“Yah, aku boleh nanya nda?” tanya seorang
anak pada ayahnya. Saat itu mereka baru saja shalat Ashar di mushalla salah
satu tempat wisata.
Sang Ayah tersenyum. Ada yang tak biasa dengan putrinya.” Kamu itu
lho! Beli jajan nda pakai ijin Ayah dulu, giliran nanya pakai minta ijin
segala. Mau tanya apa?”
“Tapi Ayah janji, nda boleh marah ya?”
sang bocah berusaha mensejajarkan langkahnya.
“Insya Allah. Ayo, mau tanya apa?”
“Ayah kalau nolong orang suka pilih-pilih,
ya?” tanya sang anak, ragu-ragu.
Sang ayah menghentikan langkahnya,
terkejut.” Maksudnya?”
“Iya, suka mbeda-bedain!” jawab sang anak
santai.”Buktinya tadi waktu ada ibu-ibu mau pinjam mukena, Ayah nyuruh aku
shalat dulu, baru meminjamkan mukenaku.”
“Oh, itu!”
“Tadi siang, waktu aku antri di kamar
mandi, Ayah minta aku ngalah, memberikan antrianku pada mbak-mbak yang pakai
baju biru. Mentang-mentang dia lebih muda dan cantik ya, Yah?”
“Astaghfirullah! Bukan begitu, anakku!”
“Lalu?”
“Begini. Ayah menyuruhmu mengalah saat
antri di depan kamar mandi karena Ayah melihat orang itu sudah sangat kepayahan
menahan sakit perutnya. Ayah tidak memperhatikan usia ataupun wajahnya, tapi
Ayah bisa merasakan kecemasannya. Sejak datang, ia sudah memegangi perutnya.
Ayah khawatir, jika kamu tidak memberikan antrianmu, dia tak bisa lagi menahan.
Kalau itu sampai terjadi, apa kamu tega? Sementara kamu masih bisa menahan
untuk berkemih.”
“Ibu-ibu yang di mushalla? Apa tidak lebih
baik jika aku meminjamkan mukena padanya dulu. Pahalaku kan jadi berlipat ganda!”
“Anakku, jika aku menyuruhmu shalat dulu
baru meminjamkan mukenamu, sungguh bukan karena yang meminjam adalah seorang
ibu-ibu. Bukan! Bukan itu. Ketahuilah, anakku. Sama-sama menolong, tapi untuk
urusan dunia berbeda dengan urusan akhirat, atau ibadah. Untuk urusan dunia,
kita dianjurkan mengutamakan kepentingan orang lain, kepentingan umum bahkan di
atas kepentingan pribadi. Tapi untuk urusan ibadah, jika tidak bisa dilakukan
bersama-sama, karena tidak membawa mukena seperti yang terjadi pada ibu tadi
misalnya, tunaikan kewajiban sendiri dulu, baru orang lain.”
“Kok, begitu?”
“Begini, seumpama kamu diberi pilihan,
siapakah yang akan memasuki pintu syurga pertama kali, apakah kamu akan
memberikan kesempatan itu pada orang lain?”
“Tidak! Aku dulu”
“Nah, begitulah gambarannya. Ini bukan
akal-akalan Ayah, ini yang Rasulullah contohkan. Untuk urusan ibadah, jika
tidak bisa bersama-sama, kita utamakan diri sendiri dulu. Bukan egois, bukan
pula tidak peduli dengan orang lain, tapi agar kita selalu bersegera melakukan
kebaikan (ibadah). Bisa dimengerti?”
Sang anak hanya mengangguk.
“Masih menuduh Ayah pilih-pilih?”
Sang anak hanya menggeleng, tersipu malu.
“Untuk urusan dunia, kau boleh menunda
keperluanmu, tapi untuk urusan ibadah, jangan tunda waktumu!”
Arsip : Kata-kata Hikmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar