Kupu-Kupu
Aku belum pernah memandang dunia dengan cara seperti ini. Sebelumnya duniaku hanya sebesar pohon Akasia di sudut taman itu. Tempat di mana aku menggantung kehidupan kecilku pada daun-daun muda berwarna hijau tua yang menjadi gambaran penuh akan arti sebuah “dunia” bagiku. Namun segala sesuatu berubah. Begitu juga denganku, saat kusadari ternyata bunga lebih manis dari yang terlihat. Dan saat kuketahui daun tidaklah seenak yang kuingat. Rasanya, setiap hal ber-revolusi menjadi perkembangan baru dalam hidupku.
Entah kenapa.
Bunga
Aku belum pernah memandang dunia dengan cara seperti ini. Sebelumnya tak ada sedikit pun bagian diriku yang tahu di mana tepatnya posisiku. Di sebuah tempat gelap yang dingin—yang menjadi gambaran penuh akan arti sebuah “dunia” bagiku. Namun segala sesuatu berubah. Begitu juga denganku, saat kusadari hangatnya sinar mentari lebih menyenangkan dibanding mimpi-mimpi semuku. Dan saat kuketahui tetes air tak sebegitu mudah ditemukan seperti dalam khayalku. Rasanya, setiap hal ber-revolusi menjadi perkembangan baru dalam hidupku.
Entah kenapa.
Kupu-Kupu
Sudah lama aku mendambakan untuk bisa memeluk langit seperti ini. Masa-masa ketika aku hanya seekor binatang penuh bulu yang berukuran tak lebih besar dari ranting pohon cemara nampak mulai memudar dalam ingatan. Kini aku bebas menjelajahi udara lepas—dan berada sedikit lebih dekat dengan awan daripada yang biasanya bisa kulakukan. Betapa bahagianya! Sekarang aku bisa menentukan sendiri ke mana aku akan pergi. Dengan sayap-sayap putih-hitam dengan aksen kuning ini, hanya masalah kecil untuk terbang keluar dari tempat yang sudah kutinggali sepanjang hidupku-sebuah taman kecil di tengah kota besar. Dan tentu saja ini saat yang tepat untuk belajar menggunakan antena penciumanku. Aku tinggal menunggu, ke mana indra penciuman ini akan membawaku.
Bunga
Sudah lama aku mendambakan untuk bisa merasakan hangatnya sinar mentari. Masa-masa ketika aku terbenam di dalam tempat gelap itu nampak mulai memudar dalam ingatan. Kini aku bebas menampung sinar matahari sebanyak-banyaknya—dan berada sedikit lebih dekat dengan cahaya daripada yang biasanya bisa kulakukan. Betapa bahagianya! Sekarang aku bisa terus bertemu sang mentari sampai mekar dengan indah. Dan tentu saja ini saat yang tepat untuk belajar menghasilkan nektar pertamaku. Aku tinggal menunggu, bagaimana ragaku akan mulai bertumbuh.
Kupu-Kupu
Badanku terbang menjauh dari taman, membelok melewati banyak pohon dan manusia, mengikuti indra penciumanku yang sudah kuyakini kelihaiannya bahkan sebelum aku keluar dari pupa kecil-hangat itu. Belum terlalu lama aku terbang, aku sudah mendapat pembuktian pertama bahwa indraku tak mungkin salah. Tak jauh di depan, nampak pohon-pohon berdaun lebat di sepanjang jalan. Tapi bukan itu yang jadi tujuanku. Di pohon-pohon itu, banyak menempel bunga-bunga putih yang bergerombol. Nah, lihat—indraku memang patut dipercayai.
Bunga
Aku menatap gerombolan anggrek lain yang menempel di cabang pohon angsana di atasku. Ah, betapa senangnya tumbuh di atas sana. Punya banyak teman dan bisa lebih lagi mendapatkan sinar matahari. Tapi yang paling kuinginkan hanya teman. Padahal dalam satu tangkai, biasanya muncul tiga kuncup anggrek sejenisku. Tapi, hanya aku satu-satunya kuncup yang muncul. Kapan kiranya aku bisa mendapat teman untuk tumbuh bersamaku di retakan trotoar ini? Mungkin aku harus bersabar dan menunggu.
Kupu-Kupu
Sayapku mengepak senang ketika terbang mengitari gerombolan bunga-bunga kecil yang cantik dan manis. Sayang, tidak semua dari mereka yang di sana telah berbunga. Padahal, aku ingin meminta sedikit nektar. Dan sebagai gantinya akan kubantu penyerbukan mereka. Tapi tak apa. Mungkin mereka akan berbunga sebentar lagi, mengikuti bunga-bunga yang lainnya.
Sekarang, persoalannya, aku mulai lapar. Jadi ada baiknya aku mencari sedikit nektar untuk makanan. Pertama-tama, siapa yang sebaiknya kuminta? Aku terbang mengitari sepanjang jalan, mencari bunga yang paling menarik perhatianku. Dan..ah! Ada sebuah bunga yang tumbuh sendirian, di sela-sela batu buatan manusia. Ada apa gerangan? Apakah ia terpisah dari kawanannya? Dipenuhi rasa ingin tahu, aku pun terbang mendekat.
Bunga
Seekor kupu-kupu yang terbang melintas melunturkan lamunanku. Betapa lincah gerakannya! Dan betapa indah warna sayapnya! Sayap putih-hitam dengan warna kuning di beberapa tempat. Apa yang sedang dilakukannya di sini? Oh.. aku mendengar pikiranku bertanya hal yang bodoh. Tentu saja ia sedang mencari nektar. Banyak bunga sejenisku yang sudah mekar di pohon-pohon. Wangi manis itu yang pasti memancing sang kupu-kupu. Hei, tunggu, kenapa ia terbang kemari? Bunga mana yang ditujunya? Semestinya bukan aku. Aku baru berkuncup. Tidak mungkin memberikannya nektar. Anehnya, ia terbang semakin dekat..semakin dekat..semakin dekat..mungkin tidak, ia tidak ingin meminta nektar dariku. Tapi ya, ia memang terbang untuk menghampiriku.
Kupu-Kupu
Sang Kuncup Bunga nampak malu-malu saat aku menghampirinya. Aku terbang rendah mengitari untuk menyapa dan sedikit bertanya-tanya. Aku baru tahu, ternyata ia baru berkuncup dan belum berkembang. Aku juga baru tahu, masih butuh 2 minggu lagi sampai ia akan mekar. Kalau begitu, aku belum bisa menghisap nektar darinya. Tapi, ia sudah berjanji akan memberikan nektar pertamanya kalau ia mekar nanti. Tentu saja, dengan senang hati akan kutunggu saat itu. Dan sampai saat itu tiba, aku akan datang mengunjunginya setiap hari. Gambaran hubungan kami nampaknya sempurna.
Bunga
Sang Kupu-kupu ternyata makhluk yang amat ramah. Ia menyapaku dengan sopan dan mengajakku berbicara. Senang rasanya punya teman untuk berbicara—terutama jika kau selalu hidup jauh dari gerombolan. Aku sudah berjanji padanya untuk memberikan nektar pertamaku setelah mekar. Meski itu berarti ia harus menunggu cukup lama, namun nampaknya ia senang melakukannya. Tak terasa, waktu satu hari habis begitu saja saat aku bersama dengannya. Malam datang, kemudian pagi menjelang.
Kupu-Kupu
Pagi ini diawali dengan hal yang mengejutkan. Ketika aku datang berkunjung ke tempat Nona Bunga yang tumbuh sendirian itu, semua bunga di dahan-dahan yang kemarin mekar kini layu. Kelopak-kelopak mereka merunduk, membentuk rupa burung berwarna putih, yang disebut manusia sebagai rupa merpati. Dengan panik aku menghampiri Nona Bunga untuk memberi tahu apa yang terjadi pada teman-temannya. Tapi sembari tertawa, ia mengatakan bahwa itulah hal yang lazim terjadi pada bunga sejenis mereka—Anggrek Merpati, begitu manusia menyebutnya—hanya mekar untuk jangka waktu satu hari.
“Sedih sekali,” kataku berduka, “kalau begitu aku akan melihatmu mati setelah akhirnya bisa mencicipi nektar pertamamu.”
“Jangan berkata begitu,” sahut sang Bunga, “kami melakukannya dengan baik sekali. Biasanya kuntum kami mekar serentak, seperti yang kau lihat kemarin, dan itu pemandangan yang indah, bukan? Tak hanya itu, wangi bunga kami pun masih dapat kau cium sampai hari ke-3. Itu persembahan terbaik sepanjang hidup kami.” Aku hanya berputar-putar lesu. Melihat tingkahku, malah sang Bunga yang berbalik prihatin padaku.
“Tenang saja, Tuan Kupu-kupu. Bunga jenis kami akan berkuncup dan mekar lagi sekitar satu musim dari sekarang. Itu sekitar 3 bulan lagi,”ujarnya berusaha menghibur. Tapi jujur saja, aku sama sekali tidak terhibur.
Aku tahu hidupku tidak selama itu.
Bunga
Pagi ini Tuan Kupu-kupu datang dengan panik untuk mengabari mengenai layunya teman-temanku. Aku hanya bisa tertawa melihat gaya terbangnya yang menunjukkan kecemasan. Aku menjelaskan bahwa itu hal yang lazim terjadi di antara kami. Ia terlihat lesu dan berduka. Maka aku mencoba menghibur dengan berkata bahwa kami akan mekar lagi sekitar 3 bulan setelah layu. Tapi nampaknya, usaha menghiburku malah membuatnya semakin muram. Apa aku sudah salah bicara?
Sekarang, semakin hari Tuan Kupu-kupu semakin lesu. Caranya terbang sudah tidak lincah seperti dulu. Rasanya untuk mengangkat tubuhnya dari tanah pun malas. Jangan-jangan ia sakit? Atau sedang ada masalah lain? Ah, sedih sekali aku tidak bisa mengembalikan keceriaannya.
Sebetulnya banyak hal yang ingin kutanyakan, namun belakangan ini dia bukan hanya semakin lesu, tapi juga semakin jarang bicara. Aku ingin sekali segera mekar untuk menghiburnya.
Kupu-Kupu
Nona Bunga pasti menyadari perubahan sikapku yang semakin tidak bersemangat dan jarang bicara—ia selalu menatap khawatir setiap kali aku datang. Ini semua terjadi sejak saat itu : ketika aku mengetahui usia mekarnya yang hanya satu hari, dan baru mekar lagi 3 bulan kemudian. Yang benar saja, masa aku harus melihatnya mati setelah mencicipi nektarnya? Bagaimana kalau dia tak usah mekar saja? Tidak masalah bagiku kalau tidak mendapat nektar darinya. Yang kuinginkan dia ; bukan nektarnya. Aku ingin berkata begitu, tapi rasanya akal sehatku tidak setuju kalau aku melarangnya mekar. Mekar dengan baik kan impian utamanya? Ada yang hilang dari hubungan kami yang awalnya sempurna.
Masih ada lagi yang lebih kutakutkan. Kemungkinan kalau aku akan lebih dulu meninggalkannya sebelum dia meninggalkanku. Maksudku, kalau aku sudah mati bahkan sebelum dia berkembang. Aku sudah tahu dari semasa ulat bahwa hidupku memang tak lama. Tapi, kalau soal ‘ada banyak predator di luar sana yang bisa memperpendek umurmu menjadi setengah dari yang seharusnya’, nah, itu aku baru tahu.
Bunga
Keadaan semakin parah akhir-akhir ini. Kami bahkan tidak bicara lebih dari 5 kalimat dalam satu hari. Ia hanya datang, menyapa, kemudian mencari nektar, kembali, berpamitan, dan pergi. Aku tidak merasa mengatakan sesuatu yang salah. Aku bahkan menghiburnya dengan berkata ‘Rasanya ingin cepat mekar agar kau bisa segera mencicipi nektarku.’ Tapi itu tidak memperbaiki keadaan. Malah memperburuk, kelihatannya. Mulai beberapa hari yang lalu, ia bahkan sudah tidak mengunjungiku lagi. Ah, mungkin sebenarnya dia tidak seantusias kusangka untuk menghisap nektarku.
Dan lagi, sepertinya cuaca amat mendukung keterpurukan hubungan ini. Dalam beberapa jam cerah bisa berganti hujan lebat atau sebaliknya—seakan sedang membalas dendam. Beberapa hari terakhir seperti itu. Memangnya matahari dan awan juga sedang tidak akur?
Kupu-Kupu
Rasanya Nona Bunga ingin menambah beban pikiranku setiap kali bertemu. Ia selalu menggumamkan keinginan mekarnya. Kebersamaan kami mungkin hanyalah sebuah pengisi waktu luang baginya. Akhirnya aku hanya bisa menghindari pembicaraan dengannya agar tidak terus-menerus ingat soal hari kematian Nona Bunga maupun hari kematianku.Huuh.. hujan turun lebat setiap hari belakangan ini. Aku khawatir dengan keadaan Nona Bunga yang sendirian di tengah hujan. Aku selalu ingin mengunjunginya, tapi apa yang dapat kulakukan? Aku ini binatang yang punya kekurangan tidak bisa terbang di saat hujan.
Bunga
Ada yang terasa aneh dengan badanku semalaman. Amat tidak nyaman. Kalau semalam turun hujan juga, aku pasti sudah mengeluh sepanjang hari. Untung saja cerah dan bintang-bintang terlihat, jadi rasanya sedikit terhibur.
Tapi coba tebak apa yang terjadi padaku pagi ini? Kelopakku mulai membuka! Aku mekar! Aku mekar, akhirnya! Lihat, lihat helai-helai mahkotaku yang putih bersih! Aku memandang hamparan warna putih di dahan-dahan pohon sepanjang jalan. Kami yang tadinya berupa kuncup sudah mekar secara serempak! Bunga-bunga yang mekar lebih dulu saat kami masih kuncup mengucapkan selamat. Ini lebih cepat dari seharusnya, kata bunga yang tepat di atasku. Perubahan suhu selalu berpengaruh, bunga di dahan yang lebih tinggi menimpali. Begitu rupanya. Kami mekar lebih cepat karena suhu berubah-ubah beberapa hari ini. Hujan, panas, hujan, panas. Oh, terima kasih matahari dan awan! Aku ingin segera menunjukkannya pada Tuan Kupu-kupu. Aku benar-benar berharap dia datang hari ini. Paling tidak, untuk hari ini saja.
Kupu-Kupu
Aku ingin sekali datang hari ini. Tapi yang benar saja, dengan hujan yang tidak berhenti selama 2 jam terakhir?? Sungguh, aku belum ingin mati. Semoga tidak ada hal buruk terjadi pada Nona Bunga. Aku sudah rindu sekali padanya. Aku pasti akan mengunjunginya besok, atau kalau bisa, setelah hujan ini berhenti. Aku janji.
Bunga
Hujan terus menerus turun, dan Tuan Kupu-kupu belum juga datang. Ini terlalu gawat. Aku tidak permasalahkan hujannya, tapi anginnya. Rasanya helai-helai mahkotaku akan rontok dengan terpaan angin kencang seperti ini. Saat berupa kuncup dulu, pertahanan tubuhku jauh lebih kuat. Ayolah awan, menyingkir sedikit dan biarkan matahari bersinar!
Kupu-Kupu
Perasaanku sedang tidak enak. Seperti punya firasat buruk. Sekarang aku merasa harus mengunjunginya—sang Bunga, andai kau bertanya siapa yang kumaksud. Hujan memang perlahan mengecil, namun itu masih terasa berbahaya untukku. Sayapku mungkin akan rusak karena hujan. Tapi aku rela menukar sayapku dengan keselamatannya. Jadi aku akan pergi untuk melihat keadaannya.
Bunga
Semua beban pikiranku ikut terhempas bersama angin saat kulihat kupu-kupu terbang mendekat di tengah hujan. Akhirnya dia datang mengunjungiku! Aku akan memberikan nektar pertamaku, segera sebelum helai-helai berikutnya rontok.
Kupu-Kupu
Semua beban pikiranku seolah digandakan oleh terpaan angin saat kulihat Nona Bunga di kejauhan. Ya Tuhan! Ia sudah mekar! Itu artinya dia pasti akan mati besok. Tapi helainya nampak tak sempurna—ooh! Jangan-jangan dirontokkan oleh angin? Itu artinya dia mungkin mati hari ini. Ini masalah darurat! Aku menambah kecepatan terbangku untuk menghampirinya, meski itu menyakiti sayap-sayapku saat melawan angin dan hujan.
Bunga
Aku tersenyum bahagia saat akhirnya aku bertemu lagi dengannya.
“Tuan Kupu-kupu,” sapaku ceria, “sekarang kau bisa mencicipi nektar pertamaku!”
Tapi ia nampak tak bersemangat. Hening untuk beberapa saat.
“Apa kau tidak senang mendapat nektarku?” Aku berusaha memecah kebekuan. “Kau selalu nampak lesu setiap aku bicara mengenai waktu mekarku.”
“Aku tidak ingin kau mati.”
Suaranya mengalahkan angin dan hujan, masuk dengan jernih ke dalam pikiranku, kemudian menenangkan hatiku.
Kupu-Kupu
Akhirnya aku hanya bisa mengaku. Dan ia merasa cukup menanggapinya dengan tawa.
“Tentu saja. Kalau kita bertukar peran, aku juga tidak ingin kau mati. Tapi, bagiku, kau lebih penting dari apapun.”
Aku tak bisa menanggapinya dengan baik. Hanya tatapan tak mengerti yang kuberikan padanya. Lalu ia tersenyum manis, “Aku justru mekar untuk menghiburmu.”
Ah! Jadi itu maksudmu, Bungaku! Andai saja kita bicara, andai saja kita saling terbuka, tentu kesalahpahaman ini tak perlu terjadi! Aku belum sempat menjawab. Angin bertiup kencang, aku terhempas ke tanah dan helai-helai Nona Bunga yang tersisa berguguran. Di saat terakhir, aku masih mendengar bisikan tawanya.
Sayapku rusak karena hujan. Aku tidak bisa lagi terbang atau pergi ke mana pun. Pandanganku semakin kabur. Hal terakhir yang kusadari, bahwa potongan hubungan kami yang hilang kini sudah ditemukan. Kemudian semuanya menjadi gelap.