Judul : Pudarnya Pesona Cleopatra
Pengarang : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika
"Cinta tidak menyadari kedalamanya, sampai ada saat perpisahan"
.: Khalil Gibran :.
SATU
Ini nikmat ataukah azab…?
“Harus dengan dia, tak ada pilihan lain!” tegas ibu. Beliau memaksaku untuk menikah dengan gadis itu. Gadis yang sama sekali tak kukenal. Sedihya, aku tiada berdaya sama sekali untuk melawanya. Aku tak punyakekuatan apa-apa untuk memberontaknya. Sebab setelah ayah tiada, bagiku ibu adalah segalanya. Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada didalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal itu. kok bisa-bisanya ibunya berbuat begitu. Pikiran orang dulu terkadang memang aneh. “Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di Mankuyudan Solo dulu,” kata ibu.
“ kami pernah berjanji,jika dikaruniai anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu Anakku,ibu yang telah hadir jauh sebelum kau lahir!” ucap beliau dengan nada mengiba.
“dan percayalah pada ibu, Anakku. Ibu selalu memilihkan yang terbaik untukmu. Ibu tahu persis garis keturunan Raihana. Ibu tahu persis kesalehan kedua orang tuanya,” tambahanya untuk menyakinkan diriku.
“Mbak Raihana itu orangnya baik kok, kak. Dia ramah halus budi, sarjana pendidikan, penyabar, berjilbab dan hafal Al-Quran lagi. Pokoknya cocok deh buat kakak,”
komentar adikku,si Aida tentang calon istriku. “Orangnya cantik nggak?”selidikku.
“Lumayan, delapan koma limalah,” jawab adikku enteng. “Tapi lebih tua dari kakak ya?” tanyaku mencari kepastian.
“Ala Cuma dua tahun kak, lagian sekarang’
Dalam pergaulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Ibu
Durhakalah aku
Jika dalam diriku,
Tak kau temui inginmu
Ibu
Durhakalah aku
Jika dalam diriku,
Tak kau temui legamu
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku ada kecemasan-kecemasan yang mengintai. Kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan aku tidak tahu alasanya, yang jelas, sebenarnya aku sudah punya criteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai itu. Saat khitbah sekalis kutatap wajah Raihana, dan benar kata si Aida, ia memang baby face dan lumayan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuimpikan tak kutemukan sama sekali. Adikku, ibuku, sanak saudaraku semuanya mengakui Raihana cantik. Bahkan tante Lia, pemilik salon kosmetik terkemuka di
Tapi seleraku lain. Entah mengapa. Apakah mungkin karena aku telah begitu hanyut citra gadis-gadis Mesir Titisan Cleopatra yang tinggi semampai? Yang berwajah putih jelita dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir merah halus menawan. Dalam balutan jilbab sutra putih wajah gadis Mesir itu bersinar-sinar, seperti permata Zabarjad yang bersih, indah berkilau tertempa sinar purnama. Sejuk dan mempesona. Jika tersenyum, lesung pipinya akan menyihir siapa saja yang melihatnya. Aura pesona kecantikan gadis-gadis
Mesir Titisan Cleopatra sedimikian kuat mengakar dalam otak, perasaan dan hatiku, sedimikian kuat menjajahkan cita- cita dan mimpiku. Aku heran, kenapa aku jadi begini? Dimanakah petuah-petuah suci kenabian itu kusimpan?
Apakah hati ini telah sepenuhnya diduduki oleh mata bening dan wajah kemialu gadis Mesir? Dimanakah hidayah itu? apakah aku telah gila? Mana ada kecantikan Cleopatra di jawa!? Dihari-hari menjelang akad nikah aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku pada istriku, tetapi usahaku selalu saja sia-sia. Usahaku justru membuat diriku sangat tersiksa. Bibit cinta yang kuharapkah malah menjelma menjadi pohon-pohon kaktus berduri yang tumbuh yang menganjal didalam hatiku. Terkadang bibit cinta yang kuharapkan itu malah menjelma menjadi tiang gantungan yang mencekam. Aku hidup dalam hari-hari yang mengancam. Aku hidup dalam hari-hari yang mencekam. Aku meratapi nasibku dalam derita yang tertahan. Ingin aku memberontak pada ibu. Tapi teduh wajahnya selalu membuatku luluh.
Ibu, durhakalah aku
Jika dalam maumu tak ada mauku
Tapi durhakakah aku, ibu ?
Jika dalam diri raihana taka ada cintaku
Oh tuhanku, haruskah aku menikah dalam keadaan tersiksa seperti ini? Haruskan aku menikah dengan orang yang tidak aku cintai? Dan lagi-lagi aku hanya bisa pas-pas. Sinar wajah ibu berkilat-kilat, hadir didepan mata duh gusti tabahkan hatiku!
Hari pernikahan itu datang. Aku datang seumpama tawanan yang digiring ketiang gantungan. Lalu duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa, tanpa cinta. Apa mau dikata, cinta adalah anugerah Tuhan yang tak bisa dipaksakan, pesta meriah dengan bunyi empat grup rebana terasa konyol. Lantunan shalawat nabi terasa menusuk-menusuk hati. Inna lillahi wa ilahi rajiun!
Perasaan dan nuraniku benar-benar mati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwku meronta-ronta. Aku benar-benar merana. Satu-satunya, harapanku hanyalah berkah dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, tujuh hari pertama kupaksakan hatiku untuk memuliakan Raihana sebisanya. Kupaksakan untuk mesra, bukan karena cinta. Sungguh, bukan karena aku mencintainya. Hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat nya. oh, alangkah dahsyatnya sambutan cinta Raihana atas kemesraan yang ku merintih menangisi kebohongan dan kepura-puraanku. Apakah aku telah menjadi orang munafik karena memdustai diri sendiri dan banyak orang?
Duhai tuhan mohon ampunan. Aku yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya kenapa bisa itu menebas leher kemanusiaanku. Dan aku pasrah tanpa daya. Tepat dua bulan setelah pernikahan,kubawa Raihana kerumah kontrakan dipinggir
Mana hari-hari indah itu? tak pernah kurasakan! Yang kurasakan adalah siksaan-siksaan jiwa yang mendera-dera. Oh, bertapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Sudah dua bulan aku hidup bersama seorang istri. Makan, minum, tidur dan shalat bersama mahluk yang bernama Raihana, istriku. Tapi, masya allah, bibit-bibit cintaku tak juga tumbuh. Senym manis Raihana tak juga menembus batinku. Suaranya yang lembut tetap saja terasa hambar.
Wajahnya yang teduh tetap saja terasa asing bagiku. Sukmaku merana. “Duhai cintaa hadirlah, hadirlaaaah! Aku ingin merasakan seperti apa indahnya mencintai seorang isteri!” jerit batinku menggedor–gedor jiwa. Cinta yang kudamba bukannya mendekat, tapi malah lari semakin jauh dari dtik ke detik. Pepatah Jawa kuno bilang, Wiwiting tresno jalaran soko kulino! Artinya, hadirnya cinta sebab sering bersama. Tapi pepatah itu agaknya tidak berlaku untukku. Aku setiap hari bersama Raihana. Berada dalam satu rumah. Makan satu meja. Dan tidur satu kamar. Tapi cinta itu kenapa tak juga hadir-hadir juga? Kenapa!? Yang hadir justru perasaan tidak suka yang menyiksa. Aku kuatir, jangan-jangan aku bisa gila! Atau aku sebenarnya tlah gila? Tapi tidak! Tidak ada yang menyebutku gila. Aku masih bisa mengajar di kampus dengan baik. Masih bias menjawab pertanyaan-pertanyaan mahasiswa dengan baik. Tapi, dalam sejarah kehidupan manusia banyak orang gila yang kelihatannya normal-normal saja. Banyak juga yang kelihatannya aneh tapi sebenarnya dia tidak gila. Cinta yang salah kedaden memang sering menciptakan orang-orang gila. Begitu juga cinta yang tidak kesampaian. Apakah aku akan tecatat dalam daftar orang-orang gila karena salah kedaden dalam menghayati cinta?
Embuh!
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihan mulai kurasakan. Aku tak tahu dasar munculnya perasaan ini. Ia muncul begitu saja. Melekat begitu saja dalam dinding-dinding hati. Aku telah mencoba membuang jauh-jauh perasaan tidak baik ini. Aku tidak mau membenci atau muak pada siapa pun juga, apalagi pada isteri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucinta. Tetapi entah kenapa, perasaan tidak baik itu tetap saja bercokol di dalam hati. Sama sekali tidak bisa diusir dan dienyahkan. Bahkan, dari detik ke detik rasa muak itu semakin menjadi-jadi, menggurita dan menjajah diri. Perasaan itu mencengkeram seluruh raga dan sukma. Aku tak berdaya apa-apa. Sikapku pada Raihana mulai terasa lain. Aku merasakanya tapi aku tiada bisa berbuat apa-apa. Aku lebih banyak diam,acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak diruang kerja atau diruang tamu. Aku sendiri heran dengan keadaan diriku. Aku yang biasanya suka romantis kenapa bisa begini sadis. Aku. Inginku. Galuku. Resahku. Dukaku. Mengumpal jadi satu. Tak tahu aku, apa yang terjadi pada diriku. Pikiran dan hatiku pernah duka yang tidak mengalaminya. Duka yang bergejolak-gejolak tiada bias diredam dengan diam. Duka yang menganga menebarkan perasaan sia-sia. Aku mengutuk keadaan dan mengutuk diriku sendiri dalam diri:
Dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau Resahku resahkau resahrisau resahbalau Resahkalian Raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian Mauku maukau mautahu mausampai maukalian Maukenal maugapai Sisaku siasakau siasiasia siarisau siakalian Sia-sia….!
Aku merasa hidupku adalah sia-sia. Belajarku
DUA
Kelihatannya tidak hanya aku yang tersiksa dengan keadaan tidak sehat ini. Raihana mungkin merasakan hal yang sama. Tapi ia adalah perempuan Jawa sejati yang selalu berusaha menahan segala badai dengan kesabaran. Perempuan Jawa yang selalu mengalah dengan keadaan. Yang salalu menormorsatukan suami dan menomorduakan dirinya sediri. Karena ia seorang yang berpendidikan, maka dengan nada diberani-beranikan, ia mencoba bertanya ini-itu tentan perubahan sikapku. Ia mencari-cari kejelasan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
Tetapi selalu saja menjawab,”tidak ada apa-apa kok mbak, mungkin aku belum dewasa! Aku mungkin masih harus belajar berumah tangga, mbak!”
Suatu sore aku pulang dari mengajar dan kehujanan dijalan. Aku lupa tidak membawa jas hujan. Sampai dirumah habis magrib. Bibirku biru, mukaku pucat. Perutku belum kumasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, memang aku berangkat terlalu pagi karena ada janji dengan seorang teman. Jadi aku berangkat sebelum sarapan yang dibuat Raihana jadi. Raihana memandang diriku dengan waajah kuatir. “mas tidak apa-apa
“mas air hangatnya sudah siap?” kata Raihana.
Aku tak bicara sepatah kata pun. Aku langsung masuk kekamar mandi dan membersihkan badan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku lupa tidak membawa handuk. Selesai mandi, raihana telah berdiri didepan pintu kamar mandi dan memberikan handuk. Dikamar ia juga telah menyiapkan pakaianku.
“Mas aku buatkan wedang jahe panas. Biar segar.” Aku diam saja.
“Tadi pagi mas belum sarapan. Apa mas sudah makan tadi siang?”
Aku merasa rasa mulas dan mual dalam perutku tidak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari kekamar mandi. Dan aku muntah disana. Raihana mengejar dan memijitnya pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa mas, pakai balsam, minyak kayu putih atau pakiai jamu?”tanya Raihana sambil menuntunku kekamar.
“Mas jangan diam saja dong. Aku
“Mau, tapi..”
“Tapi kenapa?”
“Dia tidak pakai jilbab.”
“Asal kau mau semua bisa diatur.”
“Baiklah saya akan datang.”
“Ingat jam delapan tepat!”
“Jangan kuatir.”
Aku mempersiapkan segalanya. Aku membeli stelan jas terbaik. Dan aku pergi ke salon. Pukul tujuh malam aku sudah berada didalam mobil
“Dari
Dan anda telah beruntung datang tepat pada waktunya. Selamat ya!” kata pengawal itu sambil menuju bangsal utama. Dari kejauhan aku melihat Ratu Cleopatra duduk disinggasananya. Disamping kananya ada seorang indah. Itukah Mona Zaki? Hatiku bergetar hebat. Jika aku berada di Jawa, sangat tidak mungkin berkenalan dengan puteri keraton Solo atau
“Mas, bangun mas. Sudah jam setengah empat kau belum shalat isya!”
Raihana menguncangkan tubuhku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa luar biasa. Tidak jadi menyunting Mona Zaki, keponakan Cleopatra, aku menatap raihana dengan perasaan jengkel dan tidak suka. “Maafkan hana, kalau membuat mas kurang suka. Tapi mas belum shalat isya.” Lirih hana yang belum melepas mukenanya, dia mungkin baru saja shalat malam. Aku tidak berkata apa-apa. Meskipun Cuma mimpi itu sangat indah seperti dalam alam nyata. Kenapa raihana tidak menunggu sampai aku menikah dengan keponakan Ratu Cleopatra itu. kenapa tidak menunggu sampai aku merasakan indahnya malam pertama bersamanya. Meskipun Cuma dalam mimpi. Aku bangkit mangambil air wudhu dan shalat. Selesai shalat aku merenungkan mimpi yang baru kualami. Sangat indah. Tapi sayang terputus. Cleopatra dan Mona Zaki, aneh. Bagaimana mungkin Mona Zaki itu keponakan Cleopatra. Bukankah Cleopatra hidup dizaman Romawi dan Mona Zaki diabad ke-21. bagaimana bisa bertemu dalam ikatan darah bibi dan keponakan.
Mimpi memang sering aneh. Tak bisa dinalar. Tapi indah. Hanya saja sayang. Diputus oleh Raihana. Aku jadi semakin tidak suka dengan dia. Dialah pemutus harapan dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah? Bukankah dia justru berbuat baik membangunkan aku untuk shalat? Jika sudah berkaitan dengan cinta dan mimpi, yang salah atau benar seringkali tidak jelas batasanya. Hanya yang diselamatkan oleh Allah yang masih berpijak pada kesadaran naluri dan berpijak pada jalan yang benar. Dan aku?
TIGA
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana. Aku sendiri tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka itu semakin menjadi-jadi. Aku tak mampu lagi meredamnya. Aku dan Raihana hidup dalam dunia masing-masing. Aktivitas kami hanya sesekali bertemu dimeja makan dan saat sesekali shalat malam. Aku sudah memasuki bulan keenam menjadi suaminya. Dan satu bulan lebih aku tidak tidur sekamar lagi dengannya. Aku lebih merasa nyaman tidur bersama buku-buku dan computerku di ruang kerja.
Tangis raihana tak juga mampu membuka jendela hatiku. Rayuan dan ratapanya yang mengharu-biru tak juga meluruhkan perasaanku. Aku meratapi dukaku. Raihana menangisi dukanya. Dan duka kami belum juga bertemu. Aku heran pada diriku sendiri. Orang-orang itu begitu mudah jatuh cinta. Tapi kenapa aku tidak. Raihana yang kata tante lia memiliki kecantikan selevel bintang iklan sabun Lux itu belum juga bisa menyentuh hatiku. Kelembutannya yang seperti Dewi Sembodro tak juga membuatku jatuh cinta. Kepada siapa aku harus melabuhkan duka. Seribu doa terpanjatkan agar hatiku terbuka. Namun yang hadir tetap saja aura pesona gadis lembah sungai Nil. Padahal banyak juga yang bilang, gadis
Mesir banyak yang gembrot. Tapi cinta adalah selera. Dan selera orang berbeda-beda. Dan aku selalu menolak jika orang mengatakan gadis Mesir banyak yang gembrot. Aku justru melihat jika ada delapan gadis Mesir maka yang cantik ada enam belas. Karena banyangannya juga cantik. Aku mungkin terlalu memuja keelokan gadis Mesir. Itulah selera. Selera adalah rasa suka yang muncul begitu saja dalam jiwa dan terkadang susah dipahami. Seenak-enaknya durian kalau ada orang tidak suka ya tetap tidak suka. Setidak sukanya orang, kalau ada orang yang makan jengkol ya tetap suka.
Secantik-cantiknya Lady Diana kalau orang tidak suka ya tidak suka. Itu juga yang kualami. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta. Hanya entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Suasana yang sebenarya tidak boleh terjadi pada orang mengerti seperti diriku. Tapi masalah cinta seringkali membuat orang mengerti jadi tidak mengerti. Untuk menghibur diri suatu hari sepulang dari mengajar. Kulihat kaset sinetron berseri Ibnu Hazm yang kubawa dari Mesir. Sebenarnya pulang ketanah air kusempatkan membelinya di Attaba. Dengan melihat sinetron itu kehadiran kembali pesona kecantikan gadis-gadis titisan Cleopatra yang jelita dalam film untuk menyeka kesedihankul. Keagungan Wafa Shadiq, aktris muda Mesir saat memerankan
Aku kembali larut dalam perjalanan hidup Imam Ibnu Hazm bersama istrinyam samar. Mereka hidup penuh cinta dan kasih sayang.
“mas nanti sore ada acara aqiqah-an dirumah yu imah semua keluarga akan datang, termasuk ibundamu, kita diundang juga, yuk, kita datang bareng. Tidak enak kalau kita yang dielu-elukan keluarga tidak datang” suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada zaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi satu piring onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe diatas meja. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “ma……maaf jika mengganggu, mas. Maafkan hana,”lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja.
“mbak! eh maaf, maksudku D….Di….Dinda hana!” panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.
“ya mas!” sahut hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha bersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda” matanya sedikit berbinar.
“Te….. terima kasih…… di….dinda, kita berangkat bareng kesana. Habis shalat dzuhur, insya allah!” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah,ada secercah senyum bersinar dibibirnya. Perempuan berjilbab yang satu ini memang luar biasa, ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernak melihatnya memadang wajah masam atau tidak suka padaku . kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya sama sekali belum pernah. Bah. Lelaki macam apa aku ini! Kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas dilap dinginku selama ini, tapi setetes embuh cinta yang kuharapkan membashi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu! oh, bagaimana aku mengusuirnya? Aku merasa menjadi orang yang palih membenci diriku sendiri didunia. Acara pengajian dan aqiqah-an putra ketiga Yu Fatimah, kakak sulung Raihana, membawa sejarah baru dalan lembaran pernikahan kami. Benar dugaan raihana, kami dielu-elukan keluarga. Disambut hangat, penuh cinta. Dan penuh bangga.
“selamat datang pengantin baru! selamat dating pasangan paling ideal dalam keluarga!” sambut yu imah disambut tepuk bahagia mertua dan ibundaku sendiri serta kerabat yang lain wajah raihana cerah. Matanya binar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hati aku menangis disebut pasangan paling ideal. Apanya yang ideal? Apa kerena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal alquran lantas disbut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan isterinya. Saling mekiliki rasa cinta yangsampai pada pengorbaana satu sama lain. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Raihana mungkin telah mendapatkan rasa cintanya. Selama ini ia begitu setia dan mengobankan apa saja untuk membuatku bisa tersenyum. Ia tidak pernah mengeluh apa-apa, tak pernah mengungkapkan tidak suka, tapi diriku? Yang celaka adalah diriku, aku tidak bisa mengimbangi apa yang dirasakan oleh Raihana. Aku belum juga bisa mencintainya. “Ah Yu Iman ini menggoda terus, sudah satu tahun kok dibilang baru.” Sahut Rihana.
“Ya masih baru tho nduk. Namanya, pengantin baru satu tahun! Hi….hi….hi….” celetuk ibu nertua membanyol. “Aku juga baru lho. Pengantin baru sepuluh tahun!
He …… he……he…. “ tukas Yu Imah disambut gerr sanak kerabat.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-bebar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang sedemikian kuat menjaga kewibawananku di mata keluarga. Pada ibuku dan pada semuanya ia tidak pernah bercerita apa-apa kecuali menyanjung kebaikan sebagai suami, orang yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi isteriku. Aku jadi pusing sendiri memikirikan sikapku. Lebih pusing lagi saat ibuku dan ibu mertuaku menyindir tentang keturunan. “ sudah satu tahun putra sulungku berkeluarga, kok belum ada tanda-tanda aku mau menimang cucu. Doakan lah kami. Bukankan begitu,mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku. Aku tergagap, cepat-cepat keanggukkan kepalaku sekenanya. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap lebih bersahabat pada Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra padanya. Berpura-pura menjadi suami betulan. Ya, jujur dasar cinta dan kedendakku sendiri aku melakukannya. Dasarnya adalah aku tak ingin mengecewakan ibuku, itu saja. Biarlah aku kecewa, biarlah aku menderita, terbelenggu persaan konyol, asal ibuku tersenyum bahagia. Aku berharap jadi anak yang baik, jadi orang baik namun aku tidak rahu, apakah aku bisa jadi suami Raihana yang baik?
Allah Mahakuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai isteri ternyata membuahkan hasil. Raihana hamil. Ia semakin manis. Sanak saudara semua bergembira. Ibuku bersuka cita. Ibu mertuaku bahagia. Namun hatiku…..oh, hatiku menangis meratapi cintaku yang tak jua kunjung tiba. Hatiku hamba. Tersiksa. Merana. Tuhan kasihanilah hamba. Hadirkan cinta itu segera. Aku takut bahwa aku nanti juga tidak bias mencintai bayi yang dilahirkan Raihana. Bayi yang tak lain adalah darah dagingku sendiri. Adakah didunia ini petaka yang lebih besar dari orang tua yang tidak bisa mencintai dan menyayangi anak kandungnya sendiri? Aku sangat takut itu terjadi padaku.
Sejak itu aku semakin sedih. Aku semakin sedih sehingga kau lalai untuk memperhatikan Raihana dan kandunganya. Aku hanyut mertapi nestapa diriku. Setiap saat nuraniku bertanya,” Mana tanggung jawabmu!” aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit menemukan cinta,”gumanku pada nuraniku sendiri. Dan akhirnya datanglah hari itu. saat usia kehamilan memasuki bulan keenam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama kedua orangtuanya dengan alasan kesana. Rumah mertuanya sangat jauh dari kampus tempat aku mengajar.jadi ibu mertua tidak banyak curiga ketika aku harus tetap hinggal dirumah kontrakan yang lebih dekat dengan kampus. Ketika aku pamitan Raihana berpesan, “Mas, untuk menambah biaya persiapan kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku! ATM-nya ada di bawah kasur. Nomor pinnya adalah tanggal dan bulan pernikahan kita!”
EMPAT
Sstelah Raihana tinggal di tempat ibunya, aku merasa sedikit lega. Aku tidak lagi bertemu setiap saat dengan orang yang ketika melihat dia aku merasa tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Aku bisa bebas melakukan apa saja. Hanya saja aku merasa sedikit repot. Harus menyiapkan makan dan minum sendiri. Juga mencuci baju sendiri. Jika pulang setelah maghrib tak ada yang menyiapkan air hangat untuk mandi. Tapi itu tidak jadi masalah bagiku. Toh selama di Mesir aku sudah terbiasa makan, minum, dan mencuci sendiri. Aku membeli mie instant satu kardus dan semuanya beres. Jika tidak masak. Bisa beli di warung makan tak jauh dari rumah. Waktu terus berjalan dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Dan sampai dirumah hari sudah petang. Aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah. Aku menggigil kedingingan. Kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati, andaikan ada Raihana. Dia pasti telah menyiapkan air hangat bubur kacang hijau hangat. Membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku. Lalu menyuruhku istirahat dan menutup tubuhku dengan selimut malam itu aku benar-benar sakit dan tersiksan sendirian. Tak ada makanan dan minuman. Tapi semua rasa sakit kutahan-tahan. Aku membuat mie rebus dan wedang jahe. Minum jamu. Mengoleskan minyak kayu putih keperut. Punggung,leher, kening telapak kaki dan telapak tangan. Lalu tidur. Aku terbangun jam enam pagi. Badan telah segar.tapi ada penyesalan mendalam dalam hati: aku belum shalat Isya dan terlambat shalat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana dia pasti sudah membangunkanku sehingga aku tidak lalai shalat Isya dan terlambat shalat subuh meskipun sakit. Dan lintasan kehadiran Raihana itu hilang setelah aku berangkat mengajar. Dalam rutinitas harian yang mulai padat, Raihana sudah terlupakan sama sekali. Sampai akhirnya suatu hari dikampus ada barita yang cukup mengagetkan sesama dosen. Ketika aku makan siang bersama pak Hardi da pak Susilo terjadilah perbincangan itu.
“Kasihan benar pak Agung ya ?” kata pak Hardi.
“Siapa pak Agung itu?” tanyaku.
“Dia adalah dosen muda yang paling cemerlang keriernya dikampus ini, dalam usia yang sangat muda dia sudah manjabat kepala jurusan. Dia menyelesaikan masternya di
“Dia adalah puteri pak Kiai Ahmad Munaji, pengasuh sebuah pesantren tahfidh alquran di batu
Cerita yang kudapat ketika makan siang dan kata-kata Pak Hardi membuat aku teringat Raihana. Dia memang sangat setia dan sangat baik. Aku mengbandingkan diriku dengan Pak Agung. Oh bertapa sakit rasanya didhianati isteri canti yang sangat dicintai. Aku lalu membayangkan seandainya menikah dengan aktris cantik mesir, mona zaki. Kemudian mona zaki main film,dan ada adegan ia hrus berciuman atau dicium lawan mainya misalnya. Aku akan sangar cemburu dan marah. Aku tak bisa menerima iertiku dicium lelaki lain. Apapun alasanya. Apalagi jika sampai ia berselingkuh, aku tak akan bisa menerimanya. Dan dunia aktris adalah dunia yang paling rawan selingkuh. Cinta dilokasi suntting adalah hal yang kerap kali terjadi. Telah ribuan aktris didunia ini hancur rumah tangganya karena cinta lokasi. Jadi aku sedikit masih sedikit merasa beruntung memiliki isteri Raihana yang bukan aktris. Tapi entah kenapa aku belum juga memiliki rasa cinta padanya. Sudah satu bulah berpisah tapi rasa rindu padanya sama sekali tidak ada. Jika rasa rindu tak ada apakah bukan mengindikasikan bahwa rasa cinta benar -benar tidak ada. Namun dalam hati aku mengacam, meskipun tidak cinta kalau sampai Raihana berselingkuh dia akan aku bunuh! Akan aku bunuh! Karena walau bagaimana pun statusnya adalah isteriku. Sebab sekonyol apapun keadaan yang kualami aku sama sekali tidak mau sedikitpun berhati sedikitpun untuk tertarik pada perempuna lain. Aku justru berusaha untuk mencintainya. Hanya saja selalu tidak bisa. Selalu sia-sia entah kenapa?
Akhirnya cerita itu pun sirna bersama detik-detik yang berlalu. Apalagi ketika aku mandapatkan tugas di Universitas untuk mengikuti pelatihan peningkatan mutu dosen mata kuliah bahasa Arab selama sepuluh hari yang akan diadakan oleh Depag dipuncak. Diantara tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbicang dengan beliau tentan Mesir. Dalam pelatiha aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi. Dosen bahasa Arab dari
“Apakah kau sudah menikah?” tanya pak Qalyubi.
“Alhamdulillah, sudah.” Jawabku.
“Dengan orang mana?”
“Orang Jawa?”
“Pasti isteri yang baik. Iya
“Kenapa dengan bapak.”
“Aku melakukan langkah yang salah, aku mengambil pilihan yang keliru”
“Maksud Bapak”
“seandainya aku tidak menikah dengan gadis Mesir itu tentu batinku tidak akan merana seperti sekarang.”
“Isteri bapak orang Mesir ?”
“Ya.”
“Dan bapak menderita?”
“Benar.”
“Bagaimana itu bisa terjadi?”
“Itulah yang terjadi. Kau tentu tahu seperti apa gadis Mesir itu. cantik tidak menurutmu rata-rata gadis
“oh cantik-cantik pak. Bahkan jika ada delapan gadis Mesir maka yang cantik enam belas. Sebab bayangannya ikut cantik.”
“Dan karena terpesona oleh kecantikan gadis Mesir itu lah saya menderita sampai saat ini.”
“Boleh tahu ceritanya untuk pelajaran hidup bagi saya pak?”
“Boleh. Kau bahkan boleh menceritakan kepada siapa saja untuk dijadikan pelajaran asal jangan kau sebut secara jelas nama dan asal-usul saya. Begini ceritanya. Saya anak tunggal seorang yang cukup kaya dipinggir timur
yang datang mengambil. Tapi denga basa-basi saya membalik keadaan sayalah yang datang ke rumah tuan rumah. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Anak tuan rumah yang kecantikannya khas Cleoptra itu juga mencintai saya. Teman-teman satu rumah juga sering kali mengingatkan agar saya tidak melanjutkan hubungan percintaan dengan anak tuan rumah itu. menurut mereka, hanya hal yang kurang baik yang akan saya dapatkan. Baik ketika saya berhasil menyuntingnya atau pun tidak. Kisah percintaan saya dengan anak tuan rumah didengar oleh Fadhil, kakak kelas. Dia menasehati sekali tentang hubungan pria-wanita yang sebetulnya saya sudah tahu. Fadhil membuat garis tegas: akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan degan menikahinya! Saya memilih yang kedua. Sebab kecatikannya membuat saya tergila-gila. Sebuah kecantikan yang menurut saya tidak bisa ditemui pada seluruh gadis yang ada di
“apa maksudmu?!” tanya saya setengah membentak. Lalu dengan tanpa rasa berdosa sedikitpun. Yasmin bercerita bahwa tadi siang saat saya sedang berkunjung ke teman lama yang jadi staf KBRI dia ditelpon teman dan kekasih lamanya saat kulia dulu. Teman lamanya itu telah menjadi bisnisman sukses di
Seketika itu saya tidak dapat menahan diri. Saya pukul dia habis-habisan. Hal yang sebelumya tidak pernah saya lakukan padanya. Saya sudah tidak kuat lagi menanggung penderitaan dan sakit hati yang tertahan. Saya sudah mengorbankan segalanya untuknya, tapi dia sungguh pempuan yang tidak berhati manusia. Atas tidakanya saya dia lapor pada polisi dan keluarganya. Saya ditahan polisi Mesir beberapa hari. Yang menyakitkkan seluruh keluarganya tidak ada yang membela saya. Bahwa kehormatan saya sebagai suaminya telah diinjak-injak. Semuanya membela dia. Meskipun dia mengakui telah melakukan perbuatan yang susah dimaafkan oleh seorang suami. Bahkan lelaki Mesir tidak segan membunuh istrinya jika ketahuan berselingkuh. Tapi saya tidak diperkenankan menyentuh kulitnya meskipun dia berdosa dosa. Semua keluarganya membenarkan apa yang dilakukan. Ayahnya bahkan memaksa saya menceraikannya. Ternyata selama di
yang salah. Saya menyesal telah menomorsatukan kecantikan. Istri yang cantik tapi berperangan buruk adalah saksikan yang paling menyakitkan bagi seorang suami. Dan itulah yang aku alami. Kau beruntung sekali tidak menikah dengan orang Mesir yang menurutmu cantik-cantik itu jika ada delapan gadis Mesir yang cantik enam belas karena bayanganya ikut cantik. Dalam sejarahnya, orang
Mendenga cerita Pak Qalyubi saya terisak-isak. Perjalana hidup pak Qalyubi menyadarkan diriku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang di mata. Sudah dua tahun aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan padanya menyelinap dalam hati. Dia isteri yang sangat salehah. Tidak pernah meminta apa pun bahkan yang ada keluar dari dirinya adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemungkaran allah aku mendapatkan isteri seperti dia. Meskipun hati belum terbuka lebar untuknya tapi setidaknya wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang ? bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentan lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya. Tiba- tiba aku merasa ingin pulang. Ingin berjumpa Raihana.
Pulang dari palatiahan aku sempatkan untuk mampir ketoko busana muslim. Aku membelikan beberapa stel busana muslimah untuk Raihana. Juga daster. Serta pakaian bayi. Ketika malihat toko emas aku tertarik membelikan gelang untuknya. Aku ingin membelikan hadiah kejutan untuknya. Aku ingin dia tersenyum bahagia melihat kedatanganku. Aku tidak langsung kerumah ibu mertua, tempat dimana Raihana sekarang berada. Tapi terlebih dahulu ke rumah kontrakkan untuk memenuhi pesan Raihana, mencairkan uang tabungannya. Sampai dirumah, aku langsung membuka kasur tempat dia tidur selama ini. Aku tersentak kaget. Dibawah kasur itu, kutemukan puluhan kertas merah jambu. Hatiku berdesir,darahku terkesiap. Surat cinta siapa itu ? rasanya aku tidak pernah membuat surat cinta untuk isteriku. Gila! Jangan-jangan ini surat cinta isteriku dengan lelaki lain. Jangan-jangan isteriku serong.awas kau…!!
Dengan diliputi rasa curiga dan penasaran. Aku takut ia berbuat yang tidak aku inginkan. Segera kuambil tumpukan surat itu, kubaca dan kuamati betul-betul. Aku terpana sesaat.“ benar, ini tulisan tangan Raihana sendiri. Lolu untuk siapa Raihan menulis surat-surat cinta ni!!
Gumamku dalam hati dengan penuh keheranan. Kubaca satu persatu surat itu. Dan……..
ya Rabbi….. ternyata surat-surat ini adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, mati-matian meredam rindu akan belainku. Ia menguatkan diri menahan nestapa dan derita yangluar biasa karena atas sikapku. Hanya Allah-lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya, dan…….. ya Allah, ia setia memanjatkan doa rabithah, doa ikatan cinta dengan tulus dan ikhlas untuk kebaikan suaminya. Dan betapa ia mendambakan hadirnya cinta sejati yang murni suci dariku.
Ya Rabbi. Tanpa sepengetahuanku, selama dua bulan sebelum aku mengantarnya kerumah ibu mertua ia bahkan sering puasa sunnah demi meredam hasrat biologisnya yang tak pernah kupahami. Ia kuatkan berpuasa demi mensucikan dirinya dari jerat kehinaan. Nyaris ia putus asa menanti cairnya cintaku. Beruntung ia memiliki cahaya Al quran didalam hatinya.“
Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpah di hadapan-Mu. Lakal Hamdu Ya Rabb. Telah engkau mulia akan hamba dengan alquran. Kau kuatkan diri hamba dengan cahaya alquran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curanhkan tambahan kesabaran pada diri hamba…..” tulis Raihana.
Ia lawan badai derita yang menerpannya dengan doa dan lantunan ayat suci alquran. Sungguh perempuan yang mulia dia. Hatinya begitu putih. Jiwanya bersih. Sedangkan aku? Oh, betapa zhalimnya, aku selama ini. Ya Rabbi, ampunanilah hamba-Mu yang zhalimi ini. Ampunilah ya Rabb!.
Di akhir lembaran suratnya Raihana berdoa, “Ya Allah inilan hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu. Melabuhkan derita jiwa ini kehadiran-Mu. Ya Allah tujuh bulan sudah hamba-Mu yang lemah ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa tega suami hamba, ia tak mempedulikan hamba dan menelantarkan hamba. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaan hamba padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya allah, jika memang masih ada yang kurang ilhamkanlah pada hamba-Mu yang dhaif ini cara berahklak yang lebih mulia lagi pada suaminya.
Ya allah, dengan rahmat Mu hamba memohon jangan engkau murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Biarlah hamba saja yang menanggung nestapa. Jangan engkau murkai dia, dia adalah ayah dari janin yang hamba kandung ini. Jangan engkau murkai dia, dengan cinta hamba telah memaafkan segala khilafanya, hamba tetap menyayanginya, ya allah berilah hamba kekuatan untuk setia berbakti dan memuliakanya. Ya allah,Engkau Maha tau bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Ya sampaikanlah rasa cinta hamba ini kepadanya dengan cara-Mu yang paling bijaksanna. Tegurlah dia dengan teguran rahmat-Mu. Ya Allah, dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau. Mahasuci Engkau ya Allah,sungguh hamba mengakui hamba termasuk golongan orang-orang yang zhalim. Amin”
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisanku meledak. Dalam isak tangisku semua kuabaikan Raihan selama ini terbayang. Wajahnya yang teduh dan baby face, pengorbanan dan pengabdianya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut. Tangisannya saat bersimpuh dan memeluk kedua kakiku, semua terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Ya cinta itu datang dalam keharuanku. Dalam kaharuanku terasa ada hawa sejuk turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku, seketika itu, pesona kecantikan Cleopatra memudar; berganti cahaya cinta Raihana yang terbang di hati. Hatiku terasa basah. Rasa sayang cintaku pada Raihana tiba-tiba terasa begitu kuat mengakar di seluruh syaraf dan nadi. Dan sukmaku diliputi rasa rindu luar biasa. Cahaya Raihana terus berkali-kali dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya untuk segera menumpakan tangis cinta dipangkuannya. Ya allah sungguh bijaksana Engkau mengatur kahidupan.
Subhanaka ya rabbi!
Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku pada Raihana. Membagi rinduku yang tiba-tiba memenuhi rongga dada. Air mataku berderai-derai. Kukebut kendaraan ku. Kupacu kencang diiringi derai air mata yang tiada berhenti menetes di jalanan. Aku tak peduli. Aku ingin segera sampai dan meluapkan cinta ini padanya. Padanya yang berhati mulia. Bergitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan mangambil nafas panjang dan mengusap air mata. Melihat kedatanganku ibu mertua serta merta memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.
“Mana Raihana Bu?”
Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertannya apa sebenarnya yang terjadi.
“Isterimu, Raihana isterimu dan anakmu yang dikandungannya!”
“Ada apa dengan dia?”
“Dia telah tiada.”
“Ibu berkata apa?”
“isterimu telah meninggal dunia. Satu minggu yang lalu. Dia terjatuh dikamar mandi. Kami membawanya kerumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal dia berpesan untuk memintakan maaf kepadamu atas segala kekurangan dan khilafannya selama menyertaimu. Dia minta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia minta maaf telah tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhainya.” Hatiku bergetar hebat.
“Ke….kenapa ibu tidak memberi kabar kepadaku?”
“ketika Raihana di bawa ke rumah sakit, aku sudah mengutus seorang menjemputmu kerumah kontrakkan tapi kau tiada ada. Dihubungi kekampus kau ternyata sedang pelatihan di Jawa Barat. Kami tak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana juga berpesan agar jangan sampai kami mengganggu ketenganmu salama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, kami camkan kesedihan tiada terkira. Jadi maafkanlah kami.”
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku sangat pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku sedang merasakan cinta yang membara pada Raihana, ia telah tiada. Ketika aku ingin menebus semua dosa yang keperbuat padanya, ia telah meninggalkan aku. Ketika cintaku padanya sedang membuncah-buncah. Rinduku padanya menggelegak-gelegak. Dan aku ingin memuliakannya sepanjang hayatku. Aku hanya terlambat. Dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku untuk selamanya tanpa memberikan kesempatan padaku untuk sekedar meminta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan rasa bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku kesebuah gundukan tanah masih baru di kuburkan yang letaknya dipinggir desa. Diatas gundukkan itu ada dua batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu, dan penyesalan yang luar biasa. Aku menangis tersedu-sedu, ,memanggil-mangil nama Raihana seperti orang gila. Sukmaku menjerit-jerit, mengiba-iba. Aku ingin Raihana hidup kembali. Hatiku perih tiada terkira.
Dunia tiba-tiba gelap semua……………
Telah selesai ditulis
Di Cairo, januari 2002.
Direvisi kembali
Di Semarang, oktober 2003.
“Untuk mereka yang menganggap Kecantikan adalah segalanya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar