-sendiri.
Sedangkan aku, seorang perempuan yang masih tetap sendiri. Padahal bisa di bilang usiaku sudah cukup untuk berumah tangga dan menjadi Ibu, 25 tahun. Dan itu pun juga terjadi pada Mas Ardi, aku memanggilnya” Mas”, itu sebutan yang sopan dan pantas pada orang yang lebih dewasa usianya dalam aturan orang Jawa.
“Han…gimana kabarmu sekarang?” tanya Mara ketika kami kumpul bersama di ruang tengah.
“Alhamdulilah aku baik, Ra.” Balasku santai sambil tetap mengamati teman-teman yang lain.
“Hani, kok calonnya nggak diajak sech…malu ya sama kita-kita.”sahut Vera tak mau kalah.
“Dari dulu khan, Hani memang begitu. Tertutup banget soal laki-laki.” Tiba-tiba Irgi menimpali sambil berjalan ke arah kami, di belakang mengekorlah Mas Ardi. Mukaku langsung mendadak memerah seperti udang rebus. Aku hanya tertunduk, tidak berani menampakkan wajahku di hadapan mereka. Oh..calon? terpikirpun tidak dalam benakku. Semua yang berbau laki-laki telah aku singkirkan sejak kepergian Mas Ardi melanjutkan ke Jepang.
“Nanti aku aja yang akan mendekati dia Ver, siapa tahu masih kosong dan ada lowongan…!” Mas Ardi buka suara juga. Namun ungkapanya tadi membuyarkan lamunan masa laluku-- yang juga mengenangnya. Hatiku berdebar tak karuan mendengarnya. Aku berusaha setenang mungkin menghadapi situasi ini. Aku tidak ingin dia juga yang lainnya tahu apa yang aku rasakan dan pikirkan.
“Mau aja Han, Ardi masih single tulen kok...! Belum ada yang ngisi juga, Kalian kayaknya cocok tuch…!” Mara mencoba memprovokasi. Aku hanya tersenyum mendengar ocehan-ocehan mereka.
Sejak saat itulah, komunikasi antara aku dan Mas Ardi semakin lancar. Tanpa kami sadari, telah tumbuh benih-benih yang menghiasi ruang hati kami. Namun, masih enggan untuk mengakuinya. Tapi belum juga mengutarakan perasaan kami masing-masing. Aku harus siap menghadapi kemungkinan yang terjadi. Entah, apakah aku bisa memberitahunya, bahwa aku kini menyimpan harapan bersamanya.
***
Di senja yang indah aku duduk di teras rumah, menikmati keindahannya sambil membaca-baca majalah dan buku-buku yang belum sempat aku baca. Kesibukan di kantor yang menyita seluruh waktuku, hingga tak tersisa sedikitpun untuk menyentuh benda yang selalu menemani duniaku. Ketika sedang menikmati bacaanku, Mas Ardi datang.
“Assalamualaikum…lagi santai nech kelihatannya!” sapanya ramah. Aku menyambutnya dengan menjawab salam. Aku sempat kikuk, karena tidak biasanya aku menerima tamu dalam keadaan yang serba biasa. Rambut yang biasanya ku ikat, kubiarkan tergerai. Aku malu dipandangi Mas Ardi seperti itu.
Belum sempat aku mempersilakan masuk ke dalam rumah, Mas Ardi telah menyahut lebih dulu.
“Di sini saja Han…gak apa-apa khan?”tanyanya
“Oh..iya, silakan duduk, Mas.” Sambutku seraya menganggukan kepala.
Mas Ardi duduk di bangku yang berseberangan, karena terhalang meja di tengahnya.
“Mau minum apa Mas?”tawarku.
“Tidak usah repot-repot, Han…aku tidak lama kok.”balasnya.
“Sebentar aja kok, masa baru duduk langsung mau pulang…!” ledekku sambil melangkah ke dalam. Di ruang tengah aku sempat berpapasan dengan Budhe Ratih, dan aku memberitahu keberadaan Mas Ardi. Tak harus butuh waktu lama kalau hanya membuat segelas es teh manis, minuman kesukaan Mas Ardi semasa kuliah.
“Aduh…jadi merepotkan kamu, Hani!” gaya basa-basinya yang tetap melekat sampai sekarang.
“Ah…gak apa-apa, Mas. Aku gak repot kok kalau hanya segelas.” Candaku sambil meletakkan minuman tersebut di meja.
Aku menangkap sekilas ada, sesuatu yang tidak biasanya.
“Silakan di minum dulu, pasti udah haus. Ngomong-ngomong ada perlu apa, Mas datang ke sini tidak seperti biasanya?” tanyaku memastikan.
Aku melihat Mas Ardi diam, namun aku sempat mendengar helaan nafas di antara sikap diamnya. Aku pun memilih diam dulu, mungkin ada sesuatu yang masih dia pikirkan sebelum mengatakan padaku.
“Han…maafkan bila aku lancang mengatakan ini. Tapi aku harap kamu tidak marah.”ujarnya kemudian
“Soal apa, Mas?”
“Hmmm….mau nggak kamu menemani sisa hidupku?”
Aku tersentak mendengar pertanyaanya. Bagai sengatan lebah yang tak sempat ku hindari dan mengenaiku tepat pada sasaran. Mas Ardi ingin menjadikan aku bagian dari kehidupanya. Mimpikah aku? Aku malah asyik mengembara dengan pikiranku sendiri, ketika Mas Ardi kembali menegurku.
“Hani…kamu tidak apa-apa khan?” tanyanya membuatku geragapan.
“Eh…iya, Aku tidak apa-apa kok!” sahutku tersipu malu.
“Kamu mau khan ,Han?” tanyanya meyakinkanku.
“Boleh aku pikirkan dulu apa harus dijawab sekarang Mas?” balasku.
“Kalau tidak keberatan sekarang saja, Han!”
Aku kini terdiam, berusaha merenungi permintaan Mas Ardi barusan. Dan pada akhir dari keterdiamanku. Aku memutuskan untuk menerima pinangan itu. Aku melihat kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Mas Ardi menyematkan sebuah cincin indah bermata safir di jari manisku. Rasa bahagia yang tak terlukiskan kini menyelimuti hatiku juga Mas Ardi. Sejak saat itulah kehadiran Mas Ardi mewarnai hariku. Berbagi saat suka maupun duka yang menghampiri kehidupan kami. Aku hanya memberitahu budhe dan nenek, aku melarang mereka mengabari pada keluargaku tentang pinangan Mas Ardi. Aku masih menunggu kepastian Mas Ardi datang dengan orang tuanya.
***
Tiga bulan kemudian
Aku masih sibuk dengan beberapa file yang mesti aku setorkan pada atasanku. Namun tiba-tiba aku diberitahu satpam, bahwa ada seorang perempuan yang ingin bertemu dan menungguku di dekat pos satpam. Aku hanya bertanya-tanya dalam batinku.Siapa? darimana dia tahu aku kerja di sini?. Aku terlalu letih dengan pertanyaan tersebut. Aku bergegas menyelesaikan tugasku dan keluar menemui perempuan itu.
Aku masih saja berpikir keras, tentang kedatangan perempuan itu yang tiba-tiba dan tak ada janji sebelumnya denganku.
“ Maaf, Mbak Hani…?” tanyanya setelah aku ada dihadapanya.
“ Iya, benar. Siapa anda?” tanyaku balik dengan sopan dan hati-hati.
“ Maaf, apa saya menggangu waktu mbak? Ada yang ingin saya bicarakan dengan Mbak.” Sahutnya kemudian meminta kesediaanku.
“ Oh, tidak..” balasku.
“ Kalau begitu kita berbicara sambil makan siang saja ya, Mbak?” tawarnya kemudian.
Aku dan dia berjalan beriringan tanpa ada pembicaraan sedikitpun. Aku masih terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya dia. Aku memilih salah satu rumah makan yang dekat dengan kantorku bekerja. Setelah memesan sesuatu, perempuan itu mulai menanyakan kabarku dan lainnya.Hingga sebuah pengakuan mengejutkan aku.Tentang Mas Ardi.
“ Saya baru tahu, mbak. Kalau Mas Ardi sudah menjalin hubungan dengan Mbak.” Ujarnya dengan pandangan keluar jendela. Dia sama sekali tak berani menatap mataku. Namun aku bisa sempat menangkap kesedihan yang tersirat dari raut mukanya.
“ Sebenarnya anda siapa? Darimana anda tahu tentang saya dan Mas Ardi?” tanyaku akhirnya keluar juga.
Meluncurlah cerita tentang dirinya dan juga tentang Mas Ardi. Perempuan yang tadi berbicara padaku adalah teman dekat Mas Ardi ketika berada di Jepang. Hatiku merasakan tusukan yang menyakitkan ketika dia mengungkapan betapa-- dia juga mencintai Mas Ardi sejak di Jepang hingga kini telah kembali ke Indonesia. Aku berusaha menguatkan hati ini, meski terasa menyesakkan. Menahan butiran airmata yang ingin tumpah. Perempaun itu bernama Akira, biasa di sapa Ira. Seperti nama orang Jepang. Dan memang dia masih ada keturunan darah negara tersebut.
Dia bercerita dengan uraian airmata, membuat hatiku tersentuh sekaligus sakit. Kenapa sejak awal Mas Ardi tak cerita padaku. Ada amarah yang kini kusimpan karena sikap Mas Ardi. Aku harus bicara dengan Mas Ardi secepatnya, batinku.
***
“Maaf, Han..aku belum sempat menjelaskan padamu!” jawabnya ketika aku menanyakan kepastian mengenai Ira.
“Lupa?” tanyaku balik.
Mas Ardi masih terdiam di hadapanku, aku berusaha keras menahan emosi yang ingin meledak. Kenapa meski sekarang terjadi? Kenapa tidak sejak kemarin sebelum aku memutuskan menerima cintanya? Pertanyaan –pertanyan itu mengelilingi otakku.
“Hani…!” sahutnya
“Iya, ada apa?. Katakan yang sejujurnya saja Mas, agar masalah ini cepat ada penyelesaiannya.” Balasku mulai menata kembali emosiku.
“Ira memang mecintaiku sebelum kamu hadir dalam benakku. Dia setia menunggu ku hingga selesai kuliahku di Jepang. Dia juga yang menjagaku, menemaniku saat suka maupun duka. Keluarganya di Jepang sangat baik padaku.” Ceritanya dengan hati-hati. Aku masih tetap membisu tanpa mengomentari sedikitpun penuturannya kali ini. Ada sesuatu yang mencubit-cubit hati kecilku sekarang.
“Aku pun akhirnya membalas semua pengorbanannya, aku mulai bisa mencintainya. Membiarkan pelan-pelan dia mengisi hatiku yang kosong sejak aku memutuskan kuliah ke Jepang. Kamu tahu kenapa aku memilih kuliah ke jepang, Han?” tanyanya tiba-tiba mengejutkanku.
Aku hanya menggeleng tanpa bersuara.
“Karena kamu tetap diam dengan hatimu, kamu tak pernah mau tahu tentang perasaanku padamu. Bahwa aku mencintaimu…!” ceritanya sempat mengharukan hatiku, aku hanya mampu mengigit bibirku. Aku juga merasakan hal yang pernah kamu rasakan Mas, batinku.
“Maafkan…”
“Kamu tidak salah, Han. Aku saja yang pengecut tak berani lebih tegas menghadapi sikapmu.”
“Apa Mas masih mencintai Ira saat ini, meski Mas jelas-jelas memintaku mendampingi hidupmu?” tanyaku kemudian.
Mas Ardi kembali terdiam, hanya desahan nafas yang terdengar berat.
“Apa kamu mau memaafkan aku bila aku mengatakan yang sejujurnya,Han?”
“Insya Allah”
“Aku memang masih mencintainya, namun ketika aku bertemu denganmu, aku menemukan kembali cintaku yang pernah hilang. Tapi…!” dia mengantung ucapannya
“Tapi kenapa?”
“Tapi orang tua Ira memintaku untuk menikah denganya.!” Sahutnya datar.
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, namun aku berusaha menguasai keadaan. Aku hanya diam terpaku mendengar pengakuannya.Airmataku benar-benar ingin melesak keluar dari sarangnya. Tapi tetap sekuat tenaga untuk menahanya, agar tak keluar.
“Pergilah…temui dia!” kalimat terakhirku padanya.
Mas Ardi tetap mematung ditempatnya ketika aku pergi berlalu darinya.
***
Sejak peristiwa itu, aku tak lagi menghubungi Mas Ardi, komunikasi itu merenggang dengan sendirinya. Lagipula aku sudah tak ingin mengusiknya. Aku mengembalikan cicin pemberiannya saat memintaku menjadi istrinya dan memutuskan kembali ke rumah orang tuaku. Meski dengan begitu Budhe Ratih dan nenekku amat menyayangkan keputusanku. Tapi aku ingin pergi jauh dari kenangan juga masa laluku.
***
“Hani…!” sesorang memanggilku. Aku berusaha mencari arah panggilan suara tersebut.
“Kamu benar Hani, khan?” tanyanya setelah agak mendekat. Aku hanya terbengong-bengong.
“Subhanallah… Han. Kamu tambah cantik saja. Gimana kabarnya?” sambil menatapku dari atas hingga bawah, tak luput pula selembar kain jilbab yang bertengger indah menghiasi kepalaku. Aku memutuskan berjilbab setelah bertemu dengan sosok baik hati dan lembut di kantor baruku yang mampu mengubah jalan hidupku kini.
“Mara..! kok kamu ada di sini?” kini giliran aku balik bertanya padanya.
Dia hanya senyum-senyum saja ketika aku ganti menanyainya. Padahal pertanyaannya saja, juga belum aku balas.
“Iihh...kamu aja belum jawab pertanyaanku!” sahutnya seperti tahu isi hatiku.
“Alhamdulilah baik.” Jawabku kemudian.
“Kalau kamu, Ra?”
“Aku juga baik, Han. Aku udah nikah dengan tunanganku dulu. Dia menetap di Malang karena sudah menjadi dosen tetap di salah satu universitas tempatnya mengajar.” Balasnya dengan sedikit dibumbui cerita keberadaannya di sini.
“Lalu kamu?” tanyanya lagi.
“Bunda…Bunda…!” suara sosok mungil memanggilku. Aku melirik Mara sekilas, keningnya mengerut karena mendengar panggilan tersebut. Aku menoleh.
“Dia, buah hatiku...!” sahutku sambil memandangi Farah yang asyik dengan mainanya.
“Dengan Mas Ardi, Han?” Tanyanya lagi.
Aku sempat menggeleng kepala pelan.
“ Bukan, aku menikah dengan laki-laki baik hati, seorang manajer di kantorku bekerja. Laki-laki keturunan Jawa-Arab, namun telah menetap lama di Malang.” Sahutku diiringi senyum bangga pada Muhammad Rayyan Aditya, suamiku.
Senyum kemenangan yang sama ketika aku menerima pinangannya tiga tahun yang lalu. Kemenangan hatiku melupakan sosok Mas Ardi, yang aku tahu dia tidak jadi menikah dengan Ira, karena perempuan itu memutuskan menikah dengan laki-laki asli Jepang dan menetap di sana. Dan Aku tak tahu pasti bagaimana nasib Mas Ardi setelah kepergian Ira. Aku pikir dia akan menemukan dunianya sendiri kelak.
__________________The end_________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar