Jika hati itu ibarat papan kayu, maka pasangan hidup adalah pakunya.
Sedang lubang yang tertinggal di papan tatkala paku dicabut adalah
kenangan. Meski paku tak lagi bersarang, namun tubuh papan telah
berubah. Tubuhnya kini tak lagi mulus lantaran lubang-lubang yang
bersemayam. Banyaknya lubang tentu saja tergantung dari banyaknya paku
yang sempat tertanam. Dan besar kecilnya lubang tergantung pula dari
bagaimana paku mengoyak papan kayu.
Harus diakui, siapa pun orang
di sekitar kita pasti memiliki tempat tersendiri di hati. Berdasarkan
perbedaan porsi, muncullah klasifikasi status sosial-pribadi: kenalan,
teman, sahabat, saudara, keluarga, atau bahkan kekasih. Klasifikasi
tersebut memiliki satu pondasi: cinta.
Kualitas cinta akan semakin
sempurna apabila memiliki porsi yang total. Sepenuh hati. Suci. Cinta
seperti ini tentu saja didasarkan bukan semata-mata cinta karena
makhluk, melainkan cinta karena Allah SWT.[1] Cinta seperti inilah yang
patut kita realisasikan dalam kehidupan, termasuk pernikahan.
Jangan Hanya ‘Sisa’
Bukankah
rumah yang kokoh itu tidak dibangun dari kayu yang rapuh? Pun begitu
dengan pernikahan. Dibutuhkan hati yang utuh untuk menciptakan
pernikahan yang kokoh.
Tapi justru dewasa ini, kita disuguhkan
dengan fenomena permainan hati (pacaran) yang kian semarak. Di mana
sebelum menikah, hati dibuka lebar-lebar layaknya hotel untuk disinggahi
banyak orang secara ‘temporer’, namun memberi bekas secara ‘permanen’.
Bagaimana tidak, pernikahan dengan kondisi hati seperti ini akan
melahirkan banyak perbandingan lantaran kenangan-kenangan dengan ‘si
dia’, ‘si dia’, atau ‘si mereka’ yang terus saja membayang di setiap
jengkal kehidupan. Manakala suami/istri kita menyuapi bubur misalnya,
terlintas begitu saja bayangan ‘si dia’ yang dulu juga pernah menyuapi
kita bubur. Ketika melintas di kerumunan, lalu mencium bau parfum yang
khas, ingat ‘si dia’ yang juga memiliki harum yang sama. Lalu kemudian
mulai membandingkan, kenapa suami/istri kita tidak wangi seperti ‘si
dia’.
Sejenak mungkin tubuh kita hadir bersama suami/istri, namun
pikiran melayang membayangkan kisah-kisah indah bersama ‘si dia’. Hal
itu disebabkan oleh pemberian hati yang tidak utuh lantaran telah banyak
lubang yang dihasilkan tusukkan-tusukkan cinta yang ‘semu’ dari masa
lalu. Menyedihkan, bukan?
Bayangkan, ketika kita melihat kertas
polos dengan satu nama di tengahnya, mata kita akan menangkap satu
sentralisasi konsentrasi yang utuh. Namun tidak demikian apabila
terdapat banyak nama dan tulisan di kertas tersebut. Mata kita akan
mendapati banyak nama dan konsentrasi kita menjadi tidak fokus. Meski
pun nama yang dituju telah diberi tanda khusus, lingkaran misalnya,
namun tetap saja kertas itu tidak bersih dan indah. Tulisan-tulisan
selain yang dilingkari kerap kali mengganggu.
Hal serupa terjadi
pada hati kita. Hati yang belum pernah terjamah permainan cinta akan
fokus terhadap satu nama pertama dan terakhir. Di mana nama tersebut
tertulis sebagai pendamping hidup kita: ‘fulan bin fulan’ atau ‘fulanah
binti fulan’.
Allah SWT memberi jodoh sesuai dengan cerminan diri
kita.[2] Maka coba tanyakan pada nurani, apakah kita tega hanya memberi
hati yang ‘sisa’ kepada suami/istri kita? Sementara tanyakan pada
logika, apakah kita siap hanya mendapat hati yang ‘sisa’ dari
suami/istri kita?
Rumah yang Kokoh
Sungguh
indah segala keteraturan. Layaknya lalu lintas, indahnya keselamatan
akan tercipta apabila para pengguna jalan mematuhi rambu-rambu yang ada
secara teratur. Untuk membentuk rumah tangga yang indah pun perlu adanya
sebuah keteraturan dalam membangunnya: keteraturan menjaga hati dan
kesucian diri.
Sebelum berumah tangga, seorang Muslim haruslah
menjaga kesuciannya.[3] Menjaga diri dari masuknya cinta selain untuk
Allah SWT. Maka dari itu tidaklah dibenarkan untuk mengikuti
langkah-langkah syetan dengan mengumbar cinta atau berpacaran sebelum
menikah.[4] Dengan begitu hati akan tetap terjaga kesuciannya dari
lubang-lubang cinta yang tidak semestinya.
Tatkala menikah, hati
yang utuh dan suci akan merasa bahagia dengan cinta pertama dan
terakhir. Cinta yang diberikan kepada suami/istri dalam balutan ridha
Illahi. Cinta yang utuh, lantaran hati tak pernah terjamah cinta yang
lain. Cinta yang suci, lantaran hati tak pernah terkotori cinta yang
salah. Cinta seperti inilah dapat saling melindungi dan memberikan
nuansa kemurnian cinta yang sesungguhnya dalam rumah tangga.[5]
Serupa rumah yang kokoh, akan memberi perlindungan apabila komponen dasarnya juga utuh dan kokoh.
Kini tengoklah ke dalam hati, sudah sejauh mana hati terbagi?
Catatan Kaki:
[1] Paling kuat tali hubungan keimanan ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah. [HR. Ath-Thabrani]
[2] QS. An-Nuur (24): 26
[3] Wahai
segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah
kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan
nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa
karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya. [HR. Bukhari]
[4] QS. An-Nuur (24): 21
[5] Barangsiapa
mengutamakan kecintaan Allah atas kecintaan manusia maka Allah akan
melindunginya dari beban gangguan manusia. [HR. Ad-Dailami]
Arsip : Dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar